Jumat, 31 Agustus 2012

Keragaman Pemahaman


Menyikapi Keragaman Pemahaman Islam
Oleh: Lukman Abdurrahman

Perbedaan pemahaman dalam Islam sebaiknya disikapi dengan tasaamuh. Sikap ini ada baiknya kita belajar dari para imam mujtahid yang tak perlu diragukan kepakarannya dalam mengantisipasi terjadinya keragaman pemahaman agama.  Sebagai contoh, Imam Syafi’i berkata, “Apabila hadits itu sahih, itulah madzhabku dan buanglah pendapatku yang timbul dari ijtihadku”.
Salah satu isu menarik dalam sikap keberagamaan kaum Muslim adalah pluralitas. Yakni keragaman pemahaman terhadap teks-teks agama yang diakibatkan oleh cara menafsirkan teks tersebut.  Keragaman penafsiran muncul disebabkan oleh latar belakang memahami teks  yang bermacam-macam, misalnya disebabkan oleh kedalaman pengetahuan, kondisi sosial budaya setempat, garis madzhab rujukan, jiwa dari teks itu sendiri dan sebagainya.  Di atas semuanya itu, hal yang perlu diacungi jempol adalah manakala perbedaan-perbedaan ini direspon dengan kebesaran jiwa masing-masing pihak dengan mengedepankan penghargaan terhadap pihak lain yang tak sejalan dengan pemahaman pihaknya.  Sesungguhnya isu pluralitas mengandung pengertian yang merentang sejak pluralitas di kalangan kaum Muslim sendiri dalam memahami Islam sampai pluralitas keragaman agama di dalam masyarakat luas.  Dalam tulisan ini, pluralitas lebih ditujukan kepada kondisi warna pelangi dalam memahami Islam terutama pada kajian syari’ah oleh internal kaum Muslim sendiri.
Bibit-bibit pluralisme dalam menerjemahkan Islam telah nampak sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Tak jarang dua orang atau lebih sahabat mempunyai pandangan berbeda terhadap satu teks suci wahyu.  Misalnya – seperti diriwayatkan Imam Abu Dawud – dua orang sahabat mempunyai sikap berlainan sehubungan dengan ibadah shalat saat didapatinya air padahal sebelumnya sudah ditunaikan dengan bertayammum, karena ketiadaan air waktu itu.  Pada mulanya kedua sahabat tersebut sepakat bahwa pengganti wudlu adalah bertayammum.  Setelah selesai shalat ternyata mereka mendapati air, perbedaan mulai muncul.  Sahabat yang satu  berwudlu dan mengulangi shalatnya, tapi yang lainnya tidak melakukan hal serupa.  Kemudian keduanya melaporkan hal tersebut kepada Nabi SAW.  Secara bijak beliau merespon dengan sikap tidak menyalahkan salah satu pihak tidak pula menyanjung pihak lainnya. Beliau malah menyebutkan kelebihan masing-masingnya.  Yaitu, bagi yang mengulangi shalat dikatakan telah memperoleh dua keutamaan sedang bagi yang tidak mengulangi telah berpegang pada sunnah dan shalatnya telah mencukupi.  Di sini kelihatan bahwa tradisi berbeda paham dan saling menghargai perbedaan tersebut telah demikian dijunjung tinggi sejak awal-awal kelahiran Islam.
Jika ditilik dari proses pewahyuan, diyakini bahwa wahyu datang dari Dzat yang Transenden diturunkan untuk makhluk yang immanen.  Maksudnya wahyu bernilai benar secara mutlak manakala dikaitkan dengan Dzat yang Transenden yakni Tuhan SWT, namun menjadi benar secara relatif jika sudah dicerna oleh manusia yang immanen.  Karena itu, sangat wajar satu teks suci Al-Qur’an diejawantahkan dalam tataran wacana, praktek, dan bahasa yang beragam oleh kaum.  Dalam hal ini, penafsir atau mujtahid dapat mengklaim bahwa hasil ijtihadnya telah benar, namun pada saat yang sama, tidak etis kalau menyalahkan hasil ijtihad orang lain untuk bidang bahasan yang sama.  Apabila dia seperti itu sama saja dengan mendudukkan dirinya seperti posisi Tuhan Yang Mahamutlak dalam firman-Nya (QS 3:60).  Hal ini akan meruntuhkan bangunan Islam yang kaya dengan dorongan-dorongan ke arah olah fikir tersebut.  Keuniversalan Islam akan sirna jika lahan untuk menggumuli kondisi kontemporer umat dihabisi oleh mujtahid-mujtahid tandingan Tuhan ini.  Nyawa Islam akan kehabisan energi karena tidak mampu membuktikan dirinya sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Sejak dulu, tradisi ijtihad memperoleh tempat terhormat di lingkungan komunitas Muslim. Misalnya pernyataan Nabi SAW bahwa seseorang yang berijtihad dan ternyata benar maka dia akan mendapat dua ganjaran.  Sebaliknya jika ijtihadnya salah, dia hanya akan memperoleh satu ganjaran.  Yang perlu digarisbawahi di sini adalah benar salahnya ijtihad.  Siapa yang menilai benar tidaknya ijtihad dan kapan akan diketahuinya?  Tak ada penjelasan eksplisit dari Nabi mengenai hal ini.  Namun contoh ini merupakan penjelas tentang sifat universalitas Islam yang dapat ‘hinggap’ di mana, kapan dan bagi siapa saja.  Sarana ijtihad menjadikan Islam sebagai agama yang dapat memberi jalan bagi terciptanya kelangsungan hidup manusia dalam membentuk lingkungan yang dinamis dan rabbaaniy.  Dorongan untuk selalu menjadikan Islam tetap aktual setiap masa merupakan keniscayaan karena warta Al-Qur’an sendiri menjamin hal itu (QS 15:9).  Demikian pula sunnah telah menyatakan hal yang sama, yaitu “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap awal seratus tahun (satu abad) seseorang yang memperbaharui agamanya (mujaddid).  Mereka adalah kader-kader Allah yang terus dilahirkan secara berkesinambungan untuk membela agama-Nya.
Bahwa kemudian hasil olah fikir lewat ijtihad ini tidak selalu benar dan tidak selalu salah adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Allah telah jauh-jauh hari memaklumkan hal ini. Akibatnya akan terlalu naif jika terjadi saling mencaci sesama ‘mujtahid’ hanya karena berbeda dalam menakar satu teks suci akibat acuan yang digunakan berbeda atau kesimpulan yang dihasilkan berlainan.  Bahkan Allah pun akan selalu memberikan ganjaran bagi siapa saja yang berijtihad terlepas hasilnya benar atau tidak, ini merupakan isyarat relativitas sifat benar hasil ijtihad itu sendiri. Artinya, klaim benar tersebut harus dikaitkan dengan sejumlah pra kondisi; siapa yang melakukan ijtihad tersebut, di mana dia melakukannya, peristiwa apa yang melatarbelakanginya, kapan hal itu terjadi dan sebagainya. Allah tidak meminta manusia mencapai kemutlakan-Nya, namun Allah  akan menilai pada usaha manusia menggapai kebenaran dalam bingkai inspirasi-Nya.  Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dari hasil suatu ijtihad.  Konsekuensinya, seseorang yang mencoba berijtihad jangan menutup diri dari kemungkinan salah dan jangan memicingkan mata pada hasil ijtihad orang lain. Dan yang paling penting, jangan memutlakkan hasil ijtihad tersebut sehingga ‘menutup pintu’ bagi mujtahid-mujtahid lain di belakang hari.
Fenomena yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini banyak bertolak belakang dengan semangat aktualisasi Islam.  Banyak hasil ijtihad masa lalu yang ‘dikeramatkan’ sehingga dianggap tabu jika diperbaharui dengan ijtihad kontemporer. Bahwa ada sejumlah persyaratan untuk mencapai tingkat mujtahid, yang menurut kalangan para ahli hukum Islam harus dipenuhi, adalah hal yang wajar dan seharusnya demikian. Namun hal ini tidak boleh menutup kemungkinan dilakukannya ijtihad-ijtihad baru demi merespon perubahan waktu dan ruang yang kian kencang bergulir.  Islam ibarat perangkat lunaknya mesin komputer kehidupan dunia yang memberi nyawa kesegaran sehingga mesin tersebut selalu dapat beroperasi serasi dan mampu menjawab kekiniannya.  Manakala perangkat ini mandeg, maka dapat dibayangkan akibatnya yakni tertundanya peluang-peluang emas kedigjayaan peradaban Islam dan merajalelanya penyusup-penyusup perangkat gelap.
Syekh Muhammad Abduh pernah mensinyalir bahwa kegemilangan Islam dihalangi oleh kaum Muslim sendiri.  Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi dunia Islam mutakhir yang nampak ‘kurang darah’ dan tak berdaya berhadapan dengan tantangan-tantangan perubahan zaman.  Padahal di satu sisi, teks-teks wahyu maupun ucapan Nabi SAW mengisyaratkan bahwa Islam merupakan piranti hidup yang unggul (QS 48:28). Tentu saja keunggulan ini tidak dapat tampil begitu saja tanpa peran serta kaum Muslimnya.  Dengan kata lain, keunggulan konsep Islam baru berwujud apabila dibarengi gerak langkah kaum Muslim yang selalu menyatupadukan nafas hidupnya dengan Islam.  Jelasnya, pergaulan mereka dengan Islam tidak boleh sebatas kebutuhan formal beragama saja tapi juga pada pembentukan paradigma berpikir dan bertindak.  Hal ini berarti pula bahwa tradisi Islam yang selalu membuka diri terhadap perubahan lingkungan, juga harus menjadi jiwa kaum Muslim sehingga selaras antara keduanya.  Pada gilirannya nanti, Islam tidak berhenti pada tataran konsep namun mampu berbicara pada tingkat realitas.  Islam tidak sekedar menjembatani kepentingan manusia akan Tuhannya, tapi juga menjadi wahana kehidupan kini di alam syahadah.
Perbedaan pemahaman dalam Islam sebaiknya disikapi dengan tasaamuh. Sikap ini ada baiknya kita belajar dari para imam mujtahid yang tak perlu diragukan kepakarannya dalam mengantisipasi terjadinya keragaman pemahaman agama.  Sebagai contoh, Imam Syafi’i berkata, “Apabila hadits itu sahih, itulah madzhabku dan buanglah pendapatku yang timbul dari ijtihadku”.  Demikian pula Imam Abu Hanifah menyatakan, “Ini adalah pendapatku terbaik yang kami temukan, dan bila ada orang lain yang bisa menemukan yang lebih baik lagi, maka ikutilah dia”. Pernyataan-pernyataan tulus tersebut merupakan cerminan kebesaran jiwa dan kesadaran mereka berkaitan dengan peran yang harus dimainkan. Secara terang mereka membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun yang akan mengkritisi hasil ijtihadnya.
Biasanya sumber masalah kekisruhan muncul dari para pengikut setia tokoh-tokoh agama yang diidolakan.  Kesetiaan ini terkadang melampaui batas, yaitu sampai pada derajat pengultusan, sehingga sikap keberagamaan yang harusnya mengedepankan keselamatan dalam damai menjadi kabur.  Tujuan syari’ah yang mestinya menciptakan kesehatan akal bisa jadi dilupakan karena alasan-alasan yang justru tidak masuk akal. Karena itu, mari kita ciptakan suasana berislam yang toleran dan menyelamatkan umat dari kesalahpahaman dalam memahami agama.  Wallaahu ‘alam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar