Duh
… Bandungku
Oleh:
Lukman Abdurrahman
Apabila kita
berjalan-jalan di seputar kota Bandung ,
akan tampak wajah kota
yang makin hari makin ‘dewasa’. Artinya tampilan
Bandung sebagai kota
besar makin kentara dengan serangkaian khas ciri kota
besar: kepadatan lalu lintas, kepadatan
penduduk, kehirukpikukan suasana kota ,
penyempitan lahan hijau terbuka, pusat perekonomian untuk wilayah-wilayah
sekitarnya, tujuan wisata dan lain-lain.
Situasi ini persis seperti isi syair lagu lama berbahasa Sunda perihal Bandung di bawah ini:
Bandung,
Bandung, Bandung nelah kota Kembang,
Dilingkung
gunung, heurin ku tangtung,
Puseur
kota nu mulya Parahiyangan,
Bandung,
Bandung, pada muru, dijarugjugan.
Dengan demikian Bandung nampaknya sudah dapat
dikategorikan sebagai sebuah wilayah metropolitan. Dalam hal ini Wikipedia online mendefinisikan
tentang wilayah metropolitan sebagai sebuah
pusat populasi besar yang terdiri atas satu metropolis besar dan daerah
sekitarnya, atau beberapa kota sentral yang saling bertetangga dan daerah
sekitarnya. Satu kota besar atau lebih dapat berperan sebagai hub-nya, dan
wilayah metropolitan biasanya diberi nama sesuai dengan kota sentral terbesar
atau terpenting di dalamnya.
Sesuai definisi di atas, Bandung merupakan
sentral bagi kota-kota di sekitarnya seperti Cimahi, Sumedang, Garut, Subang,
Cianjur dan kota-kota sekeliling Jawa Barat lainnya bahkan bagi para pelancong DKI
Jakarta. Hal ini dapat disaksikan pada
setiap hari Sabtu dan Ahad atau hari libur lainnya, jalanan kota Bandung padat
dikunjungi mobil-mobil berplat nomor polisi bukan D. Kondisi ini berkebalikan
dengan Jakarta, yang pada dua hari libur akhir pekan itu justru relatif
lengang. Tambahan pula, bahwa pada tahun
1990 kota Bandung telah terpilih menjadi salah satu kota teraman di dunia
berdasarkan survei majalah Time. Dan
pada tahun 2007, British Council
menjadikan kota Bandung sebagai pilot
project kota terkreatif se-Asia Timur.
Pertanyaannya, apakah warga kota sudah memperoleh kenyamanan lingkungan
kehidupan bernuansa metropolis di Bandung ini sebagaimana pandangan-pandangan
di atas? Jawabannya tentu dapat beragam antara yang menyatakan ya dan belum.
Namun begitu ada beberapa hal yang perlu ditempuh guna memperoleh kenyamanan lebih
yang dimaksud.
Pertama penataan lalu lintas. Sudah kita maklumi
bersama bahwa peraturan lalu lintas yang dianut di Indonesia adalah warisan
pemerintah Kolonial Belanda.
Sesungguhnya tak ada yang aneh dengan sistem ini, tidak pula harus
diubah menjadi pola lalu lintas gaya Amerika Serikat misalnya, yang
berkebalikan dengan di Indonesia. Yang
aneh adalah jika terjadi gabungan antara ala Belanda dan Amerika Serikat
tersebut di satu ruas jalan. Maksudnya
di beberapa jalan kota Bandung sering terjadi arus lalu lintas yang kacau
disebabkan kendaraan yang datang tidak saja berada di sebelah kanan, namun ada
pula di sebelah kiri. Padahal pada waktu
bersamaan, kendaraan-kendaraan yang pergi berada di sebelah kiri yang memang
sesuai dengan aturan. Contoh arus lalu lintas yang tiga arus ini dapat disaksikan
di jalan-jalan yang lebar seperti jalan PHH Mustafa. Demikian pula jalan-jalan yang seharusnya
satu arah, dalam waktu-waktu tertentu menjadi dua arah. Contoh pelanggaran ini terjadi di jalan Ahmad Yani daerah Cicadas,
terutama pada pagi hari, dan di beberapa ruas jalan lain. Belum lagi jika
membincangkan perilaku lalu lintas angkutan umum terutama angkutan kota yang
lebih semrawut lagi.
Untuk mengatasi persoalan itu nampaknya sinergi
antara Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Lalu Lintas & Angkutan Jalan dan
Kepolisian makin harus diintensifkan. Artinya penerbitan surat izin mengemudi
harus dibenahi sehingga setiap surat izin ini memberikan jaminan pemegangnya
memang sudah mengerti rambu-rambu lalu lintas dan layak mengemudi secara benar. Jangan sampai terjadi percaloan surat izin
mengemudi, calon pemegang surat ini harus benar-benar diuji tulis maupun
praktek secara memadai. Jangan pula uji
prakteknya berlebihan seperti selama ini untuk calon pengemudi sepeda motor,
diuji seolah-olah yang bersangkutan akan dijadikan pemain akrobat. Akibatnya sulit untuk lulus secara normal,
ujung-ujungnya dapat terjadi kongkalingkong
penguji dan peserta ujian demi memperoleh kelulusan. Namun lakukan ujian praktek di jalan raya
nyata yang akan digunakan dalam keseharian calon pengemudi tersebut.
Kedua adalah pemeliharaan lampu penerangan jalan.
Kota akan nampak ramah manakala
penghuninya saat menyusuri jalan-jalan terutama malam hari merasakan kenyamanan
dan keamanan. Kenyamanan ini memerlukan
sejumlah prasyarat, yang utama adalah penerangan jalan. Beberapa jalan kota Bandung, walaupun secara
fisik sudah dipasangi lampu-lampu jalan, namun saat malam hari padam. Kalau
padamnya satu dua malam, itu mungkin disebabkan adanya kerusakan yang belum sempat diperbaiki. Namun jika padamnya bermalam-malam, itu
memberi kesan pembiaran oleh pihak-pihak yang berwenang memelihara penerangan
jalan ini. Jelas kenyamanan penikmat
kota akan berkurang, begitu pula citra sebuah metropolis akan melorot yang pada
gilirannya akan menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial, di satu sisi. Di sisi lainnya adalah penumbuhsuburan
kriminalitas.
Satu lagi terkait penerangan jalan adalah lampu
lalu lintas (traffic light). Traffic
light sangat berguna untuk mengatur keelokan berlalu lintas di perempatan atau
persimpangan jalan. Juga keamanan para pemakai jalan akan terjamin karena
masing-masing telah memperoleh alokasi kesempatan yang teratur dalam
memanfaatkan persimpangan atau perempatan. Di beberapa persimpangan jalan Bandung,
terdapat lampu-lampu lalu lintas yang padam sebagian atau bahkan
seluruhnya. Hal ini di satu sisi
menyumbangkan kemacetan selain kekacauan lalu lintas. Di sisi lain terkesan bahwa kota ini tak ingin
mengajari warganya berdisiplin. Dengan kondisi traffic light yang baik saja,
pengendara kadang-kadang tidak patuh pada aturan, apalagi jika kondisi pengatur
arus ini dalam keadaan tidak berfungsi.
Ketiga pemeliharaan jalan-jalan dan trotoar. Sebuah kota metropolis mestinya dicirikan
dengan kondisi infrastruktur jalan yang mulus dan keteraturan penggunaan jalan
bukan saja bagi pengendara namun juga bagi para pejalan kaki. Jalan-jalan di kota Bandung sebagian belum
memenuhi persyaratan jalan yang memberi kenyamanan bagi para penggunanya. Lubang-lubang atau keriting di badan jalan
masih dapat ditemukan hampir di setiap pelosok kota Bandung, tak peduli walau
itu di dekat Kantor Gubernur sekalipun. Pengelola kota seharusnya secara reguler
melakukan pemeliharaan jalan, tidak perlu menunggu kondisi makin parah. Tentu
kita yakin bahwa ada dinas pada Pemerintah Kota yang khusus mengelola
infrastruktur jalan ini. Juga kita yakin ada anggaran belanja untuk
pemeliharaan infrastruktur ini, namun mengapa sifat pemeliharaannya insidental
dan tidak rutin? Padahal dari sisi
pembiayaan, pemeliharaan preventif akan lebih murah dari pada perbaikan
kerusakan. Seyogyanya para pengendara yang telah membayar pajak kendaraannya
memperoleh kembalian pelayanan berupa jalan yang menyamankan.
Demikian pula sebuah kota metropolis mesti
menyediakan prasarana bagi para pejalan kaki berupa trotoar. Jalan-jalan di Bandung tidak semuanya
memiliki trotoar, apalagi trotoar yang representatif seperti di kota Sacramento
ibu kota California Amerika Serikat.
Trotoar di kota modern seperti itu selain lebar-lebar juga dilengkapi
dengan tempat untuk duduk-duduk yang nyaman di ruang terbuka. Trotoar seperti
ini juga dapat memberi ruang aman bagi mereka yang tergolong cacat seperti para
pengguna kursi roda.
Kondisi trotoar di Bandung jangankan memberi
keleluasaan bagi kaum disable
tersebut, bagi mereka yang normal saja masih terasa sumpek. Trotoar di Bandung lebih banyak diserobot
oleh para pedagang kaki lima, bahkan jika jalanan macet trotoar pun disulap
jadi jalan alternatif para pengendara sepeda motor.
Keempat pengelolaan pasar tradisional dan pedagang
kaki lima. Infrastruktur lain yang mesti
disigapi Pemerintah Kota adalah pasar, tempat transaksi pelbagai barang
kebutuhan sehari-hari. Pasar merupakan wahana interaksi sesama warga kota guna
membangun hubungan sosial dan emosional. Di sisi lain, pasar merupakan salah
satu urat nadi perekonomian warga kota guna menumbuhkembangkan kesejahteraan
warganya. Oleh karena itu semestinya
pasar dibangun secara representatif, memenuhi standar-standar keamanan, kenyamanan
dan kelayakan.
Untuk itu, penegakan peraturan di pasar tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Bagi para pelanggar harus diberikan hukuman. Hal ini
diperlukan supaya kesan-kesan kumuh, semrawut, tumpukan sampah dan pusat
kemacetan jalan pada pasar-pasar tradisional dapat dihindarkan. Kesan ini
melekat lebih disebabkan tidak berdayanya peraturan yang ada. Sebagai contoh, pasar dikesankan sebagai
tempat kemacetan lalu lintas, karena para pedagang lebih suka berjualan di luar
area pasar. Mereka lebih memilih di
jalan yang lebih dekat kepada para pembeli.
Jelas ini adalah ketidakberdayaan penegakan peraturan.
Demikian pula para pedagang kaki lima, adalah
kelompok yang paling sering melanggar peraturan karena mereka suka menyerobot
fasilitas umum seperti trotoar untuk berjualan.
Sebagai contoh trotoar di jalan Ahmad Yani Kiaracondong-Cicadas habis
ditempati para pedagang ini lengkap dengan pemandangan kekumuhannya. Demikian pula di sekitar Kosambi atau di
Jalan Otto Iskandardinata.
Nampaknya Pemerintah Kota mesti belajar pada
pasar-pasar tradisional di beberapa kota modern. Pelajaran untuk penataan ini dapat diperoleh
misalnya di kota Pomona, sebuah kota kecil di pinggiran Los Angeles Amerika
Serikat. Di sana walau kotanya kecil, terdapat
pasar tradisional yang tertata rapih, tak berbecek dan nyaman bagi pedagang
maupun pembeli.
Kelima penataan mall. Modernisasi perbelanjaan
di kota Bandung boleh dikatakan lebih berpihak pada pembangunan pusat-pusat
perbelanjaan besar atau mall ketimbang penataan pasar-pasar tradisional. Hal ini memang tak bisa dihindarkan akibat pengaruh
globalisasi yang kian menguat. Namun yang
mesti diperhatikan adalah penataan lokasi mall perlu disesuaikan dengan
kemampuan lahan kota dan tidak mematikan para pedagang tradisional. Saat ini mall-mall menjamur di kota ini,
seolah tak mengindahkan lagi kepantasannya berada di suatu lokasi. Artinya tak peduli bahwa di situ akan terjadi
kemacetan lalu lintas baru, tak melihat juga bahwa di situ sudah ada pasar
tradisional atau mall lain, tak melirik lagi bahwa di situ merupakan ruang
hunian dan sebagainya. Akibatnya dapat dilihat akan muncul
kesemrawutan lalu lintas, persaingan tak sehat antara pasar tradisional dengan
mall dan lain-lain. Atau terjadi anti klimaks hal tersebut, yaitu mall tersebut
pelan-pelan mati karena tidak banyak pengunjung disebabkan salah memilih lokasi. Padahal betapa besar investasi yang telah
ditanamkan.
Mengapa pemberi izin pembangunan mall ini tidak
memperhatikan keseimbangan kebutuhan
warga kota akan mall? Jadi sebaiknya tak perlu terus-terusan diberi izin
membangun mall baru, namun manfaatkan saja beberapa bangunan mall yang nyaris
atau sudah bangkrut untuk dihidupkan kembali seperti Gedung Palaguna dan Rumah
Matahari di pusat kota. Karena
pembangunan baru mall jelas akan mengurangi atau menggusur ruang terbuka.
Keenam pengelolaan sampah dan kebersihan
kota. Sampah adalah masalah cukup
signifikan di kota Bandung. Beberapa
kali kota ini memperoleh predikat kota sampah akibat terhalangnya pembuangan
sampah ke lokasi akhir. Walau predikat kota sampah sudah tidak
disandang lagi oleh Bandung, bukan berarti kota ini sudah terbebas dari
sampah. Di beberapa jalanan kota masih
dapat ditemukan sampah-sampah berserakan setiap harinya. Sumpek rasanya menyaksikan pemandangan
seperti ini yang seharusnya tidak boleh terjadi di sebuah kota
metropolitan.
Pemerintah Kota sudah saatnya memanfaatkan
teknologi modern untuk mengelola sampah ini karena cara-cara tradisional
nampaknya sudah tidak memadai lagi.
Begitu pula, sangat arif pula jika Pemerintah memberdayakan warga kota
guna mengatasi persoalan sampah ini secara swakelola. Di beberapa kota lain sudah dikenal bank
sampah yang dikelola oleh warga. Selain
dapat menambah pendapatan warga, cara ini juga dapat mengatasi persoalan sampah
ini.
Ketujuh modernisasi pelayanan umum. Yang dimaksud pelayanan umum di sini adalah
pelayanan Pemerintah Kota terhadap warganya seperti pelayanan administrasi
warga semisal kartu tanda penduduk (KTP),
akte kenal lahir, izin mendirikan bangunan, administrasi pernikahan, juga
pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, pelayanan angkutan, pelayanan
pembayaran pajak-pajak dan lain-lain.
Pemerintah tentunya harus menyediakan semuanya
itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa pemimpin satu komunitas adalah
pelayan komunitas itu sendiri. Selayaknya
pelayanan umum tersebut makin dimodernisasi di kota Bandung ini, artinya warga
harus makin mudah mengakses layanan-layanan ini bukan malah dipersulit. Sebagai contoh kecil, penggratisan KTP adalah
sesuatu yang sangat wajar karena warga sudah membayar sejumlah pungutan seperti
Pajak Bumi Bangunan, namun dalam prakteknya warga masih pula harus mengeluarkan
sejumlah uang manakala harus mengurus KTPnya.
Ini tentu saja sebuah ironi bagi warga metropolis yang beradab.
Tentu tidak salah jika belajar dari kota-kota
yang lebih dulu menerapkan pelayanan umum yang modern ini. Sebagai contoh ambil di kota Claremont, lagi-lagi di
pinggiran kota Los Angeles. Di kota ini,
jika kita walau sebagai warga negara asing akan membuat social security number, semacam KTP di sini, jangankan dipungut biaya, kartunya sendiri
malah akan diantarkan ke rumah kita via pos.
Demikian pula saat pajak kendaraan jatuh tempo, dinas pelayanan pajak
ini akan memberi tahu pemilik kendaraan. Pemilik dapat membayar cukup dengan
mengirimkan cheque via pos, bukti
bayar akan diterima pemilik kendaraan juga via pos. Demikian sederhana pelayanan ini, namun absah
dan memudahkan semua pihak. Mengapa kota
Bandung tidak mencoba cara-cara ini? Tentu
bukan berarti semuanya harus gratis, yang paling penting adalah pelayanan yang
baik.
Hal-hal di atas hanya sebagian saja persoalan
yang sedang dihadapi kota Bandung. Sesungguhnya untuk mengatasi persoalan di atas,
tidak cukup diserahkan kepada Pemerintah Kota saja. Adalah tugas semua warga kota juga untuk
terus berupaya berpartisipasi mempercantik kota ini seperti misalnya tidak
membuang sampah di sembarang tempat, tidak naik turun angkutan umum di tempat
terlarang, ikut mematuhi semua peraturan yang berlaku dan sebagainya. Jika kerja sama ini dapat terjalin baik, maka
Kota Bandung yang diimpi-impikan tidak lagi hanya berada di tataran wacana
namun dapat menjelma sebagai kenyataan, insya
Allah.
---++==oo0oo==++---
Bandung, 12 Maret 2012
Yth. Redaksi
HU Pikiran Rakyat
Di
Bandung
Perihal: Alternatif mengatasi
kemacetan jalanan kota Bandung
Assalaamu’alaikum Wr Wb.
Memperhatikan kemacetan lalu lintas kota Bandung, makin hari makin
menjadi-jadi. Boleh dikata sudah tidak mengenal hari maupun jam, antara hari
kerja seperti sepanjang Senin - Jum’ah
dan hari libur Sabtu – Ahad sama saja.
Demikian pula antara jam pergi/ pulang kerja dengan jam di luar jadwal
pergi/ pulang kerja sulit dibedakan.
Jika pada hari-hari kerja jalanan disibukkan oleh arus lalu lintas para
pegawai yang akan pergi/ pulang bekerja, ditambah anak-anak sekolah yang menuju
sekolahnya masing-masing. Maka pada hari
libur, jalanan kota Bandung dipadati para wisatawan dari luar kota yang sengaja
melancong di kota Bandung.
Kondisi ini tentu saja melahirkan ketidaknyamanan bagi warga kota karena
kemacetan dan polusi yang makin menjadi, apalagi sebagian ruas jalan di kota
Bandung masih banyak yang rusak. Ada beberapa solusi yang dapat ditempuh oleh
Pemkot untuk mengatasi kemacetan kota ini, diantaranya:
1.
Pembuatan wilayah sekolah. Berdasarkan pengalaman saya sendiri yang tiap
hari melintasi sejumlah ruas jalan kota Bandung dapat diperhatikan bahwa, jika
anak-anak sekolah sedang libur, arus lalu lintas di kota akan menjadi lebih
lancar akibat volume pengendara berkurang.
Pengurangan volume ini disebabkan anak sekolah liburan, sehingga dapat
dibuat hipotesis bahwa salah satu faktor penyebab kemacetan adalah arus
anak-anak sekolah ini, baik yang naik angkot, diantar atau naik jemputan. Oleh
karena itu, untuk mengurangi arus ini harus dilakukan pengaturan arus anak
sekolah. Caranya dapat ditempuh dengan
pembuatan kebijakan wilayah sekolah, yaitu anak-anak sekolah yang berada di
wilayah Barat Bandung harus bersekolah di wilayah Bandung Barat, yang
berdomisili di wilayah Timur Bandung harus bersekolah di wilayah Bandung Timur
dan seterusnya. Dengan demikian tidak
akan terjadi lalu lintas silang antar wilayah yang pada gilirannya dapat
mengurangi kehirukpikukan arus lalu lintas.
Namun konsekuensinya, mutu sekolah di masing-masing wilayah harus
ditingkatkan sesuai standar mutu yang berlaku.
Terjadinya silang wilayah sekolah – siswa Barat sekolah di wilayah Timur
dan sebaliknya – akibat untuk mengejar mutu sekolah yang diinginkan oleh para
orang tua siswa. Kebijakan ini dapat
ditempuh untuk tahap pertama pada tingkat TK dan SD saja dulu sebagai uji coba,
pemberian pengertian kepada warga kota (para orang tua) dan pemberian tantangan
kepada Dinas Pendidikan. Maka niscaya
akan berdampak signifikan pada kelancaran lalu lintas.
2.
Pembuatan lahan-lahan parkir bawah tanah (basement). Masalah parkir juga menyumbangkan kemacetan
yang cukup mengganggu jika tak diatasi dengan seksama. Pembuatan lahan parkir bawah tanah seperti di
Alun-alun perlu ditebar di tempat-tempat lain untuk mengatasi kepadatan jalan
yang berubah fungsi jadi lahan parkir.
Wilayah seperti sekitar Monumen Perjuangan Jawa Barat membutuhkan lahan
parkir bawah tanah karena pada hari-hari kerja di sekitarnya dipadati sejumlah
kendaraan parkir yang juga menyumbangkan kemacetan. Begitu pun bawah tanah Lapangan Gasibu dapat
dibuat lahan parkir, dan di tempat-tempat lain.
Parkir bawah tanah jelas akan mengurangi kemacetan selain dapat
memperbesar PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kota jika dikelola dengan manajemen
yang baik.
3.
Tindak tegas para pelanggar lalu lintas, terutama para
pengendara motor yang suka melawan arus.
Kebiasaan buruk yang sudah menggejala di kota Bandung ini harus segera
diatasi, jangan dibiarkan menunggu keadaan sangat parah. Mohon Polantas jangan
segan-segan menertibkan hal ini karena kebiasaan buruk tersebut jelas menyumbangkan
kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas.
Terima kasih kepada HU PR yang telah sudi memuat goresan hati saya sebagai
salah satu warga kota yang ingin peduli untuk kenyamanan kotanya sendiri.
Wassalam
H. Lukman Abdurrahman
Jl. Yodkali 1 Cikutra Bandung
---oo0oo---
Penyalahgunaan Gazebo Lapangan Gasibu
Assalaamu’alaikum wr.wb.
Sebagaimana biasa pada hari Jum’at pagi, saya melakukan olah raga rutin
dengan berjalan kaki di Lapangan Gasibu.
Memang menyamankan di lapangan tersebut karena terbuka luas dan gratis
serta dekat dari kantor.
Namun akhir-akhir ini, kenyamanan lapangan tersebut terganggu dengan
berbagai sampah, barangkali sisa-sisa pasar kaget setiap hari Ahad dan para
pemulung. Namun ada lagi ’sampah’ yang
lebih memuakkan tercecer di Lapangan Gasibu, yaitu sekelompok remaja jalanan
baik laki maupun perempuan yang ’menguasi’ dua Gazebo di pojokan Lapangan.
Kalau sekedar duduk-duduk, barangkali tak masalah, namun yang terlihat,
mereka menjadikan Gazebo tersebut sebagai kamar tidur permanen (terutama yang
bersebelahan dengan Jl Surapati) karena setiap saya lewat Gazebo berada dalam
penguasaan mereka. Laki perempuan
bercampur yang seolah tak mengenal batas muhrim bukan muhrim, mereka ’buta’
terhadap nilai-nilai kesusilaan. Mereka
tak peduli waktu, walau matahari sudah bersinar, mereka tetap tak beringsut.
Yang lebih mengejutkan lagi, terlihat sepasang diantara mereka berasyik
maksuk pada pagi hari itu (Jum’at tanggal 4 Pebruari sekira pukul 07.15 WIB),
sementara teman-temannya menyaksikan sambil duduk-duduk ’cuek bebek’. Kemana rasa malu mereka? Sebejat itukah
akhlak mereka? Padahal wajah mereka adalah wajah-wajah yang nampak ’baik-baik’
saja. Na’uudzubillahi min dzaalik, rasanya muak saya disuguhi tontonan
yang sungguh tidak lucu itu. Tercemarlah
sudah lapangan kebanggaan masyarakat Bandung itu, tercemar pula rasanya Bandung
sebagai kota agamis seperti yang suka digembar-gemborkan Walikota Dada Rosada
beberapa waktu lalu. Itu hanya sedikit
saja yang sempat saya saksikan, apa yang terjadi di luar itu? Siang-siang saja
tak punya malu, bagaimana pula jika malam hari?
Saya mohon
kepada pihak yang berwenang untuk menertibkan kawasan Gasibu dari sampah-sampah
tersebut. Demikian pula mohon jargon
Bandung Kota Agamis tercipta dalam tataran realitas.
Keberadaan Gazebo
sebenarnya untuk menambah keindahan lapangan, guna dinikmati siapa pun
pengunjung. Tahun 2000 lalu saat awal saya berkantor di Bandung, masih bisa
duduk-duduk menikmati Lapangan Gasibu dari Gazebo tersebut. Sekarang ... jangan harap, kecuali masuk dulu
ke komunitas mereka, ’auudzu billaah.
Terima kasih Redaksi PR yang sudah memuat surat pembaca ini.
Wassalaamu’alaikum wr.wb.
Lukman Abdurrahman
Email: luk_ar@telkom.co.id
Telah dimuat di HU PR tanggal 9 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar