Rabu, 29 Agustus 2012

Duh … Bandungku


Duh … Bandungku
Oleh: Lukman Abdurrahman

Apabila kita berjalan-jalan di seputar kota Bandung, akan tampak wajah kota yang makin hari makin ‘dewasa’.  Artinya tampilan Bandung sebagai kota besar makin kentara dengan serangkaian khas ciri kota besar:  kepadatan lalu lintas, kepadatan penduduk, kehirukpikukan suasana kota, penyempitan lahan hijau terbuka, pusat perekonomian untuk wilayah-wilayah sekitarnya, tujuan wisata dan lain-lain.  Situasi ini persis seperti isi syair lagu lama berbahasa Sunda perihal Bandung di bawah ini:

Bandung, Bandung, Bandung nelah kota Kembang,
Dilingkung gunung, heurin ku tangtung,
Puseur kota nu mulya Parahiyangan,
Bandung, Bandung, pada muru, dijarugjugan.

Dengan demikian Bandung nampaknya sudah dapat dikategorikan sebagai sebuah wilayah metropolitan.  Dalam hal ini Wikipedia online mendefinisikan tentang wilayah metropolitan sebagai sebuah pusat populasi besar yang terdiri atas satu metropolis besar dan daerah sekitarnya, atau beberapa kota sentral yang saling bertetangga dan daerah sekitarnya. Satu kota besar atau lebih dapat berperan sebagai hub-nya, dan wilayah metropolitan biasanya diberi nama sesuai dengan kota sentral terbesar atau terpenting di dalamnya.
Sesuai definisi di atas, Bandung merupakan sentral bagi kota-kota di sekitarnya seperti Cimahi, Sumedang, Garut, Subang, Cianjur dan kota-kota sekeliling Jawa Barat lainnya bahkan bagi para pelancong DKI Jakarta.  Hal ini dapat disaksikan pada setiap hari Sabtu dan Ahad atau hari libur lainnya, jalanan kota Bandung padat dikunjungi mobil-mobil berplat nomor polisi bukan D. Kondisi ini berkebalikan dengan Jakarta, yang pada dua hari libur akhir pekan itu justru relatif lengang.  Tambahan pula, bahwa pada tahun 1990 kota Bandung telah terpilih menjadi salah satu kota teraman di dunia berdasarkan survei majalah Time. Dan pada tahun 2007, British Council menjadikan kota Bandung sebagai pilot project kota terkreatif se-Asia Timur.
Pertanyaannya, apakah warga kota  sudah memperoleh kenyamanan lingkungan kehidupan bernuansa metropolis di Bandung ini sebagaimana pandangan-pandangan di atas? Jawabannya tentu dapat beragam antara yang menyatakan ya dan belum. Namun begitu ada beberapa hal yang perlu ditempuh guna memperoleh kenyamanan lebih yang dimaksud.
Pertama penataan lalu lintas. Sudah kita maklumi bersama bahwa peraturan lalu lintas yang dianut di Indonesia adalah warisan pemerintah Kolonial Belanda.  Sesungguhnya tak ada yang aneh dengan sistem ini, tidak pula harus diubah menjadi pola lalu lintas gaya Amerika Serikat misalnya, yang berkebalikan dengan di Indonesia.  Yang aneh adalah jika terjadi gabungan antara ala Belanda dan Amerika Serikat tersebut di satu ruas jalan.  Maksudnya di beberapa jalan kota Bandung sering terjadi arus lalu lintas yang kacau disebabkan kendaraan yang datang tidak saja berada di sebelah kanan, namun ada pula di sebelah kiri.  Padahal pada waktu bersamaan, kendaraan-kendaraan yang pergi berada di sebelah kiri yang memang sesuai dengan aturan. Contoh arus lalu lintas yang tiga arus ini dapat disaksikan di jalan-jalan yang lebar seperti jalan PHH Mustafa.  Demikian pula jalan-jalan yang seharusnya satu arah, dalam waktu-waktu tertentu menjadi dua arah.  Contoh pelanggaran ini  terjadi di jalan Ahmad Yani daerah Cicadas, terutama pada pagi hari, dan di beberapa ruas jalan lain. Belum lagi jika membincangkan perilaku lalu lintas angkutan umum terutama angkutan kota yang lebih semrawut lagi.
Untuk mengatasi persoalan itu nampaknya sinergi antara Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Lalu Lintas & Angkutan Jalan dan Kepolisian makin harus diintensifkan. Artinya penerbitan surat izin mengemudi harus dibenahi sehingga setiap surat izin ini memberikan jaminan pemegangnya memang sudah mengerti rambu-rambu lalu lintas dan layak mengemudi secara benar.  Jangan sampai terjadi percaloan surat izin mengemudi, calon pemegang surat ini harus benar-benar diuji tulis maupun praktek secara memadai.  Jangan pula uji prakteknya berlebihan seperti selama ini untuk calon pengemudi sepeda motor, diuji seolah-olah yang bersangkutan akan dijadikan pemain akrobat.  Akibatnya sulit untuk lulus secara normal, ujung-ujungnya dapat terjadi kongkalingkong penguji dan peserta ujian demi memperoleh kelulusan.  Namun lakukan ujian praktek di jalan raya nyata yang akan digunakan dalam keseharian calon pengemudi tersebut.  
Kedua adalah pemeliharaan lampu penerangan jalan.  Kota akan nampak ramah manakala penghuninya saat menyusuri jalan-jalan terutama malam hari merasakan kenyamanan dan keamanan.  Kenyamanan ini memerlukan sejumlah prasyarat, yang utama adalah penerangan jalan.  Beberapa jalan kota Bandung, walaupun secara fisik sudah dipasangi lampu-lampu jalan, namun saat malam hari padam. Kalau padamnya satu dua malam, itu mungkin disebabkan adanya kerusakan yang  belum sempat diperbaiki.  Namun jika padamnya bermalam-malam, itu memberi kesan pembiaran oleh pihak-pihak yang berwenang memelihara penerangan jalan ini.  Jelas kenyamanan penikmat kota akan berkurang, begitu pula citra sebuah metropolis akan melorot yang pada gilirannya akan menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial, di satu sisi.  Di sisi lainnya adalah penumbuhsuburan kriminalitas. 
Satu lagi terkait penerangan jalan adalah lampu lalu lintas (traffic light). Traffic light sangat berguna untuk mengatur keelokan berlalu lintas di perempatan atau persimpangan jalan. Juga keamanan para pemakai jalan akan terjamin karena masing-masing telah memperoleh alokasi kesempatan yang teratur dalam memanfaatkan persimpangan atau perempatan.  Di beberapa persimpangan jalan Bandung, terdapat lampu-lampu lalu lintas yang padam sebagian atau bahkan seluruhnya.  Hal ini di satu sisi menyumbangkan kemacetan selain kekacauan lalu lintas.  Di sisi lain terkesan bahwa kota ini tak ingin mengajari warganya berdisiplin.   Dengan kondisi traffic light yang baik saja, pengendara kadang-kadang tidak patuh pada aturan, apalagi jika kondisi pengatur arus ini dalam keadaan tidak berfungsi. 
Ketiga pemeliharaan jalan-jalan dan trotoar.  Sebuah kota metropolis mestinya dicirikan dengan kondisi infrastruktur jalan yang mulus dan keteraturan penggunaan jalan bukan saja bagi pengendara namun juga bagi para pejalan kaki.   Jalan-jalan di kota Bandung sebagian belum memenuhi persyaratan jalan yang memberi kenyamanan bagi para penggunanya.  Lubang-lubang atau keriting di badan jalan masih dapat ditemukan hampir di setiap pelosok kota Bandung, tak peduli walau itu di dekat Kantor Gubernur sekalipun.  Pengelola kota seharusnya secara reguler melakukan pemeliharaan jalan, tidak perlu menunggu kondisi makin parah. Tentu kita yakin bahwa ada dinas pada Pemerintah Kota yang khusus mengelola infrastruktur jalan ini. Juga kita yakin ada anggaran belanja untuk pemeliharaan infrastruktur ini, namun mengapa sifat pemeliharaannya insidental dan tidak rutin?  Padahal dari sisi pembiayaan, pemeliharaan preventif akan lebih murah dari pada perbaikan kerusakan. Seyogyanya para pengendara yang telah membayar pajak kendaraannya memperoleh kembalian pelayanan berupa jalan yang menyamankan.
Demikian pula sebuah kota metropolis mesti menyediakan prasarana bagi para pejalan kaki berupa trotoar.  Jalan-jalan di Bandung tidak semuanya memiliki trotoar, apalagi trotoar yang representatif seperti di kota Sacramento ibu kota California Amerika Serikat.  Trotoar di kota modern seperti itu selain lebar-lebar juga dilengkapi dengan tempat untuk duduk-duduk yang nyaman di ruang terbuka. Trotoar seperti ini juga dapat memberi ruang aman bagi mereka yang tergolong cacat seperti para pengguna kursi roda.  
Kondisi trotoar di Bandung jangankan memberi keleluasaan bagi kaum disable tersebut, bagi mereka yang normal saja masih terasa sumpek.  Trotoar di Bandung lebih banyak diserobot oleh para pedagang kaki lima, bahkan jika jalanan macet trotoar pun disulap jadi jalan alternatif para pengendara sepeda motor.       
Keempat pengelolaan pasar tradisional dan pedagang kaki lima.  Infrastruktur lain yang mesti disigapi Pemerintah Kota adalah pasar, tempat transaksi pelbagai barang kebutuhan sehari-hari. Pasar merupakan wahana interaksi sesama warga kota guna membangun hubungan sosial dan emosional. Di sisi lain, pasar merupakan salah satu urat nadi perekonomian warga kota guna menumbuhkembangkan kesejahteraan warganya.  Oleh karena itu semestinya pasar dibangun secara representatif, memenuhi standar-standar keamanan, kenyamanan dan kelayakan. 
Untuk itu, penegakan peraturan di pasar tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bagi para pelanggar harus diberikan hukuman. Hal ini diperlukan supaya kesan-kesan kumuh, semrawut, tumpukan sampah dan pusat kemacetan jalan pada pasar-pasar tradisional dapat dihindarkan. Kesan ini melekat lebih disebabkan tidak berdayanya peraturan yang ada.  Sebagai contoh, pasar dikesankan sebagai tempat kemacetan lalu lintas, karena para pedagang lebih suka berjualan di luar area pasar.  Mereka lebih memilih di jalan yang lebih dekat kepada para pembeli.  Jelas ini adalah ketidakberdayaan penegakan peraturan.
Demikian pula para pedagang kaki lima, adalah kelompok yang paling sering melanggar peraturan karena mereka suka menyerobot fasilitas umum seperti trotoar untuk berjualan.  Sebagai contoh trotoar di jalan Ahmad Yani Kiaracondong-Cicadas habis ditempati para pedagang ini lengkap dengan pemandangan kekumuhannya.  Demikian pula di sekitar Kosambi atau di Jalan Otto Iskandardinata. 
Nampaknya Pemerintah Kota mesti belajar pada pasar-pasar tradisional di beberapa kota modern.  Pelajaran untuk penataan ini dapat diperoleh misalnya di kota Pomona, sebuah kota kecil di pinggiran Los Angeles Amerika Serikat.  Di sana walau kotanya kecil, terdapat pasar tradisional yang tertata rapih, tak berbecek dan nyaman bagi pedagang maupun pembeli.
Kelima penataan mall.  Modernisasi perbelanjaan di kota Bandung boleh dikatakan lebih berpihak pada pembangunan pusat-pusat perbelanjaan besar atau mall ketimbang penataan pasar-pasar tradisional.  Hal ini memang tak bisa dihindarkan akibat pengaruh globalisasi yang kian menguat.  Namun yang mesti diperhatikan adalah penataan lokasi mall perlu disesuaikan dengan kemampuan lahan kota dan tidak mematikan para pedagang tradisional.  Saat ini mall-mall menjamur di kota ini, seolah tak mengindahkan lagi kepantasannya berada di suatu lokasi.  Artinya tak peduli bahwa di situ akan terjadi kemacetan lalu lintas baru, tak melihat juga bahwa di situ sudah ada pasar tradisional atau mall lain, tak melirik lagi bahwa di situ merupakan ruang hunian dan sebagainya.   Akibatnya dapat dilihat akan muncul kesemrawutan lalu lintas, persaingan tak sehat antara pasar tradisional dengan mall dan lain-lain. Atau terjadi anti klimaks hal tersebut, yaitu mall tersebut pelan-pelan mati karena tidak banyak pengunjung disebabkan salah memilih lokasi.  Padahal betapa besar investasi yang telah ditanamkan. 
Mengapa pemberi izin pembangunan mall ini tidak memperhatikan  keseimbangan kebutuhan warga kota akan mall? Jadi sebaiknya tak perlu terus-terusan diberi izin membangun mall baru, namun manfaatkan saja beberapa bangunan mall yang nyaris atau sudah bangkrut untuk dihidupkan kembali seperti Gedung Palaguna dan Rumah Matahari di pusat kota.  Karena pembangunan baru mall jelas akan mengurangi atau menggusur ruang terbuka. 
Keenam pengelolaan sampah dan kebersihan kota.  Sampah adalah masalah cukup signifikan di kota Bandung.  Beberapa kali kota ini memperoleh predikat kota sampah akibat terhalangnya pembuangan sampah ke lokasi akhir.   Walau predikat kota sampah sudah tidak disandang lagi oleh Bandung, bukan berarti kota ini sudah terbebas dari sampah.  Di beberapa jalanan kota masih dapat ditemukan sampah-sampah berserakan setiap harinya.  Sumpek rasanya menyaksikan pemandangan seperti ini yang seharusnya tidak boleh terjadi di sebuah kota metropolitan. 
Pemerintah Kota sudah saatnya memanfaatkan teknologi modern untuk mengelola sampah ini karena cara-cara tradisional nampaknya sudah tidak memadai lagi.  Begitu pula, sangat arif pula jika Pemerintah memberdayakan warga kota guna mengatasi persoalan sampah ini secara swakelola.  Di beberapa kota lain sudah dikenal bank sampah yang dikelola oleh warga.  Selain dapat menambah pendapatan warga, cara ini juga dapat mengatasi persoalan sampah ini. 
Ketujuh modernisasi pelayanan umum.  Yang dimaksud pelayanan umum di sini adalah pelayanan Pemerintah Kota terhadap warganya seperti pelayanan administrasi warga semisal  kartu tanda penduduk (KTP), akte kenal lahir, izin mendirikan bangunan, administrasi pernikahan, juga pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, pelayanan angkutan, pelayanan pembayaran pajak-pajak dan lain-lain. 
Pemerintah tentunya harus menyediakan semuanya itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa pemimpin satu komunitas adalah pelayan komunitas itu sendiri.  Selayaknya pelayanan umum tersebut makin dimodernisasi di kota Bandung ini, artinya warga harus makin mudah mengakses layanan-layanan ini bukan malah dipersulit.  Sebagai contoh kecil, penggratisan KTP adalah sesuatu yang sangat wajar karena warga sudah membayar sejumlah pungutan seperti Pajak Bumi Bangunan, namun dalam prakteknya warga masih pula harus mengeluarkan sejumlah uang manakala harus mengurus KTPnya.  Ini tentu saja sebuah ironi bagi warga metropolis yang beradab. 
Tentu tidak salah jika belajar dari kota-kota yang lebih dulu menerapkan pelayanan umum yang modern ini.  Sebagai contoh ambil di kota Claremont, lagi-lagi di pinggiran kota Los Angeles.  Di kota ini, jika kita walau sebagai warga negara asing akan membuat social security number, semacam KTP di sini,  jangankan dipungut biaya, kartunya sendiri malah akan diantarkan ke rumah kita via pos.  Demikian pula saat pajak kendaraan jatuh tempo, dinas pelayanan pajak ini akan memberi tahu pemilik kendaraan. Pemilik dapat membayar cukup dengan mengirimkan cheque via pos, bukti bayar akan diterima pemilik kendaraan juga via pos.  Demikian sederhana pelayanan ini, namun absah dan memudahkan semua pihak.  Mengapa kota Bandung tidak mencoba cara-cara ini?   Tentu bukan berarti semuanya harus gratis, yang paling penting adalah pelayanan yang baik.   
Hal-hal di atas hanya sebagian saja persoalan yang sedang dihadapi kota Bandung. Sesungguhnya untuk mengatasi persoalan di atas, tidak cukup diserahkan kepada Pemerintah Kota saja.  Adalah tugas semua warga kota juga untuk terus berupaya berpartisipasi mempercantik kota ini seperti misalnya tidak membuang sampah di sembarang tempat, tidak naik turun angkutan umum di tempat terlarang, ikut mematuhi semua peraturan yang berlaku dan sebagainya.  Jika kerja sama ini dapat terjalin baik, maka Kota Bandung yang diimpi-impikan tidak lagi hanya berada di tataran wacana namun dapat menjelma sebagai kenyataan, insya Allah.      


---++==oo0oo==++---



Bandung, 12 Maret 2012


Yth. Redaksi
HU Pikiran Rakyat
Di
Bandung

Perihal: Alternatif mengatasi kemacetan jalanan kota Bandung

Assalaamu’alaikum Wr Wb.

Memperhatikan kemacetan lalu lintas kota Bandung, makin hari makin menjadi-jadi. Boleh dikata sudah tidak mengenal hari maupun jam, antara hari kerja seperti sepanjang Senin -  Jum’ah dan hari libur Sabtu – Ahad sama saja.  Demikian pula antara jam pergi/ pulang kerja dengan jam di luar jadwal pergi/ pulang kerja sulit dibedakan.   Jika pada hari-hari kerja jalanan disibukkan oleh arus lalu lintas para pegawai yang akan pergi/ pulang bekerja, ditambah anak-anak sekolah yang menuju sekolahnya masing-masing.  Maka pada hari libur, jalanan kota Bandung dipadati para wisatawan dari luar kota yang sengaja melancong di kota Bandung.

Kondisi ini tentu saja melahirkan ketidaknyamanan bagi warga kota karena kemacetan dan polusi yang makin menjadi, apalagi sebagian ruas jalan di kota Bandung masih banyak yang rusak. Ada beberapa solusi yang dapat ditempuh oleh Pemkot untuk mengatasi kemacetan kota ini, diantaranya:

1.            Pembuatan wilayah sekolah.  Berdasarkan pengalaman saya sendiri yang tiap hari melintasi sejumlah ruas jalan kota Bandung dapat diperhatikan bahwa, jika anak-anak sekolah sedang libur, arus lalu lintas di kota akan menjadi lebih lancar akibat volume pengendara berkurang.  Pengurangan volume ini disebabkan anak sekolah liburan, sehingga dapat dibuat hipotesis bahwa salah satu faktor penyebab kemacetan adalah arus anak-anak sekolah ini, baik yang naik angkot, diantar atau naik jemputan. Oleh karena itu, untuk mengurangi arus ini harus dilakukan pengaturan arus anak sekolah.  Caranya dapat ditempuh dengan pembuatan kebijakan wilayah sekolah, yaitu anak-anak sekolah yang berada di wilayah Barat Bandung harus bersekolah di wilayah Bandung Barat, yang berdomisili di wilayah Timur Bandung harus bersekolah di wilayah Bandung Timur dan seterusnya.  Dengan demikian tidak akan terjadi lalu lintas silang antar wilayah yang pada gilirannya dapat mengurangi kehirukpikukan arus lalu lintas.  Namun konsekuensinya, mutu sekolah di masing-masing wilayah harus ditingkatkan sesuai standar mutu yang berlaku.  Terjadinya silang wilayah sekolah – siswa Barat sekolah di wilayah Timur dan sebaliknya – akibat untuk mengejar mutu sekolah yang diinginkan oleh para orang tua siswa.   Kebijakan ini dapat ditempuh untuk tahap pertama pada tingkat TK dan SD saja dulu sebagai uji coba, pemberian pengertian kepada warga kota (para orang tua) dan pemberian tantangan kepada Dinas Pendidikan.  Maka niscaya akan berdampak signifikan pada kelancaran lalu lintas.
2.            Pembuatan lahan-lahan parkir bawah tanah (basement).  Masalah parkir juga menyumbangkan kemacetan yang cukup mengganggu jika tak diatasi dengan seksama.  Pembuatan lahan parkir bawah tanah seperti di Alun-alun perlu ditebar di tempat-tempat lain untuk mengatasi kepadatan jalan yang berubah fungsi jadi lahan parkir.  Wilayah seperti sekitar Monumen Perjuangan Jawa Barat membutuhkan lahan parkir bawah tanah karena pada hari-hari kerja di sekitarnya dipadati sejumlah kendaraan parkir yang juga menyumbangkan kemacetan.  Begitu pun bawah tanah Lapangan Gasibu dapat dibuat lahan parkir, dan di tempat-tempat lain.  Parkir bawah tanah jelas akan mengurangi kemacetan selain dapat memperbesar PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kota jika dikelola dengan manajemen yang baik.
3.            Tindak tegas para pelanggar lalu lintas, terutama para pengendara motor yang suka melawan arus.  Kebiasaan buruk yang sudah menggejala di kota Bandung ini harus segera diatasi, jangan dibiarkan menunggu keadaan sangat parah. Mohon Polantas jangan segan-segan menertibkan hal ini karena kebiasaan buruk tersebut jelas menyumbangkan kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas.

Terima kasih kepada HU PR yang telah sudi memuat goresan hati saya sebagai salah satu warga kota yang ingin peduli untuk kenyamanan kotanya sendiri.


Wassalam

H. Lukman Abdurrahman
Jl. Yodkali 1 Cikutra Bandung  

---oo0oo---


Penyalahgunaan Gazebo Lapangan Gasibu

Assalaamu’alaikum wr.wb.
Sebagaimana biasa pada hari Jum’at pagi, saya melakukan olah raga rutin dengan berjalan kaki di Lapangan Gasibu.  Memang menyamankan di lapangan tersebut karena terbuka luas dan gratis serta dekat dari kantor.
Namun akhir-akhir ini, kenyamanan lapangan tersebut terganggu dengan berbagai sampah, barangkali sisa-sisa pasar kaget setiap hari Ahad dan para pemulung.  Namun ada lagi ’sampah’ yang lebih memuakkan tercecer di Lapangan Gasibu, yaitu sekelompok remaja jalanan baik laki maupun perempuan yang ’menguasi’ dua Gazebo di pojokan Lapangan. 
Kalau sekedar duduk-duduk, barangkali tak masalah, namun yang terlihat, mereka menjadikan Gazebo tersebut sebagai kamar tidur permanen (terutama yang bersebelahan dengan Jl Surapati) karena setiap saya lewat Gazebo berada dalam penguasaan mereka.  Laki perempuan bercampur yang seolah tak mengenal batas muhrim bukan muhrim, mereka ’buta’ terhadap nilai-nilai kesusilaan.   Mereka tak peduli waktu, walau matahari sudah bersinar, mereka tetap tak beringsut.
Yang lebih mengejutkan lagi, terlihat sepasang diantara mereka berasyik maksuk pada pagi hari itu (Jum’at tanggal 4 Pebruari sekira pukul 07.15 WIB), sementara teman-temannya menyaksikan sambil duduk-duduk ’cuek bebek’.  Kemana rasa malu mereka? Sebejat itukah akhlak mereka? Padahal wajah mereka adalah wajah-wajah yang nampak ’baik-baik’ saja.  Na’uudzubillahi min dzaalik, rasanya muak saya disuguhi tontonan yang sungguh tidak lucu itu.  Tercemarlah sudah lapangan kebanggaan masyarakat Bandung itu, tercemar pula rasanya Bandung sebagai kota agamis seperti yang suka digembar-gemborkan Walikota Dada Rosada beberapa waktu lalu.  Itu hanya sedikit saja yang sempat saya saksikan, apa yang terjadi di luar itu? Siang-siang saja tak punya malu, bagaimana pula jika malam hari? 
Saya mohon kepada pihak yang berwenang untuk menertibkan kawasan Gasibu dari sampah-sampah tersebut.  Demikian pula mohon jargon Bandung Kota Agamis tercipta dalam tataran realitas.
Keberadaan Gazebo sebenarnya untuk menambah keindahan lapangan, guna dinikmati siapa pun pengunjung. Tahun 2000 lalu saat awal saya berkantor di Bandung, masih bisa duduk-duduk menikmati Lapangan Gasibu dari Gazebo tersebut.  Sekarang ... jangan harap, kecuali masuk dulu ke komunitas mereka, ’auudzu billaah.    
Terima kasih Redaksi PR yang sudah memuat surat pembaca ini.

Wassalaamu’alaikum wr.wb.
Lukman Abdurrahman
Email: luk_ar@telkom.co.id
   Telah dimuat di HU PR tanggal 9 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar