Selasa, 04 September 2012

Membumikan Islam



Membumikan Islam: Menciptakan Masyarakat Unggul
Oleh Lukman Abdurrahman


Ada satu pertanyaan yang sering dilontarkan sementara kalangan, yaitu “Mengapa bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tidak mampu menjadi bangsa unggul  sebagai wujud keislamannya sehingga diperhitungkan dunia?”.  Pertanyaan ini memang terasa berlebihan dan terkesan mengada-ada jika dikaitkan dengan kondisi komunitas muslim Indonesia saat ini. Betapa tidak, yang terlihat dalam keseharian kita, kaum muslim Indonesia saat ini identik dengan kekumuhan, kemiskinan, kejumudan dan ketertinggalan-ketertinggalan lainnya.  Inilah fakta yang tak terbantahkan walaupun harus diakui pula bahwa kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan awal-awal kemerdekaan Indonesia, apalagi pada zaman penjajahan.  Tingkat pendidikan sebagian kaum muslim saat ini jauh sudah lebih baik, dalam arti mereka yang mengenyam pendidikan tinggi tidak bisa dihitung lagi dengan sepuluh jari.  Begitu pula, jumlah jamaah haji setiap tahun tetap besar walaupun dalam kondisi krisis ekonomi.  Ini menunjukkan bahwa sisi perekonomian ummat Islam lebih baik jika dibandingkan dengan dekade 50, 60 dan 70-an.

Dari sinilah barangkali terbersit satu harapan, suatu saat nanti Indonesia yang dimotori kaum muslimnya dapat tampil sebagai bangsa unggul dengan peradaban yang kosmopolit.  Adalah wajar hal ini manjadi harapan kalau ditilik dari peta penyebaran kaum muslim dunia yang pernah menyumbangkan aktualisasi Islam dalam kenyataan. Kaum muslim yang tinggal di sekitar Asia Barat dan Afrika yang meliputi semenanjung Arabia, Mesir, Turki, Irak, Iran dan lain-lain pernah menampilkan sosok Islam yang cemerlang pada awal-awal keemasannya.  Tokoh-tokoh yang mewakili generasi ini tak terhitung jumlahnya, namun yang sangat menonjol terdapat pada imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali), Imam Bukhary dan Muslim sebagai ahli hadits, Ibnu Sina sebagai ahli kedokteran, Imam Ghazaly Al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun dan lain-lain.  Demikian pula, kaum muslim yang pernah tinggal di wilayah barat yaitu di Andalusia Spanyol telah pernah menampilkan peradaban Islam yang aktual dan berbekas kuat di daratan Eropa.  Hal ini terbukti dari, misalnya, teknik arsitektur abad pertengahan yang tetap dikagumi dan juga tokoh Ibnu Rusyd (Averros) sebagai ahli fikih dan filsafat yang menjadi guru para ilmuwan Eropa pada kemudian hari.  Dari Asia Tengah dan Selatan, telah pula mencuatkan peradaban Islam yang mumpuni melalui tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh dan mewarnai percaturan dunia saat itu.  Dari Afganistan dikenal tokoh Jamaluddin Al-Afgani yang pernah ‘menggentarkan’ banyak kalangan karena gagasan pan islamismenya.  Demikian pula dari Pakistan ada Muhammad Iqbal yang mewakili sosok intelektual muslim yang patut diperhitungkan.  Di India ada karya arsitektur Moghul seperti Taj Mahal yang mempesona, dan banyak lagi lainnya yang semuanya berperan besar dalam membangun citra Islam yang berperadaban tinggi sekaligus, dapat dikatakan, mewakili wilayah komunitas muslimnya masing-masing. 

Sangat wajar kiranya jika kaum muslim Indonesia diharapkan muncul sebagai lokomotif kebangkitan Islam mewakili regional Asia Tenggara karena nature Islam memang demikian.  Prof. John L. Esposito dalam bukunya, Islam: The Straight Path menyatakan, “From its earliest days, Islam possessed a tradition of revival and reform.  Muslims had been quick to respond to what they regarded as the compromising of faith and practice...(Esposito 1998, hal 116)”.  Artinya, sejak awal-awalnya Islam memiliki tradisi bangkit kembali dan menata diri.  Kaum muslim cepat merespon apa-apa yang mereka anggap dapat mengkompromikan keyakinan dan praktek lapangan.

Sepanjang sejarah peradaban Islam, regional Asia Tenggara belum dikenal pernah menyumbangkan peranan besar dalam mengaktualisasikan Islam sebagai sumber peradaban universal sebagaimana yang pernah dilakukan oleh bagian-bagian lain penduduk Islam dunia. Padahal komunitas muslim di regional ini sangat besar, bahkan Indonesia  merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.  Namun sampai saat ini Islam di wilayah Asia Tenggara dan Indonesia khususnya lebih dikenal sebagai sosok agama yang statis dalam arti belum mampu mencuatkan agama ini sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat madani yang dihargai dunia, baik dalam tataran gagasan maupun praktis.  Malah yang dilihat dunia luar, khususnya dunia barat yang diwakili Amerika Serikat dan sekutunya, wajah kaum muslim Indonesia lebih dikenal sebagai penyebar teror yang haus darah, terlepas dari benar tidaknya stigma tersebut.  Hal ini sebenarnya merupakan tantangan yang harus dijawab kaum muslim Indonesia untuk membalikan citra Islam di negeri ini sebagai agama motivator dalam menciptakan masyarakat yang berperadaban kosmopolit. 

Kemampuan generasi pendahulu kaum muslim dalam menyumbangkan peradaban yang tinggi terhadap komunitas dunia tak terlepas dari semangat mereka menjadikan Islam sebagai sumber gagasan dan ruh yang menjiwai cara pandang mereka.  Islam telah diletakkan secara proporsional, tidak saja dalam membangun hubungan dengan Tuhan namun pula dalam berinteraksi dengan makhluk-Nya.  Dalam hal ini substansi ajaran Islam dapat diimplementasikan secara paripurna.  Ritual-ritual agama tidak menjebak mereka menjadi pribadi-pribadi salih yang arogan, yang telah mematok kavling di surga hanya untuk dirinya namun lupa kalau dia telah menghalangi tetangganya yang ingin ke surga juga.  Mereka malahan berhasil menggenapi ruang-ruag sekitar ritual tersebut menjadi anyaman-anyaman bermosaik Islam, sehingga nampak sosok Islam yang indah dan utuh.  Obor Islam telah membakar semangat intelektualitas yang tidak berhenti untuk dirinya namun merambah ke segala arah guna membuktikan bahwa Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin, rahmat bagi sekalian alam.   Semangat pencarian pengetahuan kaum pendahulu benar-benar mengikuti petunjuk Nabi SAW yang menyuruh ummatnya menggali ilmu pengetahuan walaupun sampai ke negeri Cina.  Konsekuensinya, mereka mau berbaur degan ‘masyarakat dunia’ lainnya.  Khazanah intelektual yang telah dimulai pada masa peradaban Yunani, dilanjutkan dan diperkaya oleh generasi pendahulu kaum muslim sehingga menjadi kekayaan intelektual yang tak ternilai harganya.

Jika mencermati kaum muslim Indonesia saat ini memang masih amat jauh untuk diharapkan muncul sebagai pengusung Islam menjadi ‘mercu suar’ sumber berbudaya dan berkarya. Adalah tantangan terbesar saat ini bagaimana mengislamkan orang Islam sendiri.  Islam harus dijadikan ideologi yang merasuk ke dalam sumsum tulang kaum muslim sehingga menjadi darah daging mereka.   Sehingga pada gilirannya, hal ini akan membentuk pribadi-pribadi muslim yang sesungguhnya, dalam arti keislaman yang disandang mereka terefleksikan dalam kedisiplinan melakukan ibadah ritual sekaligus terpancar dalam perilaku keseharian mereka.  Jadi, contohnya, kejujuran yang diajarkan Islam tidak saja dipraktekkan dalam menepati jumlah rakaat shalat subuh, menepati jumlah jam shaum Ramadlan dan aturan ibadah ritual lainnya, tapi pula menjadi perilaku disiplin yang inherent dalam mengemudikan kendaraan, melayani kepentingan umum, memimpin masyarakat, menjadi anggota masyarakat dan lain-lain.  Dengan demikian, kondisi paradoks saat ini dapat diminimalkan atau dihindarkan dari sikap ‘umum’ kaum muslim yang memandang ketaatan dan kemaksiatan 'sama' saja.  Bahkan, seharusnya, sikap paradoks perlu ditabukan dari perilaku kaum muslim, karena tidak etis hak bercampur batil.  Jika kondisi ini dapat ditiadakan maka cita-cita pembentukan masyarakat madani tak membutuhkan ongkos yang besar, Islam cukup sebagai sumber inspirasi.

---ooo0ooo---

Membumikan Islam pada kaum muslim harus ditempuh dengan cara kultural dan struktural.  Pembumian secara kultural berkaitan dengan upaya penyadaran keislaman kaum muslim melalui pendekatan budaya, kebiasaan (habit) dan tradisi.  Pendekatan ini harus dengan memperhatikan partikular masyarakat, karena setiap wilayah mempunyai kekhasan sendiri.  Masyarakat pantai mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat pedalaman, masyarakat perkotaan lain dengan pedesaan.  Demikian pula masyarakat perkantoran berbeda dengan ‘gaya’ para pekerja luar kantor dan seterusnya.  Dalam hal ini Islam harus ‘disusupkan’ ke lingkungan berbeda tersebut sesuai ‘irama’ yang ada di sana.  Sebagai contoh, para ustadz hendaknya bersedia memberikan muatan Islam terhadap upacara-upacara adat seperti upacara sedekah laut, bukan malah menjauhinya.  Saat ini, hal tersebut nampaknya tak terlalu diperhatikan, sehingga walaupun Islam telah dianut ratusan tahun di lingkungan tersebut, saat upacara adat yang ditonjolkan lebih pada sikap takhayyul dan khurafat-nya.  Terjadi dikotomi antara Islam sebagai agama dan upacara adat sebagai budaya. Padahal seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, idealnya memang budaya yang berkembang di masyarakat muslim semuanya bernafaskan Islam, namun sulit mencapai hal tersebut. Di sini harus diambil jalan tengah, islamisasi budaya yang telah ada namun terkadang harus dengan risiko berjiwa besar.  Maksudnya, kelenturan pemahaman Islam harus diperlebar dan kontekstual karena tidak jarang toleransi demikian terasa ‘menyimpang’ dari teks-teks sumber hukum Islam. 

Penyampaian pesan-pesan Islam secara kultural, di sisi lain, lebih banyak bersinggungan dengan praktek beragama yang bersifat individual atau komunal terbatas dan tidak perlu melibatkan institusi formal (baca: negara).  Jelasnya, bidikan membumikan Islam ini adalah bagaimana kaum muslim dapat didorong mengaktualkan praktek-praktek ritual agama yang telah dijalani selama ini sehingga membawa bekas pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pembumian ini dapat dilaksanakan sendiri oleh kaum muslim tanpa perlu merengek-rengek pada negara untuk melegitimasinya.  Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada kaum muslim sendiri untuk melakukannya dengan, kalau perlu, mengadopsi budaya setempat sehingga Islam terasa lebih membumi dan menjadi kebutuhan masyarakat.  Sebagai contoh, ajaran shalat berjamaah tidak saja menjanjikan pahala yang berlipat ganda, tapi harus pula diimplementasikan dalam membangun masyarakat.  Masyarakat yang terbiasa dengan shalat berjamaah selayaknya menjadi masyarakat yang tertib, saling menghormati, mengetahui peran masing-masing dan taat asas.  Betapa tidak, aturan shalat berjamaah mengajarkan seseorang yang telah ditunjuk menjadi imam harus ditaati oleh jamaahnya, pemilihan imam harus berdasarkan kriteria-kriteria luhur, namun di sisi lain jamaah pun punya hak suara untuk mengkoreksi imam jika salah.  Tambahan pula, shalat berjamaah mempunyai jenjang, yaitu untuk shalat lima waktu masyarakat yang berkumpul cukup satu RT saja.  Tapi untuk Shalat Jum’at, masyarakat yang harus kumpul melebar menjadi satu RW, sedangkan untuk Shalat ‘Id melebar lagi menjadi bisa satu kelurahan malahan lebih besar lagi.  Hal ini sebenarnya isyarat lain tentang pola kehidupan bermasyarakat yang secara etika harus dipraktekkan kaum muslim dalam kehidupan nyata. Tidak ada salahnya jika prinsip shalat berjamaah tersebut dibawa pada saat perkumpulan RT, RW atau kegiatan perkumpulan lain.

Karena sifatnya privat, pembumian Islam secara kultural harus dilakukan oleh kaum muslim sendiri, khususnya para da’i.  Dalam prakteknya, setiap komunitas muslim yang diwakili oleh para da’inya akan berbeda-beda dalam memandang kultur yang telah berkembang di masyarakat.  Ada di antara mereka yang dapat mentolerir kultur tersebut, ada pula yang sama sekali antipati walaupun di dalamnya telah disisipkan muatan-muatan Islam.  Sebagai contoh budaya ‘tahlilan’ terhadap seseorang yang meninggal dunia, budaya memperingati hari-hari bersejarah seperti Maulud Nabi Muhammad SAW dan lain-lain. Dalam hal inilah, barangkali, perlu dicanangkan kesatuan tujuan kaum muslim untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam meskipun berbeda dalam tata cara.  Sepanjang aktualisasi tersebut dalam koridor Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, tak perlu yang satu merasa paling benar sedangkan yang berbeda dengannya dianggap salah, bahkan sesat. Sikap memutlakkan kebenaran tafsir demikian perlu segera diakhiri, terutama yang saat ini masih nampak di wilayah akar rumput masyarakat, karena kebenaran yang digali dari hasil penafsiran bersifat relatif sesuai dengan kapasitas nalar penafsirnya yang relatif pula.  Sudah saatnya kaum muslim Indonesia berpikir lebih dari itu.  Perbedaan dalam wilayah ijtihadi telah berlangsung sejak awal sejarah Islam, yang perlu ditonjolkan sekarang adalah sikap-sikap toleran terhadap perbedaan itu sebagaimana ditunjukkan oleh para pendahulu.

Islamisasi kaum muslim secara kultural harus bermuara pada terciptanya keindahan moral masyarakat.  Hal ini sesungguhnya yang menjadi tujuan syari’ah, yaitu terpeliharanya akal, harta, lingkungan dan kemaslahatan lainnya.  Oleh karena itu, perlu dilakukan penerjemahan-penerjemahan ajaran moral dari setiap aktivitas ritual dalam setiap pendidikan agama baik yang dilakukan secara formal maupun informal.  Penerjemahan perlu dilakukan dengan cara tertulis dalam bentuk buku-buku, lisan, bahkan langsung pada aktivitas keseharian. Oleh karenanya, pendidikan atau praktek ritual agama jangan terjebak hanya pada mekanistis tata cara ibadah saja, namun perlu dilengkapi pula filosofi moral atau pesan-pesan kemanusiaan lainnya.  Diharapkan metode ini dapat menciptakan keseimbangan antara rajinnya seseorang melakukan kegiatan ritual agama dengan makin meningkat pula kualitas moralnya. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa aktivitas ritual itu untuk kepentingan manusia bukan kepentingan Tuhan, sehingga manfaatnya harus dirasakan oleh manusia pula. Dengan demikian, tak perlu terjadi lagi, misalnya, seseorang yang telah pergi haji berkali-kali masih terus sibuk mengumpulkan biaya untuk haji berikutnya, sementara fasilitas pendidikan ‘merana’ tak terurus, kaum muda asik dengan ‘pesta’-nya dibiarkan, lingkungan kaum miskin makin kumuh saja dan anak yatim terlantar luput dari perhatian.  Aktualisasi ajaran Islam secara nyata sangat besar sumbangannya dalam menata kehidupan lebih baik.

---ooo0ooo---

Sisi berikutnya, membumikan Islam secara struktural sebenarnya tak jauh berbeda dengan membumikan Islam secara kultural. Pada dasarnya, keduanya bertujuan sama, yaitu ingin merefleksikan ritual-ritual agama dalam praktek keseharian sehingga tujuan syari’ah di atas tercipta.  Membumikan Islam struktural berhubungan dengan pelaksanaan ritual agama yang prakteknya tidak bisa dilakukan oleh individu namun membutuhkan peran suatu institusi.  Di sini ingin ditegaskan bahwa tidak mungkin kita berislam dengan komprehensif jika pengamalannya berkisar di wilayah privat saja, padahal lingkup Islam menjangkau baik wilayah privat maupun wilayah publik.  John L. Esposito menambahkan, “Because Islam means surrender or submission to the will of God, Muslims have tended to place primary emphasis on obeying or following God’s will as set forth in Islamic law. For this reason, many commentators have distinguished between Chrystianity’s emphasis on orthodoxy, or correct doctrine or belief, and Islam’s insistence on orthopraxy, or correct action.  However, the emphasis on prctice has not precluded the importance of faith or belief.  Faith (iman) and right action or practice are intertwined (Esposito 1998, 68)”.  Maksudnya, karena Islam berarti penyerahan diri terhadap kehendak Tuhan, kaum muslim tidak ragu menempatkan tekanan utamanya dalam ketaatan pada kehendak Tuhan seperti yang telah ditetapkan dalam hukum Islam.  Untuk itu, para komentator membedakan antara tekanan Kristen pada ortodoksi atau doktrin yang benar atau kepercayaan dengan tekanan Islam pada ortopraksi atau tindakan yang benar.  Namun tekanan pada tindakan tidak merintangi pentingnya iman atau kepercayaan.  Iman dan tindakan yang benar saling terkait.

Pemisahan agama dari kehidupan publik sebenarnya merupakan reduksi terhadap makna agama itu sendiri (QS 5:44,45,47).  Bahwa kemudian aktualisasi agama tersebut membutuhkan tafsir sesuai dengan kondisi lokal, hal ini dapat dipahami.  Tetapi sama sekali tidak bisa agama ‘dicerai’ dari kehidupan masyarakat luas.  Hal ini bertentangan dengan tujuan diturunkannya agama itu sendiri, karena secara filosofis agama diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk kehidupan yang benar sebab manusia tidak akan sampai pada kebenaran sejati sungguh pun telah dibekali kemampuan intelektual.  Kemampuan intelektual justru harus digunakan sebagai tools dalam mengejawantahkan pesan-pesan Tuhan itu, bukan sebaliknya untuk mengatur Tuhan.  Sejarah telah menunjukkan, betapa banyak filosuf yang berjuang mencari ‘kebenaran’ namun tak bisa mencapai hakikat kebenaran, karena kebenaran hakiki hanya berasal dari Tuhan (QS 2:147).

Ritus agama yang perlu diaktualisasikan dengan pendekatan struktural berimplikasi pada kepentingan umum secara luas seperti dalam kajian fikih jinayah, siyasah dan lain-lain.  Penerapan ritual ini selain sebagai lambang ketaatan kepada Tuhan, pula manfaatnya dapat dirasakan seluruh masyarakat (QS 5:32).  Misalnya penerapan hukum qishash dapat memelihara kehormatan nyawa manusia sehingga tidak akan terjadi peristiwa pembunuhan untuk hal-hal yang sepele.  Demikian pula penerapan ritual rajam akan membantu mengurangi penyakit masyarakat yang sulit diberantas karena kepastian hukum yang tidak ada.  Peredaran narkoba dapat direm karena sanksi hukumnya tegas, dan seterusnya.  Tentu saja untuk praktek ritual seperti ini dibutuhkan suatu institusi yang mengurusinya, dengan kata lain negara harus terlibat. Tidak mungkin dilakukan oleh masing-masing atau kelompok individu karena dikhawatirkan akan lepas kontrol dan dicap mendirikan negara di dalam negara. Sebagaimana pernah terjadi pada kasus Laskar Jihad di Maluku yang merajam salah seorang anggotanya karena berzina.  Maksud Laskar Jihad sangat mulia ingin menegakkan peraturan Tuhan, namun pihak berwenang Republik meresponnya secara negatif dengan menangkap Panglimanya.  Ini salah tafsir yang harus dijembatani dengan kejernihan nurani, mau mendengarkan isyarat-syarat wahyu.  Untuk itu, dengan segala kebesaran jiwa, negara harus mau mengakomodasi aspirasi ‘kaum muslim’ ini guna menebarkan konsep rahmatan lil aalamiin dalam tataran praktis yang utuh.

Dalam wacana membumikan Islam, tak sedikit pihak-pihak kotor yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan jangka pendeknya.  Artinya, ada pihak tertentu yang berpura-pura memperjuangkan hal ini tapi kemudian terbukti hanya mengejar target politis, karena setelah tercapai tujuannya diam seribu bahasa.  Inilah yang suka melahirkan stigma buruk terhadap mereka yang memperjuangkannya secara ikhlas.  Kesan seperti itu demikian kuat di masyarakat, terutama pada pihak berwajib negeri ini, sehingga telah menjadi apriori jika berbicara penegakan syari’ah Islam sama artinya dengan kepentingan ‘politis’.  Ini tantangan lain lagi bagi ‘kaum muslim’ untuk meyakinkan penduduk Republik ini tentang kebutuhan masyarakat akan perangkat hukum berbangsa dan bernegara yang menjamin keluhuran moral.  Selain itu, tantangan lainnya adalah islamisasi kaum muslim yang islamophobia, yang lebih suka hidup memakai perangkat-perangkat orang lain namun sebaliknya mencibir pada perangkat agamanya sendiri.  Sebenarnya kelompok inilah yang paling kuat penolakannya dan paling sulit diyakinkan. 

Di sisi lain, anggota masyarakat non muslim tak perlu khawatir dengan pembumian hukum-hukum publik Islam ini, sama seperti tak perlu khawatirnya dengan aktualisasi ajaran Islam yang bersifat privat.  Agama Islam sangat akomodatif terhadap keberadaan masyarakat non muslim.  Islam mengakui pluralitas masyarakat, bahkan menganiaya seorang non muslim yang baik sama seperti menyakiti Nabi SAW (Al-Hadits).  Dalam sejarah kehidupan Beliau SAW dikenal sejumlah masyarakat non muslim yang memperoleh perlakuan baik, demikian pula pada periode-periode selanjutnya.  Mereka tidak dipaksa mengikuti aturan masyarakat muslim, namun dipersilakan mengikuti aturan agamanya sendiri (QS 2:256, 109:6).  Gereja dijamin keberadaannya termasuk upacara ibadah di dalamnya, begitu pula tempat-tempat ibadah agama lainnya. Contoh indah ini semestinya tetap dilestarikan oleh kaum muslim di mana saja, termasuk di bumi Indonesia.  Jadi pembumian Islam sasarannya lebih pada mengembalikan kaum muslim ke dalam rumahnya sendiri yang selama ini hanya diakui namun tidak dirawat dan tak ditinggali karena ‘terpaksa’ mengungsi ke rumah tetangganya.  Sekarang saatnya mereka menata kembali rumah tersebut dengan tidak melupakan tetangganya itu.  Di sinilah makna Islam yang harus menebar kasih, tercermin dari arti literalnya sendiri, tidak saja kepada kaum muslim tapi ke segenap alam.  Bukti ini baru nampak jika Islam diungkapkan dalam bahasa verbal dan non verbal sekaligus yang tentunya membutuhkan pengertian semua pihak.



Telah dimuat di HU Pikiran Rakyat pada tanggal 9 Januari 2003

Internal Control


Belajar Internal Control dari Paman Sam
Oleh: Lukman Abdurrahman
Tuntutan pengelolaan perusahaan secara benar (good corporate governance) telah menjadi keniscayaan bagi suatu perusahaan karena berkaitan dengan tingkat kesehatan perusahaan itu sendiri.   Hal ini sangat kentara terutama bagi perusahaan publik yang dituntut efektif dan efisien.  Pengelolaan usaha saat ini telah demikian kompleks mengingat jejaringnya terkait dengan banyak pihak, mulai pemilik modal sampai masyarakat pemakai jasa/ produk perusahaan.  Tak ketinggalan adalah keterkaitan dengan otoritas pengelola pasar modal (regulator) dan regulasinya itu sendiri.  Semua konstituen tersebut menghendaki terjadinya harmoni dalam perjalanan pengelolaan bisnis ini. Masalahnya, bagaimana harmoni ini bisa terjamin guna memuaskan semua pihak sementara perusahaan tetap efektif juga efisien?
Adalah tidak sederhana mencapai tuntutan tersebut mengingat kepentingan masing-masing pihak kadang agak sulit dikompromikan.  Dalam hal ini perlu diupayakan berlakunya aturan main yang dapat dipedomani bersama sehingga perjalanan dan muara pengelolaan perusahaan dapat dipantau dan diperkirakan ujungnya.  Sebagai pihak yang paling dominan dalam pengelolaan, jajaran direksi dan manajemen umumnya adalah yang paling berkepentingan dengan aturan main ini.  Begitu pula jika dilihat dari hasil kerja regulator, regulasi yang dihasilkan banyak bersinggungan dengan peran pimpinan perusahaan tersebut.  Namun dalam prakteknya, para pimpinan perusahaan sering kali dihadapkan pada suatu tantangan yang mengharuskan mereka bertindak kreatif dan menerobos.  Tindakan demikian, disamping mungkin baik bagi kelancaran bisnis, dapat pula menyimpan potensi penyimpangan yang dapat merobohkan sendi-sendi perusahaan.  Penyimpangan inilah, baik dilakukan dengan sengaja atau tidak, yang patut diwaspadai.  Telah banyak perusahaan di dalam atau luar negeri yang bangkrut akibat ulah para pimpinannya yang bertindak terlalu ‘kreatif’namun berujung kerugian stake holders.  Sebut saja misalnya sejumlah bank dalam negeri yang bangkrut akibat pengucuran kredit ke lingkungan sendiri yang mengakibatkan kemacetan likuiditas.  Demikian pula perusahaan sekelas Enron atau WorldCom di Amerika Serikat harus bangkrut akibat hasil negatif sistem akuntansi karena perilaku tim manajemennya.
Internal Control
Oleh karena itu dalam menjalankan kegiatan operasional, jajaran pengelola perusahaan perlu dikawal oleh seperangkat konsep manajemen dan tim internal audit guna mendeteksi potensi-potensi yang berakibat pada penyimpangan.  Konsep manajemen yang relatif lama namun bergaung kembali saat ini adalah pengendalian internal (internal control). Konsep ini mencuat paska kebangkrutan Enron dengan digulirkannya sebuah undang-undang pasar modal Amerika Serikat, yaitu the Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX).  Adapun konsep internal control yang diadopsi SOX berasal dari Internal Control-The COSO Framework.  COSO adalah suatu organisasi swasta yang berdedikasi pada perbaikan kualitas laporan keuangan melalui penerapan etika bisnis, internal control yang efektif dan pengelolaan perusahaan yang baik.
Terdapat banyak pasal dalam undang-undang ini, namun yang paling berkaitan dengan kepentingan perusahaan publik Indonesia yang terdaftar di Amerika Serikat adalah pasal 302 dan 404.  Saat ini perusahaan Indonesia yang terdaftar pada bursa saham New York Stock Exchange (NYSE) adalah PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.  Pasal 302 berkaitan dengan kewajiban seritifikasi laporan keuangan perusahaan oleh direktur utama dan direktur keuangan yang dilengkapi dengan implementasi internal control yang efektif.  Adapun pasal 404 SOX 404 menghendaki perusahaan-perusahaan mengevaluasi efektivitas internal control dalam operasional harian untuk mendukung kebenaran pelaporan keuangan. Dalam hal ini perusahaan harus:
'        Mendokumentasikan prosedur dan internal control eksisting yang berkaitan dengan pelaporan keuangan
'        Menguji efektivitas prosedur dan internal control eksisting
'        Melaporkan hal-hal yang menjadi rintangan jalannya internal control pada area-area bisnis tertentu.
Internal control memungkinkan manajemen mengantisipasi kondisi perekonomian dan situasi persaingan yang berubah cepat, skala prioritas kebutuhan pelanggan dan restrukturisasi guna menyongsong pertumbuhan ke depan.  Internal control juga mengunggulkan pengelolaan perusahaan secara efisien, mengurangi risiko kehilangan aset, menjamin kehandalan laporan keuangan dan mentaati hukum dan regulasi yang berlaku baik internal maupun eksternal. Oleh karena itu, internal control dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang ditujukan untuk menciptakan garansi yang beralasan dan wajar (reasonable assurance) dalam mencapai sasaran-sasaran:
'        Efektivitas dan efisiensi operasi
'        Kehandalan laporan keuangan
'        Pemenuhan terhadap tuntutan hukum dan regulasi yang berlaku.
Definisi di atas membawa konsekuensi kepada hal-hal berikut, yaitu bahwa internal control merupakan proses yang dinamis, dijalankan oleh manusia, memberikan jaminan wajar dengan mengarah pada tiga sasaran di atas.  Dalam hal internal control sebagai proses, maka ia merupakan bagian yang melekat pada proses bisnis keseluruhan sejak hulu sampai ke hilir dan bukan hanya di hilirnya saja. Jadi internal control bukan suatu prosesi yang berlangsung sekali saja atau bersifat insidental, namun merupakan serangkaian aktivitas yang menyisip pada setiap kegiatan entitas-entitas bisnis. 
Internal control merupakan suatu alat (tool) yang mesti didayagunakan oleh manajemen dan bukan sebagai pengambil alih peran manajemen itu sendiri.  Artinya internal control harus “dibangun di dalam” (built in) dan bukan “dibangun di atas” (built on).  Konsep tersebut berkebalikan dengan anggapan sementara orang yang berpandangan bahwa internal control sebagai sesuatu yang ditambahkan ke dalam aktivitas-aktivitas suatu entitas atau bahkan sebagai beban tambahan. 
Di  sisi lain, internal control harus melibatkan banyak orang pada semua tingkatan perusahaan.  Karena itu, tumpukan formulir pengendalian dan petunjuk teknis operasional tidak boleh berhenti pada suatu tingkatan tertentu saja, semua strata  harus berkomitmen menjalani kegiatan operasional dan manajerial melalui prosedur yang telah ditetapkan. 
Selanjutnya perlu disadari bahwa internal control sebagus apa pun desain dan operasinya, hanya mampu menyajikan jaminan yang beralasan alias wajar (reasonable assurance) dan tidak memberikan jaminan mutlak (absolute assurance).  Hal ini disebabkan terdapat keterbatasan bawaan pada semua sistem internal control. Begitu pula bahwa pertimbangan manusia dalam membuat keputusan, termasuk pada aktivitas dan pengujian internal control, dapat saja keliru yang pada gilirannya menuntut tanggung jawab yang memerlukan pengendalian pula.  Disamping itu, manajemen dapat saja mengabaikan sistem internal control atau malah terlalu merekayasa prosesnya.
Pengujian Internal Control
Internal control dalam suatu entitas bisnis secara berkala harus ditinjau ulang guna menilai efektivitasnya.  Peninjauan meliputi dua kegiatan yaitu system review dan test of control. System review berhubungan dengan kegiatan penilaian yang melekat pada proses bisnis secara menyeluruh (walkthrough), sehingga dapat diketahui efektivitas internal control dari sisi rancangannya (design).  Sedangkan test of control merupkan kegiatan untuk menguji efektivitas internal control dari sisi operasionalnya dengan menilai kecukupan dokumen-dokumen pengendalian sebagai buktinya. 
Pengujian internal control pada dasarnya dapat dilakukan oleh masing-masing entitas bisnis sebagai pemilik proses. Kegiatan ini lazim dinamakan Control Self Assessment (CSA).  Namun untuk menilai efektivitas menyeluruh pada perusahaan harus dilakukan oleh Tim Internal Auditor sebagai entitas bisnis independen.  Independensi diperlukan sebagai upaya meminimalisasi kecenderungan keberpihakan dalam melakukan tugas penilaian terhadap entitas-entitas bisnis yang diaudit (auditee) atau terhadap manajemen yang menginstruksikan kegiatan audit tersebut.   Dengan demikian hasil-hasil temuan dalam kegiatan audit diusahakan sebagai hal yang murni temuan dan tidak direkayasa. Sehingga pada gilirannya tujuan semula, pengujian efektivitas internal control, dapat tercapai. 
Bagi perusahaan publik yang terdaftar di NYSE, seperti PT. Telkom, pengujian internal control per tahun akan dilakukan pula oleh Tim Auditor Eksternal.  Tim ini merupakan kelompok auditor yang telah ditentukan oleh SEC (Securities and Exchange Commission) sebagai pemegang otoritas pasar modal Amerika Serikat.  Tim akan menilai kecukupan pelaksanaan internal control sehingga dapat meyakini bahwa laporan keuangan yang diterbitkan dapat dipercaya adanya.  Penilaian oleh tim eksternal ini dapat dikatakan mutlak keharusannya sehingga USSEC sudah mematok perusahaan-perusahaan bersangkutan, seperti PT. Telkom, wajib mematuhi ketentuan internal control untuk mendukung laporan keuangan ini sejak 15 Juli 2006.  Artinya sejak tanggal tersebut efektivitas internal control akan dinilai langsung oleh tim tersebut.
Untuk mendorong supaya perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham Amerika Serikat menerbitkan laporan keuangan dan menerapkan sistem internal control-nya secara sungguh-sungguh, SOX tak lupa menyertakan sanksi bagi para pelanggarnya.  Pasal 906 adalah pasal yang menegaskan sanksi bagi para pelanggar ini, yaitu bagi siapa pun yang mensertifikasi laporan keuangan atau lainnya tidak sesuai ketentuan maka akan dikenakan denda maksimal USD 1,000,000.00 (satu juta dollar Amerika Serikat) atau kurungan maksimal 10 tahun.  Dan bagi siapa saja yang secara sengaja mensertifikasi laporan tidak sesuai ketentuan, dikenakan denda maksimal USD 5,000,000.00 (lima juta dollar Amerika Serikat) atau kurungan maksimal 20 tahun.  Nah sekarang tinggal pilih, menantang sanksi ini atau mengelola perusahaan secara bersih...

Auditing ICOFR


Merekat Hubungan Induk dan Anak Perusahaan Melalui Auditing ICOFR di Lingkungan PT. Telkom
Oleh: Lukman Abdurrahman

Pendahuluan

Jika diamati secara seksama, jejaring dunia bisnis dalam menghasilkan produk baik barang maupun jasa terbagi ke dalam tiga pola dasar.  Pertama adalah pola “vertically integrated firm”, yaitu perusahaan yang mengikuti teori ekonomi tradisional yang menempatkan perusahaan sebagai pusat seluruh aktivitas produksi.  Kedua adalah “selective sourcing”, merupakan pola yang dipilih perusahaan dengan cara melakukan outsourcing untuk aktivitas-aktivitas yang berisiko rendah saja.  Dengan kemajuan teknologi informasi yang makin baik, pola pengelolaan perusahaan selanjutnya bergeser menjadi “virtual corporation”. Pola ini memungkinkan perusahaan menyerahkan mayoritas aktivitas produksinya kepada pihak lain, mengeliminasi perantara pada sektor jalur distribusi, sedang perusahaan itu sendiri hanya mengelola core competency-nya saja. 
Tiga jenis pola pengelolaan di atas merupakan model dunia usaha dalam menyelenggarakan aktivitasnya.  Apapun bentuk pola tersebut, hal mendasar lain yang berkaitan dengan pola-pola tersebut adalah bagaimana mengatur hubungan interorganisasinya sendiri.  Lebih-lebih, walaupun perusahaan saat ini cenderung hanya  mengelola bisnis intinya namun di luar orbitnya juga memiliki sejumlah perusahaan afiliasi atau bahkan membentuk suatu extended enterprise guna berkongsi dengan perusahaan-perusahaan lain dalam meluncurkan produk baru.
Adalah suatu tuntutan beralasan dan logis untuk meningkatkan peran komunikasi manakala terjadi kemandegan dalam suatu aktivitas pengelolaan perusahaan.  Hal ini akan memperoleh pembenaran jika kita menyimak apa kata Henry Clay – seorang pakar manajemen – yang berkata bahwa “effective leadership means effective communication”.  Komunikasi menjadi kunci yang cukup efektif untuk mencairkan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang menghadang pada proses manajemen, sehingga aktivitas pengelolaan perusahaan tetap berputar lancar.  Komunikasi dapat diwujudkan dalam berbagai cara dan media serta kiat-kiat manajemen maupun aktivitas auditing.
Langkah-langkah Strategis Manajerial
Seiring dengan tuntutan penyelenggaraan manajemen perusahaan secara efektif dan efisien, maka wajar pihak pengelola perusahaan melakukan sejumlah langkah besar guna menyikapi hal ini.  Langkah-langkah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaitu: restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi.  Ketiganya saling terkait karena yang satu menguatkan yang lain.  Langkah-langkah ini dapat dilakukan oleh suatu perusahaan, baik sebagai perusahaan induk maupun terhadap anak-anak perusahaannya (afiliasi) guna membuka sekat-sekat birokrasi dan komunikasi.
Setyanto P. Santosa menyatakan bahwa restrukturisasi adalah upaya untuk meningkatkan posisi daya saing perusahaan melalui penajaman fokus bisnis, perbaikan skala usaha dan penciptaan core competencies.  Selanjutnya beliau mendefinisikan bahwa profitisasi adalah upaya meningkatkan secara agresif efisiensi perusahaan sehingga mencapai profitibilitas dan nilai perusahaan yang optimal. Sedangkan privatisasi merupakan upaya peningkatan kegiatan penyebaran kepemilikan perusahaan kepada masyarakat umum, swasta (baik nasional maupun asing) sehingga memudahkan perusahaan untuk akses pada  pendanaan, teknologi, manajemen modern dan pasar.
Langkah-langkah di atas perlu ditempuh seiring perubahan dinamis lingkungan bisnis  sehingga pada gilirannya perusahaan tersebut memiliki daya saing dan daya cipta tinggi untuk kemudian akan mampu unggul di pasar global.
Langkah-langkah strategis di atas perlu dijalankan secara komprehensif, artinya dilakukan baik pada tataran manajerial/ struktural maupun pada tataran kultural perusahaan.  Tiga langkah besar itu lebih banyak dialamatkan kepada tataran manajerial perusahaan. Perlu pula diupayakan langkah-langkah besar dalam mengubah paradigma dunia usaha pada aspek-aspek kultural dan spiritual perusahaan.  Aspek kultural/ spiritual perusahaan dapat ditemukan pada – meminjam istilah COSO framework – lingkungan kontrol (control environment) yang harus diupayakan menjadi mumpuni, misalnya dalam pemerataan keadilan dalam memperlakukan sumber daya manusia. Nabi Muhammad SAW dalam hal ini pernah menyatakan bahwa apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.  Hal ini mudah dipahami karena manusia merupakan aset paling utama dalam suatu perusahaan, sehingga apabila sumber daya ini terganggu keseimbangannya dapat meruntuhkan sendi-sendi perusahaan itu sendiri.   
Lingkungan kontrol perlu dibuat kondusif karena merupakan bagian soft control yang akan menjadi acuan langkah-langkah taktis dan teknis berikutnya pada tataran struktural/ manajerial (hard control). 
Hubungan Induk dan Anak Perusahaan
Dalam kaitan penyelenggaraan aktivitas bisnis yang melingkupi sejumlah perusahaan dan tergabung dalam sebuah grup yang lazim disebut holding company, Setyanto P. Santosa meyakini bahwa grup tersebut bukan tujuan tetapi hanya alat untuk mencapai tujuan yakni pembentukan perusahaan yang berdaya saing dan berdaya cipta tinggi.
Oleh karena grup perusahaan tadi hanyalah sebagai alat, maka Fauzi Arif  mengingatkan bahwa kesalahan dalam menerapkan manajemen proses pengendalian hubungan parent-subsidiary corporation bisa menyebabkan kegagalan bisnis perusahaan. Untuk itu Ge Chen dan Xu Jinfa dari Zhejiang University dalam papernya memperkenalkan 3 (tiga) langkah dalam manajemen pengendalian yang efektif bagi hubungan parent-subsidiary corporations, yaitu:
1.      Langkah persiapan (Preparation step)
Langkah ini menawarkan tiga prosedur utama yang harus dikendalikan oleh perusahaan induk yaitu strategy control, investment control dan executive control.  Strategy control merupakan proses penentuan dan pemilihan strategi bagi  pimpinan kedua perusahaan induk dan anak yang terlibat dalam formulasi rencana-rencana jangka panjang dan strategis. Paling sedikit ada tiga hal yang mengharuskan  keterlibatan perusahaan induk melakukan hal ini yaitu:
·        Profit-oriented, perusahaan induk menginvestasikan dananya demi memperoleh keuntungan.
·        Function-oriented, perusahaan induk berinvestasi di anak perusahaan dengan tujuan mempromosikan kompetensinya akan fungsi tertentu yang penting artinya bagi perusahaan induk dalam rangka memelihara dan meningkatkan keunggulan kompetitifnya.
·        Scale-oriented, perusahaan induk jelas ingin melebarkan sayapnya atau setidaknya pasar dan yang lain.
Investment control merupakan pembuatan keputusan dalam hal investasi terutama menyangkut nilainya dan pembagian dari saham. Nilai investasi yang tidak terkontrol akan bisa mengganggu kinerja keuangan kedua perusahaan. Sedang executive control meliputi kejelasan siapa yang bertanggung jawab terhadap management control di anak perusahaan.
2.      Langkah eksekutif (Executive step)
Pada langkah ini anak perusahaan melakukan proses pengendalian mandiri sebagai suatu institusi bisnis dan tetap berinteraksi dengan perusahaan induk. Namun perusahaan induk tetap harus melakukan pengendalian yang efektif terhadap anak perusahaan melalui functional control.  Contoh langkah ini adalah pengendalian teknologi kunci seperti yang ditempuh Coca Cola dengan melakukan pengendalian melalui formulanya.  Atau contoh lain adalah pengendalian pasokan yang dilakukan Philips dengan mengendalikan lebih dari 60% komponen yang digunakan  pabriknya di China.
3.      Langkah perbaikan (Revision step)
Langkah ini dapat merupakan konsekuensi dari apa yang dilakukan pada langkah pertama sehingga mengharuskan perusahaan induk membuat keputusan berikutnya.   Dalam hal ini perusahaan induk dapat saja membuat keputusan apakah mengembangkan, mempertahankan atau malah menutup anak perusahaan. Demikian pula, perusahaan induk dapat bertindak apakah meningkatkan atau menurunkan nilai investasi atau membuat keputusan tentang mengganti atau mempertahankan pimpinan anak perusahaannya.
Dalam menempuh langkah ketiga ini perusahaan induk harus menimbang posisinya terhadap anak perusahaan, apakah sebagai pemegang saham tunggal atau hanya sebagai yang mempunyai hak suara mayoritas/ minoritas. 
Tentu saja ketiga langkah tersebut harus dilakukan dengan sistematis dan dengan pertimbangan yang matang karena pengendalian yang terlalu kendor bisa membuat arah anak perusahaan menyimpang dari arah perusahaan induk tetapi sebaliknya pengendalian yang kelewat ketat membuat anak perusahaan menjadi tidak independen.
Auditing: Merekatkan Hubungan Induk dan Anak Perusahaan
Dalam memelihara hubungan tata kelola yang baik antar induk dan anak perusahaan, proses auditing merupakan salah satu langkah yang cukup efektif.  Permasalahannya adalah bagaimana menciptakan sistem mekanisme audit yang komprehensif namun tetap memenuhi kaidah reasonable assurance (jaminan yang wajar terhadap hasil audit dan dapat dipertanggungjawabkan). 
Sebagai perusahaan yang listing di Bursa Saham New York Stock Exchange, Telkom telah dengan sigap mengikuti ketentuan Sarbanes-Oxley Act (SOX) khususnya pasal 302 dan 404.  Implementasi SOX dengan segala aturan turunannya dapat menjembatani pelaksanaan auditing secara lebih akurat.
Standar audit no. 2 PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board) yang kemudian diamandemen menjadi no. 5 sebagai standar auditing yang menjadi acuan US SEC, misalnya, mengharuskan pelaksanaan auditing secara terintegrasi (integrated audit) antara audit laporan keuangan dan internal control over financial reporting (ICOFR).  Standar ini menghendaki pelaksanaan audit dilakukan secara komprehensif dan parallel antara kedua objek audit di atas, dan pula semua unit bisnis di dalam perusahaan termasuk anak perusahaannya.  Sesungguhnya standar ini telah mendorong upaya pelaksanaan audit di seluruh jajaran perusahaan berjalan cepat, tepat dan akurat.  Namun di sisi lain, upaya ini akan menyedot sumber daya tidak sedikit. Maka langkah taktis untuk mensiasatinya adalah melakukan setting terhadap siklus-siklus bisnis yang ada dan  menentukan proses-proses bisnis dan kontrol kunci sehingga lingkup audit terdefinisi lugas dan tegas. 
Langkah lain untuk optimalisasi kegiatan auditing adalah implementasi teknik self-assessment.  Dalam prakteknya self-assessment dapat dilakukan untuk memfasilitasi pelaksanaan audit laporan keuangan atau sertifikasi sesuai section 302 SOX.  Namun pula self-assessment dapat dijalankan sebagai bagian integral dari pendekatan pengujian section 404 SOX atau yang lebih dikenal dengan istilah  control self-assessment (CSA).  Ada sejumlah manfaat dengan penerapan self-assessment dalam hal memperbaiki hubungan induk dan anak perusahaan dalam bidang auditing, yaitu:
·        Memacu ‘tone-at-the-top’ supaya tersampaikan kepada para pemilik proses
·        Memperkuat akuntabilitas para pemilik proses terhadap proses bisnis dan kontrol-kontrol kritis.
·        Mengintegrasikan kegiatan control and risk assessment ke dalam praktek bisnis harian.
·        Memperkuat analisis lintas unit bisnis, pelaporan, dan atribut lain yang harus mengalami pengujian.
·        Mereduksi biaya dengan menurunkan lingkup detail pengujian kontrol dan memfasilitasi pengujian preliminary akhir tahun.
Dalam tataran praktek, self-assessment dapat mempercepat pelaksanaan audit terintegrasi dalam Telkom grup.  Mekanisme praktis yang dapat ditempuh sebagai berikut:
1.      Self-assessment dilakukan oleh unit-unit bisnis pemilik proses secara periodik, misalnya per triwulan.  Unit-unit bisnis berada baik di induk maupun di sejumlah anak perusahaan. Objek self-assessment terdiri dari laporan keuangan, proses bisnis atau significant controls.  Objek ini harus didesain sejalan dengan objek audit terintegrasi yang akan dilakukan setahun sekali.  Oleh karena itu sebelumnya harus dipetakan dahulu objek-objek tersebut berdasarkan kriteria yang standard dan disepakati bersama oleh semua unit bisnis dan internal/ eksternal audit dengan berpedoman kepada standar PCAOB. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka mempercepat mekanisme audit terintegrasi pada akhir tahun berikutnya.
2.      Hasil self-assessment harus disahkan/ disertifikasi oleh masing-masing kepala unit bisnis secara berjenjang (cascading). 
3.      Secara periodik pula hasil self-assessment harus direview oleh internal audit. 
4.      Hasil review terhadap self-assessment harus dijadikan salah satu acuan pada saat akan melakukan audit berkala per triwulan oleh internal auditor. Tentu saja internal auditor harus melihat acuan lain dalam melakukan audit dengan mempertimbangkan unsur risiko supaya metode yang dilakukan sesuai dengan pendekatan risk-based audit.
5.      Dengan langkah-langkah di atas, pada menjelang akhir tahun dimungkinkan bahan-bahan audit terintegrasi sudah tersedia lengkap. Artinya:
a.       Data yang diperlukan auditor eksternal untuk keperluan audit, baik hasil review laporan keuangan maupun hasil pengujian internal control berkala di masing-masing unit bisnis termasuk anak perusahaan sudah tersedia.
b.      Data pada butir a di atas sudah berstatus certified, reviewed dan bahkan audited oleh auditor internal sehingga dapat mewujud sebagai Telkom’s management assertion.
c.       Pada giliran auditor eksternal masuk, maka ia dapat memulai dengan me-review butir a dan b di atas. Dengan begitu, auditor eksternal tidak memulai kegiatan audit terintegrasi dari nol.  Bahwa auditor eksternal tidak akan mempercayai semua data baku di atas adalah mungkin saja, sehingga ia akan melakukan uji petik di lapangan.  Namun dengan kesiapan data audit seperti demikian, akan melancarkan pihak auditee maupun auditor sehingga nantinya kegiatan auditing berjalan cepat, tepat dan akurat.
Guna terselenggaranya pelaksanaan integrated audit yang cepat dan akurat, hal lain yang perlu ditimbang untuk perbaikan di area internal audit sendiri, diantaranya:
ü      Strategic Direction
  • Peran dan lingkup internal auditor perlu pendefinisian ulang sehingga eksistensi IA ‘diperlukan’ kehadirannya di perusahaan.
  • Perbaikan struktur organisasi internal auditor sehingga jalur pelaporan dan pengelompokkan fungsi mendukung mekanisme auditing yang cepat dan akurat.
  • Pengembangan ekspektasi / tinjauan atas peran internal auditor dimasa mendatang
  • Mengkaji orientasi serta nilai tambah bagi obyek audit

ü      Methodology, Technology & Knowledge
  • Metode pengkajian risiko yang handal
  • Proses perencanaan audit
  • Strategi pelaksanaan audit, termasuk pendekatan, dokumentasi,  dan pengendalian mutu
  • Komunikasi dan strategi pelaporan dan  pemantauan tindak lanjut
  • Penggunaan teknologi dalam pelaksanaan audit
  • Knowledge practice untuk meningkatkan efisiensi kerja internal auditor.

ü      People
  • Kualifikasi dan kompetensi sumber daya manusia internal auditor
  • Evaluasi kinerja dan program pelatihan.
Kesimpulan
Membina hubungan induk dan anak perusahaan harus dilakukan dengan membina komunikasi yang baik antara keduanya.  Prinsip keadilan dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya adalah upaya lain guna terjadinya komunikasi yang seimbang. Kiat-kiat manajemen yang akan ditempuh dalam mengelola anak perusahaan harus tetap dijalankan dengan prinsip-prinsip keadilan, misalnya dengan menimbang komposisi kepemilikan saham perusahaan induk. 
Aktivitas auditing adalah metode cukup efektif untuk membangun hubungan kerja antara induk dan anak perusahaan. Di Telkom group, pendekatan audit yang dapat ditempuh adalah standar-standar yang ditentukan oleh PCAOB.  Dalam standar tersebut telah diatur mekanisme integrated audit laporan keuangan dan pelaksanaan internal control over financial reporting. Dengan ditambah mekanisme self-assessment, pelaksanaan audit di Telkom group dapat dilaksanakan secara cepat, tepat dan akurat.

Daftar Pustaka

1.   Ahituv, Niv; Neumann, Seev; Riley, H. Norton.  Principles of Information Systems for ManagementDubuque, IA: Wm C. Brown Communications, Inc; 1994.

2.      Arif, Fauzi. “Tiga Langkah Proses Pengendalian Anak Perusahaan.” World Wide Web. Diakses pada 18 April 2007. http://ipoms.web.id/j/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=33
3.      AUDITING STANDARD No. 2 – “An Audit of Internal Control Over Financial Reporting Performed in Conjunction with An Audit of Financial Statements”. Public Company Accounting Oversight Board. March 9, 2004.
4.      Current State Assessment Report. Internal Audit Group. PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk, 2005.
5.      John Champ; Chris Cebula. “Tactics to rebalance your internal audit functions”. Protiviti. 2006.
6.      Lynda M. Applegate; F. Warren McFarlan; James L. McKenney.  Corporate Information Systems Management: Text and Cases, fourth edition.  Irwin Mcgraw-Hill Companies, Inc.; 1996
7.      Santosa, Setyanto P; Pembentukan Holding Company BUMN Peluang dan Tantangan. Makalah. Jakarta, 9 Agustus 1999.

Senin, 03 September 2012

Kalimah Tauhid


Makna Kalimah Tauhid
Oleh: Lukman Abdurrahman
Dalam kehidupan seorang mukmin, keakraban terhadap kalimatuttauhiid harus merupakan suatu keniscayaan.  Kalimatuttauhid dan selanjutnya ditulis kalimah tauhid adalah pokok pangkal keberimanan seseorang kepada Allah SWT. Pengakuan terhadap makna kalimah inilah yang kemudian akan membedakan seseorang itu sebagai seorang mukmin atau bukan. Kalimah ini pula yang didakwahkan Rasulullah SAW kepada bangsa Arab saat itu, yang kemudian dengan sebab dampak kalimah ini pulalah bangsa Arab muslim pada masanya mampu menguasai dunia dengan sistem kekhalifahan yang membentang dari barat (Andalusia) sampai timur (India). Kekhalifahan ini jauh melampaui dua kekaisaran sebelumnya yang menghimpit jazirah Arabia sebelumnya, yaitu Kekaisaran Romawi dan Persia. Tidak saja penguasaan terhadap wilayah teritorial, semangat kalimah tauhid pun telah membangkitkan kaum Muslim saat itu untuk menguasai peradaban dunia.
Kalimah tauhid adalah ucapan “Laa ilaaha illallaah”, yang artinya secara harfiah adalah “Tidak ada tuhan selain Allah”.   Sebutan lain untuk kalimah ini adalah kalimah ikhlash, ada pula yang menamakannya kalimah thayyibah.  Semua sebutan itu mempunyai konotasi sama, yaitu memahaesakan Allah SWT, tidak ada tuhan yang pantas dan layak disembah kecuali hanya Allah SWT saja.
Kalimah tauhid terdiri dari dua pernyataan, yaitu laa ilaaha (tidak ada tuhan) dan illallaah (kecuali Allah).  Kalimah pertama disebut pernyataan naafi (peniadaan) dan kalimah kedua disebut pernyataan itsbat (penetapan). Pernyataan naafi mengandung makna demitologisasi, yaitu pengingkaran terhadap setiap hal yang dapat dimitoskan sebagai tuhan. Dengan pernyataan ini, segala sesuatu yang berpotensi diagungkan dan disembah selain daripada Allah dinyatakan salah, tidak layak menjadi tuhan.  Segala hal yang dapat dipertuhankan itu bisa terdiri dari benda-benda kasat mata maupun benda tak terlihat.  Benda kasat mata, contohnya adalah matahari, bulan, bintang, patung dan lain-lain.  Sedangkan benda-benda non materi adalah seperti roh leluhur, hawa nafsu manusia, ajaran-ajaran leluhur/ tokoh-tokoh dan sebagainya. 
Berdasarkan sifat bawaannya, manusia mempunyai kecenderungan memitoskan segala hal yang menurut perkiraannya dapat mempengaruhi gerak langkah hidupnya.  Sebagai contoh, manusia dahulu yang hidup di sekitar Mesopotamia dan Yunani telah berinteraksi kental dengan benda-benda angkasa: matahari, bulan dan lain-lain.  Mereka menyadari bahwa benda-benda tersebut ikut mempengaruhi pola kehidupan mereka, karena misalnya musim-musim yang terjadi ada kaitannya dengan perilaku benda-benda angkasa tersebut.  Musim bercocok tanam tidak bisa sembarangan dilakukan karena bergantung kepada posisi benda-benda angkasa tadi dan seterusnya.  Menyadari ada ketergantungan ini, maka mereka merasa di posisi bergantung dan benda-benda angkasa di posisi yang menentukan ketergantungan.  Dengan demikian mulailah manusia saat itu mendewakan makhluk-makhluk angkasa tersebut.  Karena makhluk angkasa ini banyak, penyembahan kepada benda-benda ini dilakukan secara bergilir.  Dari perilaku inilah sesungguhnya lahir konsep hari yang tujuh sesuai dengan perilaku keberagamaan yang masih sarat kemusyrikan.  Hal ini masih dapat dirasakan sisanya sampai saat ini dari bahasa-bahasa Eropa karena peradaban Yunani memang banyak diserap kebanyakan bangsa di benua ini. Misalnya kata Spanyol ”do-minggo” (do = tuhan, minggo = hari) adalah hari yang diperuntukkan untuk penyembahan.  Demikian pula dalam bahasa Inggris kata ”sunday” (hari matahari) masih terlihat sisa mitologinya karena pada hari tersebut didedikasikan untuk menyembah matahari.  Demikian pula nama-nama hari selanjutnya.  Memang kemudian konsep hari yang tujuh ini mengalami proses demitologisasi seriring dengan lahirnya agama-agama wahyu.
Proses demitologisasi terhadap hari yang tujuh sangat terasakan pada bahasa Arab yang sebelumnya telah tercerahkan oleh semangat monoteisme bangsa Semit melalui Nabi Ibrahim AS.   Penyebutan hari dalam bahasa ini sudah terlepas dari pengaruh mitologi, penamaan hari semata-mata dilakukan hanya demi kepraktisan belaka, yaitu hari pertama (yaumul ahad), hari kedua (yaumul itsnain), hari ketiga (yaumuts tsulatsa), hari keempat (yaumul arbi’aa), hari kelima (yaumul khamis), hari berkumpul (yaumul jum’ah), hari ketujuh (yaumus sabti).  Nama hari-hari ini telah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu.  Tidak terdapat mitologi dalam penamaan hari-hari tersebut, misalnya hari keenam dinamai hari Jum’ah hanya dikarenakan pada hari tersebut diwajibkannya shalat Jum’ah secara berjamaah, tidak dikaitkan dengan konsep mitologi apapun.  Demikian pula hari ketujuh dinamai hari Sabtu, berasal dari bahasa Arab subaat yang berarti istirahat, dapat pula berasal dari sab’ah yang artinya tujuh. Memang ditengarai juga hari Sabtu berasal dari kata bahasa Yahudi (rumpun Semit), yaitu sabaat yang artinya istirahat, karena dalam agama Yahudi diyakini bahwa Tuhan telah menciptakan alam raya ini selama enam hari dan pada hari ketujuh Tuhan istirahat total. Hari istirahat ini kemudian dijadikan hari ibadah mereka, nampak masih terdapat sisa-sisa mitologinya. Begitu pula dalam agama Nasrani, mereka menggunakan hari minggu sebagai hari persembahannya masih terkait dengan sisa mitologi dari penamaan Dominggo atau Sunday. Yang telah tuntas melakukan demitologisasi dari penamaan hari-hari ini hanyalah Islam, oleh karena itu sangat dianjurkan kita di Indonesia untuk menggunakan istilah Ahad sebagai pengganti Minggu, bukan bermaksud proses arabisasi nama hari namun supaya demitologisasi ini tuntas terhadap nama-nama hari tersebut.  
Pernyataan kedua dalam kalimah tauhid adalah itsbat, yaitu penetapan hanya Allah SWT saja Tuhan sesungguhnya, Yang Mahaesa, tidak beranak dan tidak diperanakan.  Hal ini pada dasarnya adalah sebagai pangkal penyadaran kemanusiaan setiap mukmin.  Artinya, setiap manusia yang mengimani akan keilahiyahan Allah SWT pada saat yang sama sesungguhnya ia sedang mengembalikan jati dirinya pada posisi kemanusiaannya yang sejati.  Hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan pada kenyataan-kenyataan baik empiris maupun teoritis.  Secara empiris dapat diketahui bahwa manusia merupakan hasil ciptaan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.  Dapat diperhatikan, misalnya, tidak ada makhluk lain yang mampu menciptakan budayanya sendiri, memperbaiki taraf kehidupannya sendiri dan membuat lingkungannya lebih baik dari hari ke hari.  Yang dapat melakukan hal demikian hanyalah manusia, artinya kondisi ini membuktikan bahwa manusia berada di atas makhluk-makhluk lainnya, bahkan manusia dapat mengeksploitasi makhluk lain untuk kepentingannya. Berarti jika manusia ’menghambakan’ dirinya kepada makhluk-makhluk tadi, ini menandakan ia sedang merendahkan harga dirinya di depan makhluk-makhluk yang lebih rendah derajatnya tersebut.  Namun jika manusia tetap menghambakan dirinya hanya kepada Allah SWT saja, posisi dia tetap terpelihara sebagai makhluk yang paling terhormat. 
Secara teoritis atau dalil naqli pun dapat dibuktikan bahwa manusia adalah ciptaan yang Allah yang paling mulia sebagaimana dalam Al-Quran Surah Al-Isra 70:

Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.
Demikian juga dalam surah Attiin ayat 4:
 Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
Makna lain kalimah tauhid adalah ”Laa maujuuda illallaah”, artinya tidak ada yang wujud secara hakiki selain Allah. Eksistensi Allah dan makhluk tentu saja jauh berbeda, Allah wujud dengan sendiri-Nya, sedangkan makhluk keberadaannya karena diciptakan Allah.  Di sisi lain, dapat diyakini bahwa semua makhluk sangat berkepentingan dengan Tuhan, bukan hanya manusia namun semua fauna maupun flora demikian pula makhluk-makhluk lain yang tak terjangkau dengan indera manusia.  Bahkan makhluk-makhluk ini secara teratur juga melakukan shalat dan bertasbih kapada Allah seperti dalam firman surah Annuur 40:

Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. masing-masing Telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Tetapi yang terjadi adalah manusia suka membajak eksistensi Tuhan dengan cara mempersonifikasikan-Nya dalam bentuk-bentuk wujud manusia tanpa menghiraukan keserbamahameliputi Tuhan terhadap seluruh makhluk.  Mereka seolah tidak peduli dengan sifat ketuhanan Tuhan itu sendiri.  Maka yang terjadi adalah penisbian wujud Tuhan hanya berdasarkan egoisme manusia semata karena makhluk lain seperti binatang dan pepohonan tidak bisa mempersonifikasikan wujud Tuhan.  Namun hal ini bukan berarti makhluk selain manusia boleh mempersonifikasikan Tuhan versi mereka, karena wujud Tuhan adalah suatu wujud yang tidak mungkin terjangkau oleh makhluk.  Yang paling wajar adalah tidak perlu membuat reka-rekaan terhadap wujud Tuhan karena wujud-Nya tidak mungkin dijangkau oleh akal sekaliber manusia terpandai apapun.
Makna lain kalimah tauhid adalah ”Laa ma’buuda illallaah”, artinya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.  Sebagai konsekuensi bagi seorang hamba adalah melakukan pengabdian kepada Sang Pencipta. Demikian Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah 21:
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
Jadi hubungan manusia dengan Tuhan semestinya hubungan ibadah yang inti penekanannya pada pengertian bahwa manusialah yang membutuhkan Tuhan.  Hal ini perlu ditegaskan guna membedakannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan secara khidmah (pelayanan) yang berkonotasi bahwa Tuhan yang membutuhkan manusia.  Pengertian demikian memang ada dalam keyakinan agama-agama di luar Islam. Mahasuci Allah dari sifat demikian karena Dia adalah Al-Ghaniyy, yaitu Mahakaya yang tidak memerlukan pelayanan ciptaan-Nya. 
Selanjutnya pengertian kalimah tauhid adalah ”Laa maqshuuda illallaah”, artinya tidak ada yang dituju oleh seorang mukmin kecuali Allah sebagai pusat berlabuh seorang mukmin.  Apa yang diinginkan seorang mukmin, adalah terjawab dari ungkapan ”Laa mathluuba illallaah”, artinya tidak ada yang dicarai selain keridloan Allah.  Hal ini perlu ditegaskan mengingat ada ajaran menuju kepada Allah itu adalah menjadi bagian dari Allah (wahdatul wujud).  Tentu saja ajaran demikian sangat bertentangan dengan sifat wujud Allah yang mutlak dan tidak didukung oleh dalil-dalil naqli maupun dalil aqli.
Buah yang akan diperoleh seorang mukmin yang menghayati dan mengamalkan kalimah tauhid secara baik adalah seperti gambaran yang dijelaskan dalam surah Ibrahim ayat 24-25 berikut:
24.  Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
25.  Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Bandung, 29 Nopember 2006/ 8 Dzul Qadah 1427

Jumat, 31 Agustus 2012

Keragaman Pemahaman


Menyikapi Keragaman Pemahaman Islam
Oleh: Lukman Abdurrahman

Perbedaan pemahaman dalam Islam sebaiknya disikapi dengan tasaamuh. Sikap ini ada baiknya kita belajar dari para imam mujtahid yang tak perlu diragukan kepakarannya dalam mengantisipasi terjadinya keragaman pemahaman agama.  Sebagai contoh, Imam Syafi’i berkata, “Apabila hadits itu sahih, itulah madzhabku dan buanglah pendapatku yang timbul dari ijtihadku”.
Salah satu isu menarik dalam sikap keberagamaan kaum Muslim adalah pluralitas. Yakni keragaman pemahaman terhadap teks-teks agama yang diakibatkan oleh cara menafsirkan teks tersebut.  Keragaman penafsiran muncul disebabkan oleh latar belakang memahami teks  yang bermacam-macam, misalnya disebabkan oleh kedalaman pengetahuan, kondisi sosial budaya setempat, garis madzhab rujukan, jiwa dari teks itu sendiri dan sebagainya.  Di atas semuanya itu, hal yang perlu diacungi jempol adalah manakala perbedaan-perbedaan ini direspon dengan kebesaran jiwa masing-masing pihak dengan mengedepankan penghargaan terhadap pihak lain yang tak sejalan dengan pemahaman pihaknya.  Sesungguhnya isu pluralitas mengandung pengertian yang merentang sejak pluralitas di kalangan kaum Muslim sendiri dalam memahami Islam sampai pluralitas keragaman agama di dalam masyarakat luas.  Dalam tulisan ini, pluralitas lebih ditujukan kepada kondisi warna pelangi dalam memahami Islam terutama pada kajian syari’ah oleh internal kaum Muslim sendiri.
Bibit-bibit pluralisme dalam menerjemahkan Islam telah nampak sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Tak jarang dua orang atau lebih sahabat mempunyai pandangan berbeda terhadap satu teks suci wahyu.  Misalnya – seperti diriwayatkan Imam Abu Dawud – dua orang sahabat mempunyai sikap berlainan sehubungan dengan ibadah shalat saat didapatinya air padahal sebelumnya sudah ditunaikan dengan bertayammum, karena ketiadaan air waktu itu.  Pada mulanya kedua sahabat tersebut sepakat bahwa pengganti wudlu adalah bertayammum.  Setelah selesai shalat ternyata mereka mendapati air, perbedaan mulai muncul.  Sahabat yang satu  berwudlu dan mengulangi shalatnya, tapi yang lainnya tidak melakukan hal serupa.  Kemudian keduanya melaporkan hal tersebut kepada Nabi SAW.  Secara bijak beliau merespon dengan sikap tidak menyalahkan salah satu pihak tidak pula menyanjung pihak lainnya. Beliau malah menyebutkan kelebihan masing-masingnya.  Yaitu, bagi yang mengulangi shalat dikatakan telah memperoleh dua keutamaan sedang bagi yang tidak mengulangi telah berpegang pada sunnah dan shalatnya telah mencukupi.  Di sini kelihatan bahwa tradisi berbeda paham dan saling menghargai perbedaan tersebut telah demikian dijunjung tinggi sejak awal-awal kelahiran Islam.
Jika ditilik dari proses pewahyuan, diyakini bahwa wahyu datang dari Dzat yang Transenden diturunkan untuk makhluk yang immanen.  Maksudnya wahyu bernilai benar secara mutlak manakala dikaitkan dengan Dzat yang Transenden yakni Tuhan SWT, namun menjadi benar secara relatif jika sudah dicerna oleh manusia yang immanen.  Karena itu, sangat wajar satu teks suci Al-Qur’an diejawantahkan dalam tataran wacana, praktek, dan bahasa yang beragam oleh kaum.  Dalam hal ini, penafsir atau mujtahid dapat mengklaim bahwa hasil ijtihadnya telah benar, namun pada saat yang sama, tidak etis kalau menyalahkan hasil ijtihad orang lain untuk bidang bahasan yang sama.  Apabila dia seperti itu sama saja dengan mendudukkan dirinya seperti posisi Tuhan Yang Mahamutlak dalam firman-Nya (QS 3:60).  Hal ini akan meruntuhkan bangunan Islam yang kaya dengan dorongan-dorongan ke arah olah fikir tersebut.  Keuniversalan Islam akan sirna jika lahan untuk menggumuli kondisi kontemporer umat dihabisi oleh mujtahid-mujtahid tandingan Tuhan ini.  Nyawa Islam akan kehabisan energi karena tidak mampu membuktikan dirinya sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Sejak dulu, tradisi ijtihad memperoleh tempat terhormat di lingkungan komunitas Muslim. Misalnya pernyataan Nabi SAW bahwa seseorang yang berijtihad dan ternyata benar maka dia akan mendapat dua ganjaran.  Sebaliknya jika ijtihadnya salah, dia hanya akan memperoleh satu ganjaran.  Yang perlu digarisbawahi di sini adalah benar salahnya ijtihad.  Siapa yang menilai benar tidaknya ijtihad dan kapan akan diketahuinya?  Tak ada penjelasan eksplisit dari Nabi mengenai hal ini.  Namun contoh ini merupakan penjelas tentang sifat universalitas Islam yang dapat ‘hinggap’ di mana, kapan dan bagi siapa saja.  Sarana ijtihad menjadikan Islam sebagai agama yang dapat memberi jalan bagi terciptanya kelangsungan hidup manusia dalam membentuk lingkungan yang dinamis dan rabbaaniy.  Dorongan untuk selalu menjadikan Islam tetap aktual setiap masa merupakan keniscayaan karena warta Al-Qur’an sendiri menjamin hal itu (QS 15:9).  Demikian pula sunnah telah menyatakan hal yang sama, yaitu “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap awal seratus tahun (satu abad) seseorang yang memperbaharui agamanya (mujaddid).  Mereka adalah kader-kader Allah yang terus dilahirkan secara berkesinambungan untuk membela agama-Nya.
Bahwa kemudian hasil olah fikir lewat ijtihad ini tidak selalu benar dan tidak selalu salah adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Allah telah jauh-jauh hari memaklumkan hal ini. Akibatnya akan terlalu naif jika terjadi saling mencaci sesama ‘mujtahid’ hanya karena berbeda dalam menakar satu teks suci akibat acuan yang digunakan berbeda atau kesimpulan yang dihasilkan berlainan.  Bahkan Allah pun akan selalu memberikan ganjaran bagi siapa saja yang berijtihad terlepas hasilnya benar atau tidak, ini merupakan isyarat relativitas sifat benar hasil ijtihad itu sendiri. Artinya, klaim benar tersebut harus dikaitkan dengan sejumlah pra kondisi; siapa yang melakukan ijtihad tersebut, di mana dia melakukannya, peristiwa apa yang melatarbelakanginya, kapan hal itu terjadi dan sebagainya. Allah tidak meminta manusia mencapai kemutlakan-Nya, namun Allah  akan menilai pada usaha manusia menggapai kebenaran dalam bingkai inspirasi-Nya.  Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dari hasil suatu ijtihad.  Konsekuensinya, seseorang yang mencoba berijtihad jangan menutup diri dari kemungkinan salah dan jangan memicingkan mata pada hasil ijtihad orang lain. Dan yang paling penting, jangan memutlakkan hasil ijtihad tersebut sehingga ‘menutup pintu’ bagi mujtahid-mujtahid lain di belakang hari.
Fenomena yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini banyak bertolak belakang dengan semangat aktualisasi Islam.  Banyak hasil ijtihad masa lalu yang ‘dikeramatkan’ sehingga dianggap tabu jika diperbaharui dengan ijtihad kontemporer. Bahwa ada sejumlah persyaratan untuk mencapai tingkat mujtahid, yang menurut kalangan para ahli hukum Islam harus dipenuhi, adalah hal yang wajar dan seharusnya demikian. Namun hal ini tidak boleh menutup kemungkinan dilakukannya ijtihad-ijtihad baru demi merespon perubahan waktu dan ruang yang kian kencang bergulir.  Islam ibarat perangkat lunaknya mesin komputer kehidupan dunia yang memberi nyawa kesegaran sehingga mesin tersebut selalu dapat beroperasi serasi dan mampu menjawab kekiniannya.  Manakala perangkat ini mandeg, maka dapat dibayangkan akibatnya yakni tertundanya peluang-peluang emas kedigjayaan peradaban Islam dan merajalelanya penyusup-penyusup perangkat gelap.
Syekh Muhammad Abduh pernah mensinyalir bahwa kegemilangan Islam dihalangi oleh kaum Muslim sendiri.  Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi dunia Islam mutakhir yang nampak ‘kurang darah’ dan tak berdaya berhadapan dengan tantangan-tantangan perubahan zaman.  Padahal di satu sisi, teks-teks wahyu maupun ucapan Nabi SAW mengisyaratkan bahwa Islam merupakan piranti hidup yang unggul (QS 48:28). Tentu saja keunggulan ini tidak dapat tampil begitu saja tanpa peran serta kaum Muslimnya.  Dengan kata lain, keunggulan konsep Islam baru berwujud apabila dibarengi gerak langkah kaum Muslim yang selalu menyatupadukan nafas hidupnya dengan Islam.  Jelasnya, pergaulan mereka dengan Islam tidak boleh sebatas kebutuhan formal beragama saja tapi juga pada pembentukan paradigma berpikir dan bertindak.  Hal ini berarti pula bahwa tradisi Islam yang selalu membuka diri terhadap perubahan lingkungan, juga harus menjadi jiwa kaum Muslim sehingga selaras antara keduanya.  Pada gilirannya nanti, Islam tidak berhenti pada tataran konsep namun mampu berbicara pada tingkat realitas.  Islam tidak sekedar menjembatani kepentingan manusia akan Tuhannya, tapi juga menjadi wahana kehidupan kini di alam syahadah.
Perbedaan pemahaman dalam Islam sebaiknya disikapi dengan tasaamuh. Sikap ini ada baiknya kita belajar dari para imam mujtahid yang tak perlu diragukan kepakarannya dalam mengantisipasi terjadinya keragaman pemahaman agama.  Sebagai contoh, Imam Syafi’i berkata, “Apabila hadits itu sahih, itulah madzhabku dan buanglah pendapatku yang timbul dari ijtihadku”.  Demikian pula Imam Abu Hanifah menyatakan, “Ini adalah pendapatku terbaik yang kami temukan, dan bila ada orang lain yang bisa menemukan yang lebih baik lagi, maka ikutilah dia”. Pernyataan-pernyataan tulus tersebut merupakan cerminan kebesaran jiwa dan kesadaran mereka berkaitan dengan peran yang harus dimainkan. Secara terang mereka membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun yang akan mengkritisi hasil ijtihadnya.
Biasanya sumber masalah kekisruhan muncul dari para pengikut setia tokoh-tokoh agama yang diidolakan.  Kesetiaan ini terkadang melampaui batas, yaitu sampai pada derajat pengultusan, sehingga sikap keberagamaan yang harusnya mengedepankan keselamatan dalam damai menjadi kabur.  Tujuan syari’ah yang mestinya menciptakan kesehatan akal bisa jadi dilupakan karena alasan-alasan yang justru tidak masuk akal. Karena itu, mari kita ciptakan suasana berislam yang toleran dan menyelamatkan umat dari kesalahpahaman dalam memahami agama.  Wallaahu ‘alam bish-shawab.

Rabu, 29 Agustus 2012

Memaknai Idul Fitri


Memaknai Idul Fitri
Oleh: Lukman Abdurrahman
Makna Idul Fitri
Bagi umat Muslim, Idul Fitri merupakan hari yang sangat layak dirayakan sebagai hari guna menikmati kesuksesan melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.  Hari raya ini adalah salah satu hari raya Islam dari dua hari raya - Idul Fitri dan Idul Adlha - yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW.  Idul Fitri secara tekstual berarti hari raya berbuka, yaitu hari yang dirayakan oleh kaum Muslim karena setelah sebulan penuh berpuasa, pada hari itu kaum Muslim kembali bebas makan minum.  Bahkan dalam ketentuan fikih, pada hari Idul Fitri diharamkan berpuasa.  Hal ini dikaitkan dengan tugas berat selama sebulan sebelumnya, sehingga pantaslah tanggal 1 Syawal menjadi simbol suka cita dengan kembali tidak puasa.  
Selama ini arti harfiah Idul Fitri lazim dikonotasikan dengan kembali kepada kesucian. Makna tersebut telah menjadi pengertian banyak kalangan kaum Muslim, malahan telah menjadi rangkaian kata yang menghiasi layanan-layanan komersial sampai kartu-kartu ucapan lebaran.  Tentu saja tidak ada yang salah jika Idul Fitri dimaknai demikian, karena barangkali dikaitkan dengan sakralitas Bulan Ramadlan dan makna inilah yang ingin diinternalisasikan kepada kaum Muslim umumnya, semoga.  Pengertian ini pun memang didukung dengan pengkondisian Bulan Ramadlan yang di dalamnya ditebar ampunan Tuhan pada sepuluh malam kedua seperti ditegaskan oleh hadits Nabi SAW. Begitu pula, saat ’itikaf do’a-do’a yang harus dipanjatkan mengandung permohonan pembersihan diri dari noda dan dosa. Hadits Nabi SAW tentang puasa Ramadlan yang lainnya pun berkaitan dengan pengampunan dosa. Dengan kata lain, Bulan Ramadlan memang menyediakan fasilitas pembersihan diri bagi mereka yang tahu memanfaatkannya, tapi sayangnya tidak semua umat Muslim dapat menangkap hikmah ini.
Namun jika ditinjau dari sisi bahasa, berdasarkan kamus-kamus yang ada seperti Kamus Arab-Indonesia karya Prof. H. Mahmud Yunus atau Kamus Kontekstual Arab-Indonesia karya Drs. Basuni Imamuddin, MA dan Kamus Besar Arab ke Arab Munjid, arti ’iid adalah hari raya dan bukan berarti kembali. Dalam Kamus Munjid paling dikatakan, ”Innahuu summiya ’iidan liannahuu ya’uudu kulla sanatin bifarhin mujaddadin”  (Munjid th. 2002, hal 536), artinya sesungguhnya hari raya dinamai ’iid karena ia berulang setiap tahun dengan kegembiraan baru.  Kata ’kembali’ dalam bahasa Arab adalah ’aud atau ’audah, sedangkan fithri atau futhuur artinya adalah berbuka.  Suci sendiri, yang sering menjadi terjemahan istilah fitri dalam kata Idul Fitri, dalam bahasa Arab adalah fithrah. Jadi di sini terdapat perbedaan arti yang jauh antara kata fitri dengan kata fitrah.  Maka dengan sendirinya padanan kata ’iidul fithri agak janggal jika diterjemahkan menjadi kembali kepada kesucian.  Bahkan istilah Idul Fitri di manca negara cenderung dikembalikan pada arti asalnya.  Seperti di Amerika Serikat, kaum Muslim di sana menyebut istilah Idul Fitri dengan sebutan Eid Mubarak yang berkonotasi pada pengertian hari raya yang diberkahi.
Demikian pula jika ditinjau dari sejumlah hadits tentang shalat dua hari raya, pemahaman Idul Fitri adalah hari raya berbuka dan bukan kembali suci.  Untuk hal ini dapat dilihat dalam Kitab Bulughul Marram atau syarahnya, yaitu Subuulussalaam.  Hal yang sama namun penyebutannya terbalik terjadi dalam istilah zakat fitrah.  Dalam sejumlah hadits mengenai zakat tersebut, istilah yang ada adalah zakat fitri dan bukan zakat fitrah.  Istilah zakat fitrah lagi-lagi hanya konteks Indonesia. Dengan demikian yang pas dalam momentum akhir Bulan Ramadlan, setiap Muslim wajib mengeluarkan Zakat Fitri dan pada tanggal 1 Syawal adalah saat perayaan Idul Fitri.

Konsekuensi Pemaknaan
Kelaziman pemahaman Idul Fitri konteks Indonesia memang mengakibatkan praktek-praktek perayaan tersendiri yang khas, misalnya budaya mudik, halal bil halal, nyekar kuburan dan lain-lain.  Praktek-praktek tersebut sedikit banyak dijiwai oleh pengertian keharusan kembali suci dengan cara menyambungkan tali kasih dan saling memaafkan antar kerabat atau rekan bisnis bahkan yang telah meninggal dunia sekalipun.  Ajaran ini memang bagian dari ajaran sakral dalam Islam, yaitu silaturrahmi. Ditilik dari praktek Nabi SAW, perayaan Idul Fitri sarat pula dengan muatan-muatan silaturrahmi ini.  Misalnya apabila beliau melaksanakan Shalat Id, rute keberangkatan dan kepulangan selalu berbeda yang mengisyaratkan supaya dapat berjumpa orang sebanyak-banyaknya.  Dalam perjumpaan tersebut, tentu saja tidak sekedar bertemu namun sekaligus untuk berbagi kebahagiaan, mempererat hubungan persaudaraan dan menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan.
Konsekuensi pemahaman di atas menggiring pada simbolisasi bahwa kekhidmatan perayaan Idul Fitri bagi sebagian besar kaum Muslim Indonesia baru terasakan manakala dapat kumpul bersama keluarga besar, saling berbagi pengalaman, saling membebaskan kesalahan dan saling mencicipi hidangan masing-masing.  Hal tersebut akan ditempuh walau ongkos finansial dan sosialnya cukup mahal, misalnya ongkos angkutan selalu mengalami kenaikan setiap mudik lebaran baik secara resmi maupun tidak.  Begitu pula, selama perjalanan dibayang-bayangi kemungkinan kecelakaan, diterjang kemacetan serta berdesak-desakan yang mengharuskan mandi keringat dan lain-lain.  Semua ini akan nampak kecil bobot rintangannya ketimbang suka citanya berkumpul dengan keluarga besar.  
Adalah terdapat sisi positif dari kegiatan seremonial itu, diantaranya terjadinya pencairan hubungan kemanusiaan yang terkadang membeku akibat sekat-sekat yang menghadang selama proses interaksi kemanusiaan.  Juga perputaran roda ekonomi terjadi dalam area yang lebih luas dari kota ke desa dan sebaliknya.  Dengan kata lain, saat Idul Fitri disamping secara sugesti jiwa bersih kembali, juga diharapkan terjadi ’pemerataan’ kesejahteraan dan kebahagiaan.  Namun perlu dicatat pula bahwa rutinitas Idul Fitri konteks Indonesia ini menumbuhkan budaya konsumerisme karena pada saat-saat tersebut seolah ada tuntutan untuk belanja lebih banyak.  Kebiasaan ini pun terkadang mereduksi makna silaturrahmi, paling tidak dari sisi waktu, bahwa aktivitas penyambungan tali kasih dan bermaaf-maafan tersebut cukup dilakukan satu tahun sekali.

Kembali ke Makna Asal
Di sisi lain, pengertian Idul Fitri sebagai hari raya berbuka merupakan curahan kegembiraan kaum Muslim setelah berhasil melaksanakan puasa sebulan penuh.  Inilah kemenangan yang layak dirayakan mengingat ketabahan menjalani hari-hari puasa dengan perut lapar, kerongkongan haus dan potensi nafsu yang harus selalu dalam kendali bukan perkara mudah.  Di dalamnya terkandung keharusan jujur pada diri sendiri dan tidak perlu mengharapkan penilaian orang lain.  Betapa tidak, ibadah puasa bisa saja dilakukan dengan menggadaikan nilai jujur ini, yaitu berpura-pura puasa dalam arti sesungguhnya sehingga orang lain tetap mengakui kita khusyu puasa padahal tidak. Siapa yang tahu?  Jika tidak ada kekuatan potensi diri yang tangguh, sulit seseorang mengarungi rimba Bulan Ramadlan nan penuh tantangan, pasti akan banyak yang berguguran di tengah jalan.  Kalau pun puasa secara syari’ah, yaitu menahan makan minum, bisa dijalani tapi tidak sedikit yang ambrol  dalam menahan kata-kata tak senonoh, sikap rendahan dan lain-lain yang dapat menghapus makna hakiki puasa.  Tentu saja puasa demikian tidak akan menghasilkan apa-apa selain lapar dan dahaga. 
Tampak bahwa filosofi ibadah puasa memang bertumpu pada penumbuhan karakter-karakter moralitas yang mumpuni  sehingga layak menghasilkan sertifikasi muttaqin bagi yang lulus karenanya.  Sangat logis usaha yang demikian keras memperoleh penghargaan Tuhan dengan jaminan bahwa hanya Dialah yang akan membalasnya seperti dinyatakan dalam salah satu hadis qudsi.  Sebagai penghargaan saat ini di dunia, Tuhan pun telah menjadikan satu hari paska Bulan Ramadlan sebagai tanda berbuka kembali menjadi hari raya. Dalam hal ini sangat relevan perintah Nabi SAW kepada umat Muslim supaya menyambut kedatangan hari raya ini dengan memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil untuk mengagungkan, memuji dan memahaesakan Tuhan yang telah memberikan jamuan berupa terjadinya hari raya tersebut. 
Terlepas dari kontroversi pengertian Idul Fitri di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Idul Fitri merupakan hari raya yang dihubungkan dengan kiprah kaum Muslim semata.  Artinya, hari raya ini hanya berkorelasi dengan peristiwa tuntasnya Bulan Ramadlan yang secara langsung dialami bersama seluruh Muslim dunia.  Tidak ada klaim-klaim individu atau kelompok baik yang hidup masa lampau atau masa kini yang menjadi sebab  terjadinya hari raya ini. Demikian pula, Idul Fitri tidak dikaitkan dengan subjektivitas pembawa agama, misalnya karena kelahiran atau wafat Nabi SAW, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah agama seperti pewahyuan pertama, hijrah Nabi, Isra Mi’raj atau lain-lainnya.  Idul Fitri benar-benar sebagai penghargaan Allah SWT kepada kaum Muslim yang berhasil mengemban tugas dengan baik.  Pada hari itu setiap orang yang merayakannya dipersilakan menikmati lazimnya suatu hari raya selama dalam batas-batas koridor agama.
Pemikiran ini makin mengokohkan pandangan bahwa Bulan Ramadlan dan Idul Fitri diperuntukkan bagi kaum Muslim guna peningkatan kualitas diri mereka.  Dalam ungkapan lain, kaum Muslimlah dan bukan Tuhan yang berkepentingan dengan peristiwa-peristiwa tersebut sehingga sangat pantas setiap Muslim bangga merayakan hari kemenangan ini.  Kebanggaan tersebut akan timbul manakala seorang Muslim bangga pula dengan kehadiran Bulan Ramadlan sebagai kesempatan untuk riyadloh, yaitu pelatihan jiwa dan raga.  Idul Fitri, di sisi lain, membawa semangat egaliter masyarakat Muslim mengingat tidak ada perorangan atau kelompok yang diistimewakan dalam perayaan ini.  Semuanya berhak merayakannya, tidak ada strata sosial yang harus mendinding antar mereka.  Merayakan suatu peristiwa sakral termasuk kebutuhan semua manusia, Idul Fitri adalah fasilitas yang Tuhan berikan guna memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus mencerabut akar-akar hubungan baik manusia dengan Tuhannya.
Hal yang tidak boleh dilupakan, momentum Idul Fitri bukan sekedar untuk berhari raya semata, namun pula harus merupakan tonggak baru kaum Muslim mengejawantahkan hasil ibadah Ramadlan-nya.  Ini berarti bahwa pada hari raya ini harus diniatkan mengamalkan nilai-nilai luhur yang diperoleh selama sebulan sebelumnya.  Hal ini seriring dengan tujuan berpuasa, yaitu membentuk pribadi-pribadi muttaqin.  Perilaku takwa justru dibutuhkan pada sebelas bulan berikutnya karena selama Bulan Ramadlan perilaku tersebut secara langsung memperoleh tempaan.  Dengan kata lain, hasil pendidikan sebulan penuh dapat menjadi kerangka peningkatan moral umat untuk setahun ke depan, adapun dalam rentang waktu panjang tersebut akan terjadi degradasi nilai-nilai tersebut, itu adalah hal yang wajar karena di depan, Bulan Ramadlan berikutnya sudah menanti.  Begitulah terjadi pengulangan pendidikan Ramadlan yang pada akhirnya diharapkan tercetak muttaqin-muttaqin sejati.  Inilah aura repetitive magic power yang Allah berikan kepada kaum Muslim, yaitu pengulangan Bulan Ramadlan dan Idul Fitri secara teratur guna mengingatkan sang makhluk pelupa, al-insaan.   Wallaahu ’alam bishshawaab.