Senin, 03 September 2012

Kalimah Tauhid


Makna Kalimah Tauhid
Oleh: Lukman Abdurrahman
Dalam kehidupan seorang mukmin, keakraban terhadap kalimatuttauhiid harus merupakan suatu keniscayaan.  Kalimatuttauhid dan selanjutnya ditulis kalimah tauhid adalah pokok pangkal keberimanan seseorang kepada Allah SWT. Pengakuan terhadap makna kalimah inilah yang kemudian akan membedakan seseorang itu sebagai seorang mukmin atau bukan. Kalimah ini pula yang didakwahkan Rasulullah SAW kepada bangsa Arab saat itu, yang kemudian dengan sebab dampak kalimah ini pulalah bangsa Arab muslim pada masanya mampu menguasai dunia dengan sistem kekhalifahan yang membentang dari barat (Andalusia) sampai timur (India). Kekhalifahan ini jauh melampaui dua kekaisaran sebelumnya yang menghimpit jazirah Arabia sebelumnya, yaitu Kekaisaran Romawi dan Persia. Tidak saja penguasaan terhadap wilayah teritorial, semangat kalimah tauhid pun telah membangkitkan kaum Muslim saat itu untuk menguasai peradaban dunia.
Kalimah tauhid adalah ucapan “Laa ilaaha illallaah”, yang artinya secara harfiah adalah “Tidak ada tuhan selain Allah”.   Sebutan lain untuk kalimah ini adalah kalimah ikhlash, ada pula yang menamakannya kalimah thayyibah.  Semua sebutan itu mempunyai konotasi sama, yaitu memahaesakan Allah SWT, tidak ada tuhan yang pantas dan layak disembah kecuali hanya Allah SWT saja.
Kalimah tauhid terdiri dari dua pernyataan, yaitu laa ilaaha (tidak ada tuhan) dan illallaah (kecuali Allah).  Kalimah pertama disebut pernyataan naafi (peniadaan) dan kalimah kedua disebut pernyataan itsbat (penetapan). Pernyataan naafi mengandung makna demitologisasi, yaitu pengingkaran terhadap setiap hal yang dapat dimitoskan sebagai tuhan. Dengan pernyataan ini, segala sesuatu yang berpotensi diagungkan dan disembah selain daripada Allah dinyatakan salah, tidak layak menjadi tuhan.  Segala hal yang dapat dipertuhankan itu bisa terdiri dari benda-benda kasat mata maupun benda tak terlihat.  Benda kasat mata, contohnya adalah matahari, bulan, bintang, patung dan lain-lain.  Sedangkan benda-benda non materi adalah seperti roh leluhur, hawa nafsu manusia, ajaran-ajaran leluhur/ tokoh-tokoh dan sebagainya. 
Berdasarkan sifat bawaannya, manusia mempunyai kecenderungan memitoskan segala hal yang menurut perkiraannya dapat mempengaruhi gerak langkah hidupnya.  Sebagai contoh, manusia dahulu yang hidup di sekitar Mesopotamia dan Yunani telah berinteraksi kental dengan benda-benda angkasa: matahari, bulan dan lain-lain.  Mereka menyadari bahwa benda-benda tersebut ikut mempengaruhi pola kehidupan mereka, karena misalnya musim-musim yang terjadi ada kaitannya dengan perilaku benda-benda angkasa tersebut.  Musim bercocok tanam tidak bisa sembarangan dilakukan karena bergantung kepada posisi benda-benda angkasa tadi dan seterusnya.  Menyadari ada ketergantungan ini, maka mereka merasa di posisi bergantung dan benda-benda angkasa di posisi yang menentukan ketergantungan.  Dengan demikian mulailah manusia saat itu mendewakan makhluk-makhluk angkasa tersebut.  Karena makhluk angkasa ini banyak, penyembahan kepada benda-benda ini dilakukan secara bergilir.  Dari perilaku inilah sesungguhnya lahir konsep hari yang tujuh sesuai dengan perilaku keberagamaan yang masih sarat kemusyrikan.  Hal ini masih dapat dirasakan sisanya sampai saat ini dari bahasa-bahasa Eropa karena peradaban Yunani memang banyak diserap kebanyakan bangsa di benua ini. Misalnya kata Spanyol ”do-minggo” (do = tuhan, minggo = hari) adalah hari yang diperuntukkan untuk penyembahan.  Demikian pula dalam bahasa Inggris kata ”sunday” (hari matahari) masih terlihat sisa mitologinya karena pada hari tersebut didedikasikan untuk menyembah matahari.  Demikian pula nama-nama hari selanjutnya.  Memang kemudian konsep hari yang tujuh ini mengalami proses demitologisasi seriring dengan lahirnya agama-agama wahyu.
Proses demitologisasi terhadap hari yang tujuh sangat terasakan pada bahasa Arab yang sebelumnya telah tercerahkan oleh semangat monoteisme bangsa Semit melalui Nabi Ibrahim AS.   Penyebutan hari dalam bahasa ini sudah terlepas dari pengaruh mitologi, penamaan hari semata-mata dilakukan hanya demi kepraktisan belaka, yaitu hari pertama (yaumul ahad), hari kedua (yaumul itsnain), hari ketiga (yaumuts tsulatsa), hari keempat (yaumul arbi’aa), hari kelima (yaumul khamis), hari berkumpul (yaumul jum’ah), hari ketujuh (yaumus sabti).  Nama hari-hari ini telah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu.  Tidak terdapat mitologi dalam penamaan hari-hari tersebut, misalnya hari keenam dinamai hari Jum’ah hanya dikarenakan pada hari tersebut diwajibkannya shalat Jum’ah secara berjamaah, tidak dikaitkan dengan konsep mitologi apapun.  Demikian pula hari ketujuh dinamai hari Sabtu, berasal dari bahasa Arab subaat yang berarti istirahat, dapat pula berasal dari sab’ah yang artinya tujuh. Memang ditengarai juga hari Sabtu berasal dari kata bahasa Yahudi (rumpun Semit), yaitu sabaat yang artinya istirahat, karena dalam agama Yahudi diyakini bahwa Tuhan telah menciptakan alam raya ini selama enam hari dan pada hari ketujuh Tuhan istirahat total. Hari istirahat ini kemudian dijadikan hari ibadah mereka, nampak masih terdapat sisa-sisa mitologinya. Begitu pula dalam agama Nasrani, mereka menggunakan hari minggu sebagai hari persembahannya masih terkait dengan sisa mitologi dari penamaan Dominggo atau Sunday. Yang telah tuntas melakukan demitologisasi dari penamaan hari-hari ini hanyalah Islam, oleh karena itu sangat dianjurkan kita di Indonesia untuk menggunakan istilah Ahad sebagai pengganti Minggu, bukan bermaksud proses arabisasi nama hari namun supaya demitologisasi ini tuntas terhadap nama-nama hari tersebut.  
Pernyataan kedua dalam kalimah tauhid adalah itsbat, yaitu penetapan hanya Allah SWT saja Tuhan sesungguhnya, Yang Mahaesa, tidak beranak dan tidak diperanakan.  Hal ini pada dasarnya adalah sebagai pangkal penyadaran kemanusiaan setiap mukmin.  Artinya, setiap manusia yang mengimani akan keilahiyahan Allah SWT pada saat yang sama sesungguhnya ia sedang mengembalikan jati dirinya pada posisi kemanusiaannya yang sejati.  Hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan pada kenyataan-kenyataan baik empiris maupun teoritis.  Secara empiris dapat diketahui bahwa manusia merupakan hasil ciptaan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.  Dapat diperhatikan, misalnya, tidak ada makhluk lain yang mampu menciptakan budayanya sendiri, memperbaiki taraf kehidupannya sendiri dan membuat lingkungannya lebih baik dari hari ke hari.  Yang dapat melakukan hal demikian hanyalah manusia, artinya kondisi ini membuktikan bahwa manusia berada di atas makhluk-makhluk lainnya, bahkan manusia dapat mengeksploitasi makhluk lain untuk kepentingannya. Berarti jika manusia ’menghambakan’ dirinya kepada makhluk-makhluk tadi, ini menandakan ia sedang merendahkan harga dirinya di depan makhluk-makhluk yang lebih rendah derajatnya tersebut.  Namun jika manusia tetap menghambakan dirinya hanya kepada Allah SWT saja, posisi dia tetap terpelihara sebagai makhluk yang paling terhormat. 
Secara teoritis atau dalil naqli pun dapat dibuktikan bahwa manusia adalah ciptaan yang Allah yang paling mulia sebagaimana dalam Al-Quran Surah Al-Isra 70:

Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.
Demikian juga dalam surah Attiin ayat 4:
 Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
Makna lain kalimah tauhid adalah ”Laa maujuuda illallaah”, artinya tidak ada yang wujud secara hakiki selain Allah. Eksistensi Allah dan makhluk tentu saja jauh berbeda, Allah wujud dengan sendiri-Nya, sedangkan makhluk keberadaannya karena diciptakan Allah.  Di sisi lain, dapat diyakini bahwa semua makhluk sangat berkepentingan dengan Tuhan, bukan hanya manusia namun semua fauna maupun flora demikian pula makhluk-makhluk lain yang tak terjangkau dengan indera manusia.  Bahkan makhluk-makhluk ini secara teratur juga melakukan shalat dan bertasbih kapada Allah seperti dalam firman surah Annuur 40:

Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. masing-masing Telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Tetapi yang terjadi adalah manusia suka membajak eksistensi Tuhan dengan cara mempersonifikasikan-Nya dalam bentuk-bentuk wujud manusia tanpa menghiraukan keserbamahameliputi Tuhan terhadap seluruh makhluk.  Mereka seolah tidak peduli dengan sifat ketuhanan Tuhan itu sendiri.  Maka yang terjadi adalah penisbian wujud Tuhan hanya berdasarkan egoisme manusia semata karena makhluk lain seperti binatang dan pepohonan tidak bisa mempersonifikasikan wujud Tuhan.  Namun hal ini bukan berarti makhluk selain manusia boleh mempersonifikasikan Tuhan versi mereka, karena wujud Tuhan adalah suatu wujud yang tidak mungkin terjangkau oleh makhluk.  Yang paling wajar adalah tidak perlu membuat reka-rekaan terhadap wujud Tuhan karena wujud-Nya tidak mungkin dijangkau oleh akal sekaliber manusia terpandai apapun.
Makna lain kalimah tauhid adalah ”Laa ma’buuda illallaah”, artinya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.  Sebagai konsekuensi bagi seorang hamba adalah melakukan pengabdian kepada Sang Pencipta. Demikian Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah 21:
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
Jadi hubungan manusia dengan Tuhan semestinya hubungan ibadah yang inti penekanannya pada pengertian bahwa manusialah yang membutuhkan Tuhan.  Hal ini perlu ditegaskan guna membedakannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan secara khidmah (pelayanan) yang berkonotasi bahwa Tuhan yang membutuhkan manusia.  Pengertian demikian memang ada dalam keyakinan agama-agama di luar Islam. Mahasuci Allah dari sifat demikian karena Dia adalah Al-Ghaniyy, yaitu Mahakaya yang tidak memerlukan pelayanan ciptaan-Nya. 
Selanjutnya pengertian kalimah tauhid adalah ”Laa maqshuuda illallaah”, artinya tidak ada yang dituju oleh seorang mukmin kecuali Allah sebagai pusat berlabuh seorang mukmin.  Apa yang diinginkan seorang mukmin, adalah terjawab dari ungkapan ”Laa mathluuba illallaah”, artinya tidak ada yang dicarai selain keridloan Allah.  Hal ini perlu ditegaskan mengingat ada ajaran menuju kepada Allah itu adalah menjadi bagian dari Allah (wahdatul wujud).  Tentu saja ajaran demikian sangat bertentangan dengan sifat wujud Allah yang mutlak dan tidak didukung oleh dalil-dalil naqli maupun dalil aqli.
Buah yang akan diperoleh seorang mukmin yang menghayati dan mengamalkan kalimah tauhid secara baik adalah seperti gambaran yang dijelaskan dalam surah Ibrahim ayat 24-25 berikut:
24.  Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
25.  Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Bandung, 29 Nopember 2006/ 8 Dzul Qadah 1427

Tidak ada komentar:

Posting Komentar