Makna Kalimah Tauhid
Oleh: Lukman Abdurrahman
Dalam kehidupan seorang mukmin, keakraban terhadap kalimatuttauhiid harus merupakan suatu
keniscayaan. Kalimatuttauhid dan
selanjutnya ditulis kalimah tauhid adalah pokok pangkal keberimanan seseorang
kepada Allah SWT. Pengakuan terhadap makna kalimah inilah yang kemudian akan
membedakan seseorang itu sebagai seorang mukmin atau bukan. Kalimah ini pula
yang didakwahkan Rasulullah SAW kepada bangsa Arab saat itu, yang kemudian
dengan sebab dampak kalimah ini pulalah bangsa Arab muslim pada masanya mampu menguasai
dunia dengan sistem kekhalifahan yang membentang dari barat (Andalusia) sampai
timur (India). Kekhalifahan ini jauh melampaui dua kekaisaran sebelumnya yang
menghimpit jazirah Arabia sebelumnya, yaitu Kekaisaran Romawi dan Persia .
Tidak saja penguasaan terhadap wilayah teritorial, semangat kalimah tauhid pun
telah membangkitkan kaum Muslim saat itu untuk menguasai peradaban dunia.
Kalimah tauhid adalah ucapan “Laa
ilaaha illallaah”, yang artinya secara harfiah adalah “Tidak ada tuhan
selain Allah”. Sebutan lain untuk kalimah ini adalah kalimah ikhlash, ada pula yang
menamakannya kalimah thayyibah. Semua sebutan itu mempunyai konotasi sama,
yaitu memahaesakan Allah SWT, tidak ada tuhan yang pantas dan layak disembah
kecuali hanya Allah SWT saja.
Kalimah tauhid terdiri dari dua pernyataan, yaitu laa ilaaha (tidak
ada tuhan) dan illallaah (kecuali Allah).
Kalimah pertama disebut pernyataan naafi
(peniadaan) dan kalimah kedua disebut pernyataan itsbat (penetapan). Pernyataan naafi mengandung makna
demitologisasi, yaitu pengingkaran terhadap setiap hal yang dapat dimitoskan
sebagai tuhan. Dengan pernyataan ini, segala sesuatu yang berpotensi diagungkan
dan disembah selain daripada Allah dinyatakan salah, tidak layak menjadi
tuhan. Segala hal yang dapat dipertuhankan itu bisa
terdiri dari benda-benda kasat mata maupun benda tak terlihat. Benda kasat mata, contohnya adalah matahari,
bulan, bintang, patung dan lain-lain. Sedangkan benda-benda non materi adalah
seperti roh leluhur, hawa nafsu manusia, ajaran-ajaran leluhur/ tokoh-tokoh dan
sebagainya.
Berdasarkan sifat bawaannya, manusia
mempunyai kecenderungan memitoskan segala hal yang menurut perkiraannya dapat
mempengaruhi gerak langkah hidupnya. Sebagai
contoh, manusia dahulu yang hidup di sekitar Mesopotamia dan Yunani telah
berinteraksi kental dengan benda-benda angkasa: matahari, bulan dan
lain-lain. Mereka menyadari bahwa
benda-benda tersebut ikut mempengaruhi pola kehidupan mereka, karena misalnya
musim-musim yang terjadi ada kaitannya dengan perilaku benda-benda angkasa
tersebut. Musim bercocok tanam tidak
bisa sembarangan dilakukan karena bergantung kepada posisi benda-benda angkasa
tadi dan seterusnya. Menyadari ada
ketergantungan ini, maka mereka merasa di posisi bergantung dan benda-benda
angkasa di posisi yang menentukan ketergantungan. Dengan demikian mulailah manusia saat itu
mendewakan makhluk-makhluk angkasa tersebut.
Karena makhluk angkasa ini banyak, penyembahan kepada benda-benda ini
dilakukan secara bergilir. Dari perilaku
inilah sesungguhnya lahir konsep hari yang tujuh sesuai dengan perilaku
keberagamaan yang masih sarat kemusyrikan.
Hal ini masih dapat dirasakan sisanya sampai saat ini dari bahasa-bahasa
Eropa karena peradaban Yunani memang banyak diserap kebanyakan bangsa di benua ini.
Misalnya kata Spanyol ”do-minggo” (do = tuhan, minggo = hari) adalah hari yang
diperuntukkan untuk penyembahan.
Demikian pula dalam bahasa Inggris kata ”sunday” (hari matahari) masih
terlihat sisa mitologinya karena pada hari tersebut didedikasikan untuk
menyembah matahari. Demikian pula
nama-nama hari selanjutnya. Memang
kemudian konsep hari yang tujuh ini mengalami proses demitologisasi seriring
dengan lahirnya agama-agama wahyu.
Proses demitologisasi terhadap hari yang
tujuh sangat terasakan pada bahasa Arab yang sebelumnya telah tercerahkan oleh
semangat monoteisme bangsa Semit melalui Nabi Ibrahim AS. Penyebutan hari dalam bahasa ini sudah
terlepas dari pengaruh mitologi, penamaan hari semata-mata dilakukan hanya demi
kepraktisan belaka, yaitu hari pertama (yaumul
ahad), hari kedua (yaumul itsnain),
hari ketiga (yaumuts tsulatsa), hari
keempat (yaumul arbi’aa), hari kelima
(yaumul khamis), hari berkumpul (yaumul jum’ah), hari ketujuh (yaumus sabti). Nama hari-hari ini telah diadopsi ke dalam
Bahasa Indonesia menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan
Sabtu. Tidak terdapat mitologi dalam
penamaan hari-hari tersebut, misalnya hari keenam dinamai hari Jum’ah hanya
dikarenakan pada hari tersebut diwajibkannya shalat Jum’ah secara berjamaah,
tidak dikaitkan dengan konsep mitologi apapun.
Demikian pula hari ketujuh dinamai hari Sabtu, berasal dari bahasa Arab subaat yang berarti istirahat, dapat
pula berasal dari sab’ah yang artinya
tujuh. Memang ditengarai juga hari Sabtu berasal dari kata bahasa Yahudi
(rumpun Semit), yaitu sabaat yang
artinya istirahat, karena dalam agama Yahudi diyakini bahwa Tuhan telah
menciptakan alam raya ini selama enam hari dan pada hari ketujuh Tuhan istirahat
total. Hari istirahat ini kemudian dijadikan hari ibadah mereka, nampak masih
terdapat sisa-sisa mitologinya. Begitu pula dalam agama Nasrani, mereka
menggunakan hari minggu sebagai hari persembahannya masih terkait dengan sisa
mitologi dari penamaan Dominggo atau Sunday. Yang telah tuntas melakukan
demitologisasi dari penamaan hari-hari ini hanyalah Islam, oleh karena itu
sangat dianjurkan kita di Indonesia untuk menggunakan istilah Ahad sebagai
pengganti Minggu, bukan bermaksud proses arabisasi nama hari namun supaya
demitologisasi ini tuntas terhadap nama-nama hari tersebut.
Pernyataan kedua dalam kalimah tauhid
adalah itsbat, yaitu penetapan hanya Allah SWT saja Tuhan sesungguhnya, Yang
Mahaesa, tidak beranak dan tidak diperanakan.
Hal ini pada dasarnya adalah sebagai pangkal penyadaran kemanusiaan
setiap mukmin. Artinya, setiap manusia
yang mengimani akan keilahiyahan
Allah SWT pada saat yang sama sesungguhnya ia sedang mengembalikan jati dirinya
pada posisi kemanusiaannya yang sejati. Hal
tersebut dapat dijelaskan berdasarkan pada kenyataan-kenyataan baik empiris
maupun teoritis. Secara empiris dapat
diketahui bahwa manusia merupakan hasil ciptaan yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.
Dapat diperhatikan, misalnya, tidak ada makhluk lain yang mampu
menciptakan budayanya sendiri, memperbaiki taraf kehidupannya sendiri dan
membuat lingkungannya lebih baik dari hari ke hari. Yang dapat melakukan hal demikian hanyalah
manusia, artinya kondisi ini membuktikan bahwa manusia berada di atas
makhluk-makhluk lainnya, bahkan manusia dapat mengeksploitasi makhluk lain
untuk kepentingannya. Berarti jika manusia ’menghambakan’ dirinya kepada
makhluk-makhluk tadi, ini menandakan ia sedang merendahkan harga dirinya di
depan makhluk-makhluk yang lebih rendah derajatnya tersebut. Namun jika manusia tetap menghambakan dirinya
hanya kepada Allah SWT saja, posisi dia tetap terpelihara sebagai makhluk yang
paling terhormat.
Secara teoritis atau dalil naqli pun dapat
dibuktikan bahwa manusia adalah ciptaan yang Allah yang paling mulia
sebagaimana dalam Al-Quran Surah Al-Isra 70:
Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.
Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.
Demikian
juga dalam surah Attiin ayat 4:
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya .
Makna lain kalimah tauhid adalah ”Laa maujuuda illallaah”, artinya tidak
ada yang wujud secara hakiki selain Allah. Eksistensi Allah dan makhluk tentu
saja jauh berbeda, Allah wujud dengan sendiri-Nya, sedangkan makhluk
keberadaannya karena diciptakan Allah.
Di sisi lain, dapat diyakini bahwa semua makhluk sangat berkepentingan dengan
Tuhan, bukan hanya manusia namun semua fauna maupun flora demikian pula
makhluk-makhluk lain yang tak terjangkau dengan indera manusia. Bahkan makhluk-makhluk ini secara teratur
juga melakukan shalat dan bertasbih kapada Allah seperti dalam firman surah Annuur 40:
Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. masing-masing Telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. masing-masing Telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Tetapi yang terjadi adalah manusia suka membajak
eksistensi Tuhan dengan cara mempersonifikasikan-Nya dalam bentuk-bentuk wujud
manusia tanpa menghiraukan keserbamahameliputi Tuhan terhadap seluruh
makhluk. Mereka seolah tidak peduli
dengan sifat ketuhanan Tuhan itu sendiri.
Maka yang terjadi adalah penisbian wujud Tuhan hanya berdasarkan egoisme
manusia semata karena makhluk lain seperti binatang dan pepohonan tidak bisa
mempersonifikasikan wujud Tuhan. Namun
hal ini bukan berarti makhluk selain manusia boleh mempersonifikasikan Tuhan versi
mereka, karena wujud Tuhan adalah suatu wujud yang tidak mungkin terjangkau
oleh makhluk. Yang paling wajar adalah
tidak perlu membuat reka-rekaan terhadap wujud Tuhan karena wujud-Nya tidak
mungkin dijangkau oleh akal sekaliber manusia terpandai apapun.
Makna lain kalimah tauhid adalah ”Laa ma’buuda illallaah”, artinya tidak
ada yang berhak disembah kecuali Allah. Sebagai
konsekuensi bagi seorang hamba adalah melakukan pengabdian kepada Sang
Pencipta. Demikian Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah 21:
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
Jadi hubungan manusia dengan Tuhan
semestinya hubungan ibadah yang inti penekanannya pada pengertian bahwa manusialah
yang membutuhkan Tuhan. Hal ini perlu
ditegaskan guna membedakannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan secara khidmah (pelayanan) yang berkonotasi bahwa
Tuhan yang membutuhkan manusia. Pengertian
demikian memang ada dalam keyakinan agama-agama di luar Islam. Mahasuci Allah dari
sifat demikian karena Dia adalah Al-Ghaniyy,
yaitu Mahakaya yang tidak memerlukan pelayanan ciptaan-Nya.
Selanjutnya pengertian kalimah tauhid
adalah ”Laa maqshuuda illallaah”,
artinya tidak ada yang dituju oleh seorang mukmin kecuali Allah sebagai pusat
berlabuh seorang mukmin. Apa yang
diinginkan seorang mukmin, adalah terjawab dari ungkapan ”Laa mathluuba
illallaah”, artinya tidak ada yang dicarai selain keridloan Allah. Hal ini perlu ditegaskan mengingat ada ajaran
menuju kepada Allah itu adalah menjadi bagian dari Allah (wahdatul wujud). Tentu saja
ajaran demikian sangat bertentangan dengan sifat wujud Allah yang mutlak dan
tidak didukung oleh dalil-dalil naqli maupun dalil aqli.
Buah yang akan diperoleh seorang mukmin
yang menghayati dan mengamalkan kalimah tauhid secara baik adalah seperti
gambaran yang dijelaskan dalam surah Ibrahim ayat 24-25 berikut:
24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
25. Pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Bandung, 29
Nopember 2006/ 8 Dzul Qa’dah 1427
Tidak ada komentar:
Posting Komentar