Memaknai Idul Fitri
Oleh: Lukman Abdurrahman
Makna Idul Fitri
Bagi umat Muslim, Idul Fitri merupakan hari yang sangat layak dirayakan sebagai hari guna menikmati kesuksesan melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Hari raya ini adalah salah satu hari raya Islam dari dua hari raya - Idul Fitri dan Idul Adlha - yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Idul Fitri secara tekstual berarti hari raya berbuka, yaitu hari yang dirayakan oleh kaum Muslim karena setelah sebulan penuh berpuasa, pada hari itu kaum Muslim kembali bebas makan minum. Bahkan dalam ketentuan fikih, pada hari Idul Fitri diharamkan berpuasa. Hal ini dikaitkan dengan tugas berat selama sebulan sebelumnya, sehingga pantaslah tanggal 1 Syawal menjadi simbol suka cita dengan kembali tidak puasa.
Selama ini arti harfiah Idul Fitri lazim dikonotasikan dengan kembali kepada kesucian. Makna tersebut telah menjadi pengertian banyak kalangan kaum Muslim, malahan telah menjadi rangkaian kata yang menghiasi layanan-layanan komersial sampai kartu-kartu ucapan lebaran. Tentu saja tidak ada yang salah jika Idul Fitri dimaknai demikian, karena barangkali dikaitkan dengan sakralitas Bulan Ramadlan dan makna inilah yang ingin diinternalisasikan kepada kaum Muslim umumnya, semoga. Pengertian ini pun memang didukung dengan pengkondisian Bulan Ramadlan yang di dalamnya ditebar ampunan Tuhan pada sepuluh malam kedua seperti ditegaskan oleh hadits Nabi SAW. Begitu pula, saat ’itikaf do’a-do’a yang harus dipanjatkan mengandung permohonan pembersihan diri dari noda dan dosa. Hadits Nabi SAW tentang puasa Ramadlan yang lainnya pun berkaitan dengan pengampunan dosa. Dengan kata lain, Bulan Ramadlan memang menyediakan fasilitas pembersihan diri bagi mereka yang tahu memanfaatkannya, tapi sayangnya tidak semua umat Muslim dapat menangkap hikmah ini.
Namun jika ditinjau dari sisi bahasa, berdasarkan kamus-kamus yang ada seperti Kamus Arab-Indonesia karya Prof. H. Mahmud Yunus atau Kamus Kontekstual Arab-Indonesia karya Drs. Basuni Imamuddin, MA dan Kamus Besar Arab ke Arab Munjid, arti ’iid adalah hari raya dan bukan berarti kembali. Dalam Kamus Munjid paling dikatakan, ”Innahuu summiya ’iidan liannahuu ya’uudu kulla sanatin bifarhin mujaddadin” (Munjid th. 2002, hal 536), artinya sesungguhnya hari raya dinamai ’iid karena ia berulang setiap tahun dengan kegembiraan baru. Kata ’kembali’ dalam bahasa Arab adalah ’aud atau ’audah, sedangkan fithri atau futhuur artinya adalah berbuka. Suci sendiri, yang sering menjadi terjemahan istilah fitri dalam kata Idul Fitri, dalam bahasa Arab adalah fithrah. Jadi di sini terdapat perbedaan arti yang jauh antara kata fitri dengan kata fitrah. Maka dengan sendirinya padanan kata ’iidul fithri agak janggal jika diterjemahkan menjadi kembali kepada kesucian. Bahkan istilah Idul Fitri di manca negara cenderung dikembalikan pada arti asalnya. Seperti di Amerika Serikat, kaum Muslim di sana menyebut istilah Idul Fitri dengan sebutan Eid Mubarak yang berkonotasi pada pengertian hari raya yang diberkahi.
Demikian pula jika ditinjau dari sejumlah hadits tentang shalat dua hari raya, pemahaman Idul Fitri adalah hari raya berbuka dan bukan kembali suci. Untuk hal ini dapat dilihat dalam Kitab Bulughul Marram atau syarahnya, yaitu Subuulussalaam. Hal yang sama namun penyebutannya terbalik terjadi dalam istilah zakat fitrah. Dalam sejumlah hadits mengenai zakat tersebut, istilah yang ada adalah zakat fitri dan bukan zakat fitrah. Istilah zakat fitrah lagi-lagi hanya konteks Indonesia. Dengan demikian yang pas dalam momentum akhir Bulan Ramadlan, setiap Muslim wajib mengeluarkan Zakat Fitri dan pada tanggal 1 Syawal adalah saat perayaan Idul Fitri.
Konsekuensi Pemaknaan
Kelaziman pemahaman Idul Fitri konteks Indonesia memang mengakibatkan praktek-praktek perayaan tersendiri yang khas, misalnya budaya mudik, halal bil halal, nyekar kuburan dan lain-lain. Praktek-praktek tersebut sedikit banyak dijiwai oleh pengertian keharusan kembali suci dengan cara menyambungkan tali kasih dan saling memaafkan antar kerabat atau rekan bisnis bahkan yang telah meninggal dunia sekalipun. Ajaran ini memang bagian dari ajaran sakral dalam Islam, yaitu silaturrahmi. Ditilik dari praktek Nabi SAW, perayaan Idul Fitri sarat pula dengan muatan-muatan silaturrahmi ini. Misalnya apabila beliau melaksanakan Shalat Id, rute keberangkatan dan kepulangan selalu berbeda yang mengisyaratkan supaya dapat berjumpa orang sebanyak-banyaknya. Dalam perjumpaan tersebut, tentu saja tidak sekedar bertemu namun sekaligus untuk berbagi kebahagiaan, mempererat hubungan persaudaraan dan menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan.
Konsekuensi pemahaman di atas menggiring pada simbolisasi bahwa kekhidmatan perayaan Idul Fitri bagi sebagian besar kaum Muslim Indonesia baru terasakan manakala dapat kumpul bersama keluarga besar, saling berbagi pengalaman, saling membebaskan kesalahan dan saling mencicipi hidangan masing-masing. Hal tersebut akan ditempuh walau ongkos finansial dan sosialnya cukup mahal, misalnya ongkos angkutan selalu mengalami kenaikan setiap mudik lebaran baik secara resmi maupun tidak. Begitu pula, selama perjalanan dibayang-bayangi kemungkinan kecelakaan, diterjang kemacetan serta berdesak-desakan yang mengharuskan mandi keringat dan lain-lain. Semua ini akan nampak kecil bobot rintangannya ketimbang suka citanya berkumpul dengan keluarga besar.
Adalah terdapat sisi positif dari kegiatan seremonial itu, diantaranya terjadinya pencairan hubungan kemanusiaan yang terkadang membeku akibat sekat-sekat yang menghadang selama proses interaksi kemanusiaan. Juga perputaran roda ekonomi terjadi dalam area yang lebih luas dari kota ke desa dan sebaliknya. Dengan kata lain, saat Idul Fitri disamping secara sugesti jiwa bersih kembali, juga diharapkan terjadi ’pemerataan’ kesejahteraan dan kebahagiaan. Namun perlu dicatat pula bahwa rutinitas Idul Fitri konteks Indonesia ini menumbuhkan budaya konsumerisme karena pada saat-saat tersebut seolah ada tuntutan untuk belanja lebih banyak. Kebiasaan ini pun terkadang mereduksi makna silaturrahmi, paling tidak dari sisi waktu, bahwa aktivitas penyambungan tali kasih dan bermaaf-maafan tersebut cukup dilakukan satu tahun sekali.
Kembali ke Makna Asal
Di sisi lain, pengertian Idul Fitri sebagai hari raya berbuka merupakan curahan kegembiraan kaum Muslim setelah berhasil melaksanakan puasa sebulan penuh. Inilah kemenangan yang layak dirayakan mengingat ketabahan menjalani hari-hari puasa dengan perut lapar, kerongkongan haus dan potensi nafsu yang harus selalu dalam kendali bukan perkara mudah. Di dalamnya terkandung keharusan jujur pada diri sendiri dan tidak perlu mengharapkan penilaian orang lain. Betapa tidak, ibadah puasa bisa saja dilakukan dengan menggadaikan nilai jujur ini, yaitu berpura-pura puasa dalam arti sesungguhnya sehingga orang lain tetap mengakui kita khusyu puasa padahal tidak. Siapa yang tahu? Jika tidak ada kekuatan potensi diri yang tangguh, sulit seseorang mengarungi rimba Bulan Ramadlan nan penuh tantangan, pasti akan banyak yang berguguran di tengah jalan. Kalau pun puasa secara syari’ah, yaitu menahan makan minum, bisa dijalani tapi tidak sedikit yang ambrol dalam menahan kata-kata tak senonoh, sikap rendahan dan lain-lain yang dapat menghapus makna hakiki puasa. Tentu saja puasa demikian tidak akan menghasilkan apa-apa selain lapar dan dahaga.
Tampak bahwa filosofi ibadah puasa memang bertumpu pada penumbuhan karakter-karakter moralitas yang mumpuni sehingga layak menghasilkan sertifikasi muttaqin bagi yang lulus karenanya. Sangat logis usaha yang demikian keras memperoleh penghargaan Tuhan dengan jaminan bahwa hanya Dialah yang akan membalasnya seperti dinyatakan dalam salah satu hadis qudsi. Sebagai penghargaan saat ini di dunia, Tuhan pun telah menjadikan satu hari paska Bulan Ramadlan sebagai tanda berbuka kembali menjadi hari raya. Dalam hal ini sangat relevan perintah Nabi SAW kepada umat Muslim supaya menyambut kedatangan hari raya ini dengan memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil untuk mengagungkan, memuji dan memahaesakan Tuhan yang telah memberikan jamuan berupa terjadinya hari raya tersebut.
Terlepas dari kontroversi pengertian Idul Fitri di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Idul Fitri merupakan hari raya yang dihubungkan dengan kiprah kaum Muslim semata. Artinya, hari raya ini hanya berkorelasi dengan peristiwa tuntasnya Bulan Ramadlan yang secara langsung dialami bersama seluruh Muslim dunia. Tidak ada klaim-klaim individu atau kelompok baik yang hidup masa lampau atau masa kini yang menjadi sebab terjadinya hari raya ini. Demikian pula, Idul Fitri tidak dikaitkan dengan subjektivitas pembawa agama, misalnya karena kelahiran atau wafat Nabi SAW, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah agama seperti pewahyuan pertama, hijrah Nabi, Isra Mi’raj atau lain-lainnya. Idul Fitri benar-benar sebagai penghargaan Allah SWT kepada kaum Muslim yang berhasil mengemban tugas dengan baik. Pada hari itu setiap orang yang merayakannya dipersilakan menikmati lazimnya suatu hari raya selama dalam batas-batas koridor agama.
Pemikiran ini makin mengokohkan pandangan bahwa Bulan Ramadlan dan Idul Fitri diperuntukkan bagi kaum Muslim guna peningkatan kualitas diri mereka. Dalam ungkapan lain, kaum Muslimlah dan bukan Tuhan yang berkepentingan dengan peristiwa-peristiwa tersebut sehingga sangat pantas setiap Muslim bangga merayakan hari kemenangan ini. Kebanggaan tersebut akan timbul manakala seorang Muslim bangga pula dengan kehadiran Bulan Ramadlan sebagai kesempatan untuk riyadloh, yaitu pelatihan jiwa dan raga. Idul Fitri, di sisi lain, membawa semangat egaliter masyarakat Muslim mengingat tidak ada perorangan atau kelompok yang diistimewakan dalam perayaan ini. Semuanya berhak merayakannya, tidak ada strata sosial yang harus mendinding antar mereka. Merayakan suatu peristiwa sakral termasuk kebutuhan semua manusia, Idul Fitri adalah fasilitas yang Tuhan berikan guna memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus mencerabut akar-akar hubungan baik manusia dengan Tuhannya.
Hal yang tidak boleh dilupakan, momentum Idul Fitri bukan sekedar untuk berhari raya semata, namun pula harus merupakan tonggak baru kaum Muslim mengejawantahkan hasil ibadah Ramadlan-nya. Ini berarti bahwa pada hari raya ini harus diniatkan mengamalkan nilai-nilai luhur yang diperoleh selama sebulan sebelumnya. Hal ini seriring dengan tujuan berpuasa, yaitu membentuk pribadi-pribadi muttaqin. Perilaku takwa justru dibutuhkan pada sebelas bulan berikutnya karena selama Bulan Ramadlan perilaku tersebut secara langsung memperoleh tempaan. Dengan kata lain, hasil pendidikan sebulan penuh dapat menjadi kerangka peningkatan moral umat untuk setahun ke depan, adapun dalam rentang waktu panjang tersebut akan terjadi degradasi nilai-nilai tersebut, itu adalah hal yang wajar karena di depan, Bulan Ramadlan berikutnya sudah menanti. Begitulah terjadi pengulangan pendidikan Ramadlan yang pada akhirnya diharapkan tercetak muttaqin-muttaqin sejati. Inilah aura repetitive magic power yang Allah berikan kepada kaum Muslim, yaitu pengulangan Bulan Ramadlan dan Idul Fitri secara teratur guna mengingatkan sang makhluk pelupa, al-insaan. Wallaahu ’alam bishshawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar