Jumat, 31 Agustus 2012

Keragaman Pemahaman


Menyikapi Keragaman Pemahaman Islam
Oleh: Lukman Abdurrahman

Perbedaan pemahaman dalam Islam sebaiknya disikapi dengan tasaamuh. Sikap ini ada baiknya kita belajar dari para imam mujtahid yang tak perlu diragukan kepakarannya dalam mengantisipasi terjadinya keragaman pemahaman agama.  Sebagai contoh, Imam Syafi’i berkata, “Apabila hadits itu sahih, itulah madzhabku dan buanglah pendapatku yang timbul dari ijtihadku”.
Salah satu isu menarik dalam sikap keberagamaan kaum Muslim adalah pluralitas. Yakni keragaman pemahaman terhadap teks-teks agama yang diakibatkan oleh cara menafsirkan teks tersebut.  Keragaman penafsiran muncul disebabkan oleh latar belakang memahami teks  yang bermacam-macam, misalnya disebabkan oleh kedalaman pengetahuan, kondisi sosial budaya setempat, garis madzhab rujukan, jiwa dari teks itu sendiri dan sebagainya.  Di atas semuanya itu, hal yang perlu diacungi jempol adalah manakala perbedaan-perbedaan ini direspon dengan kebesaran jiwa masing-masing pihak dengan mengedepankan penghargaan terhadap pihak lain yang tak sejalan dengan pemahaman pihaknya.  Sesungguhnya isu pluralitas mengandung pengertian yang merentang sejak pluralitas di kalangan kaum Muslim sendiri dalam memahami Islam sampai pluralitas keragaman agama di dalam masyarakat luas.  Dalam tulisan ini, pluralitas lebih ditujukan kepada kondisi warna pelangi dalam memahami Islam terutama pada kajian syari’ah oleh internal kaum Muslim sendiri.
Bibit-bibit pluralisme dalam menerjemahkan Islam telah nampak sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Tak jarang dua orang atau lebih sahabat mempunyai pandangan berbeda terhadap satu teks suci wahyu.  Misalnya – seperti diriwayatkan Imam Abu Dawud – dua orang sahabat mempunyai sikap berlainan sehubungan dengan ibadah shalat saat didapatinya air padahal sebelumnya sudah ditunaikan dengan bertayammum, karena ketiadaan air waktu itu.  Pada mulanya kedua sahabat tersebut sepakat bahwa pengganti wudlu adalah bertayammum.  Setelah selesai shalat ternyata mereka mendapati air, perbedaan mulai muncul.  Sahabat yang satu  berwudlu dan mengulangi shalatnya, tapi yang lainnya tidak melakukan hal serupa.  Kemudian keduanya melaporkan hal tersebut kepada Nabi SAW.  Secara bijak beliau merespon dengan sikap tidak menyalahkan salah satu pihak tidak pula menyanjung pihak lainnya. Beliau malah menyebutkan kelebihan masing-masingnya.  Yaitu, bagi yang mengulangi shalat dikatakan telah memperoleh dua keutamaan sedang bagi yang tidak mengulangi telah berpegang pada sunnah dan shalatnya telah mencukupi.  Di sini kelihatan bahwa tradisi berbeda paham dan saling menghargai perbedaan tersebut telah demikian dijunjung tinggi sejak awal-awal kelahiran Islam.
Jika ditilik dari proses pewahyuan, diyakini bahwa wahyu datang dari Dzat yang Transenden diturunkan untuk makhluk yang immanen.  Maksudnya wahyu bernilai benar secara mutlak manakala dikaitkan dengan Dzat yang Transenden yakni Tuhan SWT, namun menjadi benar secara relatif jika sudah dicerna oleh manusia yang immanen.  Karena itu, sangat wajar satu teks suci Al-Qur’an diejawantahkan dalam tataran wacana, praktek, dan bahasa yang beragam oleh kaum.  Dalam hal ini, penafsir atau mujtahid dapat mengklaim bahwa hasil ijtihadnya telah benar, namun pada saat yang sama, tidak etis kalau menyalahkan hasil ijtihad orang lain untuk bidang bahasan yang sama.  Apabila dia seperti itu sama saja dengan mendudukkan dirinya seperti posisi Tuhan Yang Mahamutlak dalam firman-Nya (QS 3:60).  Hal ini akan meruntuhkan bangunan Islam yang kaya dengan dorongan-dorongan ke arah olah fikir tersebut.  Keuniversalan Islam akan sirna jika lahan untuk menggumuli kondisi kontemporer umat dihabisi oleh mujtahid-mujtahid tandingan Tuhan ini.  Nyawa Islam akan kehabisan energi karena tidak mampu membuktikan dirinya sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Sejak dulu, tradisi ijtihad memperoleh tempat terhormat di lingkungan komunitas Muslim. Misalnya pernyataan Nabi SAW bahwa seseorang yang berijtihad dan ternyata benar maka dia akan mendapat dua ganjaran.  Sebaliknya jika ijtihadnya salah, dia hanya akan memperoleh satu ganjaran.  Yang perlu digarisbawahi di sini adalah benar salahnya ijtihad.  Siapa yang menilai benar tidaknya ijtihad dan kapan akan diketahuinya?  Tak ada penjelasan eksplisit dari Nabi mengenai hal ini.  Namun contoh ini merupakan penjelas tentang sifat universalitas Islam yang dapat ‘hinggap’ di mana, kapan dan bagi siapa saja.  Sarana ijtihad menjadikan Islam sebagai agama yang dapat memberi jalan bagi terciptanya kelangsungan hidup manusia dalam membentuk lingkungan yang dinamis dan rabbaaniy.  Dorongan untuk selalu menjadikan Islam tetap aktual setiap masa merupakan keniscayaan karena warta Al-Qur’an sendiri menjamin hal itu (QS 15:9).  Demikian pula sunnah telah menyatakan hal yang sama, yaitu “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap awal seratus tahun (satu abad) seseorang yang memperbaharui agamanya (mujaddid).  Mereka adalah kader-kader Allah yang terus dilahirkan secara berkesinambungan untuk membela agama-Nya.
Bahwa kemudian hasil olah fikir lewat ijtihad ini tidak selalu benar dan tidak selalu salah adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Allah telah jauh-jauh hari memaklumkan hal ini. Akibatnya akan terlalu naif jika terjadi saling mencaci sesama ‘mujtahid’ hanya karena berbeda dalam menakar satu teks suci akibat acuan yang digunakan berbeda atau kesimpulan yang dihasilkan berlainan.  Bahkan Allah pun akan selalu memberikan ganjaran bagi siapa saja yang berijtihad terlepas hasilnya benar atau tidak, ini merupakan isyarat relativitas sifat benar hasil ijtihad itu sendiri. Artinya, klaim benar tersebut harus dikaitkan dengan sejumlah pra kondisi; siapa yang melakukan ijtihad tersebut, di mana dia melakukannya, peristiwa apa yang melatarbelakanginya, kapan hal itu terjadi dan sebagainya. Allah tidak meminta manusia mencapai kemutlakan-Nya, namun Allah  akan menilai pada usaha manusia menggapai kebenaran dalam bingkai inspirasi-Nya.  Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dari hasil suatu ijtihad.  Konsekuensinya, seseorang yang mencoba berijtihad jangan menutup diri dari kemungkinan salah dan jangan memicingkan mata pada hasil ijtihad orang lain. Dan yang paling penting, jangan memutlakkan hasil ijtihad tersebut sehingga ‘menutup pintu’ bagi mujtahid-mujtahid lain di belakang hari.
Fenomena yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini banyak bertolak belakang dengan semangat aktualisasi Islam.  Banyak hasil ijtihad masa lalu yang ‘dikeramatkan’ sehingga dianggap tabu jika diperbaharui dengan ijtihad kontemporer. Bahwa ada sejumlah persyaratan untuk mencapai tingkat mujtahid, yang menurut kalangan para ahli hukum Islam harus dipenuhi, adalah hal yang wajar dan seharusnya demikian. Namun hal ini tidak boleh menutup kemungkinan dilakukannya ijtihad-ijtihad baru demi merespon perubahan waktu dan ruang yang kian kencang bergulir.  Islam ibarat perangkat lunaknya mesin komputer kehidupan dunia yang memberi nyawa kesegaran sehingga mesin tersebut selalu dapat beroperasi serasi dan mampu menjawab kekiniannya.  Manakala perangkat ini mandeg, maka dapat dibayangkan akibatnya yakni tertundanya peluang-peluang emas kedigjayaan peradaban Islam dan merajalelanya penyusup-penyusup perangkat gelap.
Syekh Muhammad Abduh pernah mensinyalir bahwa kegemilangan Islam dihalangi oleh kaum Muslim sendiri.  Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi dunia Islam mutakhir yang nampak ‘kurang darah’ dan tak berdaya berhadapan dengan tantangan-tantangan perubahan zaman.  Padahal di satu sisi, teks-teks wahyu maupun ucapan Nabi SAW mengisyaratkan bahwa Islam merupakan piranti hidup yang unggul (QS 48:28). Tentu saja keunggulan ini tidak dapat tampil begitu saja tanpa peran serta kaum Muslimnya.  Dengan kata lain, keunggulan konsep Islam baru berwujud apabila dibarengi gerak langkah kaum Muslim yang selalu menyatupadukan nafas hidupnya dengan Islam.  Jelasnya, pergaulan mereka dengan Islam tidak boleh sebatas kebutuhan formal beragama saja tapi juga pada pembentukan paradigma berpikir dan bertindak.  Hal ini berarti pula bahwa tradisi Islam yang selalu membuka diri terhadap perubahan lingkungan, juga harus menjadi jiwa kaum Muslim sehingga selaras antara keduanya.  Pada gilirannya nanti, Islam tidak berhenti pada tataran konsep namun mampu berbicara pada tingkat realitas.  Islam tidak sekedar menjembatani kepentingan manusia akan Tuhannya, tapi juga menjadi wahana kehidupan kini di alam syahadah.
Perbedaan pemahaman dalam Islam sebaiknya disikapi dengan tasaamuh. Sikap ini ada baiknya kita belajar dari para imam mujtahid yang tak perlu diragukan kepakarannya dalam mengantisipasi terjadinya keragaman pemahaman agama.  Sebagai contoh, Imam Syafi’i berkata, “Apabila hadits itu sahih, itulah madzhabku dan buanglah pendapatku yang timbul dari ijtihadku”.  Demikian pula Imam Abu Hanifah menyatakan, “Ini adalah pendapatku terbaik yang kami temukan, dan bila ada orang lain yang bisa menemukan yang lebih baik lagi, maka ikutilah dia”. Pernyataan-pernyataan tulus tersebut merupakan cerminan kebesaran jiwa dan kesadaran mereka berkaitan dengan peran yang harus dimainkan. Secara terang mereka membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun yang akan mengkritisi hasil ijtihadnya.
Biasanya sumber masalah kekisruhan muncul dari para pengikut setia tokoh-tokoh agama yang diidolakan.  Kesetiaan ini terkadang melampaui batas, yaitu sampai pada derajat pengultusan, sehingga sikap keberagamaan yang harusnya mengedepankan keselamatan dalam damai menjadi kabur.  Tujuan syari’ah yang mestinya menciptakan kesehatan akal bisa jadi dilupakan karena alasan-alasan yang justru tidak masuk akal. Karena itu, mari kita ciptakan suasana berislam yang toleran dan menyelamatkan umat dari kesalahpahaman dalam memahami agama.  Wallaahu ‘alam bish-shawab.

Rabu, 29 Agustus 2012

Memaknai Idul Fitri


Memaknai Idul Fitri
Oleh: Lukman Abdurrahman
Makna Idul Fitri
Bagi umat Muslim, Idul Fitri merupakan hari yang sangat layak dirayakan sebagai hari guna menikmati kesuksesan melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.  Hari raya ini adalah salah satu hari raya Islam dari dua hari raya - Idul Fitri dan Idul Adlha - yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW.  Idul Fitri secara tekstual berarti hari raya berbuka, yaitu hari yang dirayakan oleh kaum Muslim karena setelah sebulan penuh berpuasa, pada hari itu kaum Muslim kembali bebas makan minum.  Bahkan dalam ketentuan fikih, pada hari Idul Fitri diharamkan berpuasa.  Hal ini dikaitkan dengan tugas berat selama sebulan sebelumnya, sehingga pantaslah tanggal 1 Syawal menjadi simbol suka cita dengan kembali tidak puasa.  
Selama ini arti harfiah Idul Fitri lazim dikonotasikan dengan kembali kepada kesucian. Makna tersebut telah menjadi pengertian banyak kalangan kaum Muslim, malahan telah menjadi rangkaian kata yang menghiasi layanan-layanan komersial sampai kartu-kartu ucapan lebaran.  Tentu saja tidak ada yang salah jika Idul Fitri dimaknai demikian, karena barangkali dikaitkan dengan sakralitas Bulan Ramadlan dan makna inilah yang ingin diinternalisasikan kepada kaum Muslim umumnya, semoga.  Pengertian ini pun memang didukung dengan pengkondisian Bulan Ramadlan yang di dalamnya ditebar ampunan Tuhan pada sepuluh malam kedua seperti ditegaskan oleh hadits Nabi SAW. Begitu pula, saat ’itikaf do’a-do’a yang harus dipanjatkan mengandung permohonan pembersihan diri dari noda dan dosa. Hadits Nabi SAW tentang puasa Ramadlan yang lainnya pun berkaitan dengan pengampunan dosa. Dengan kata lain, Bulan Ramadlan memang menyediakan fasilitas pembersihan diri bagi mereka yang tahu memanfaatkannya, tapi sayangnya tidak semua umat Muslim dapat menangkap hikmah ini.
Namun jika ditinjau dari sisi bahasa, berdasarkan kamus-kamus yang ada seperti Kamus Arab-Indonesia karya Prof. H. Mahmud Yunus atau Kamus Kontekstual Arab-Indonesia karya Drs. Basuni Imamuddin, MA dan Kamus Besar Arab ke Arab Munjid, arti ’iid adalah hari raya dan bukan berarti kembali. Dalam Kamus Munjid paling dikatakan, ”Innahuu summiya ’iidan liannahuu ya’uudu kulla sanatin bifarhin mujaddadin”  (Munjid th. 2002, hal 536), artinya sesungguhnya hari raya dinamai ’iid karena ia berulang setiap tahun dengan kegembiraan baru.  Kata ’kembali’ dalam bahasa Arab adalah ’aud atau ’audah, sedangkan fithri atau futhuur artinya adalah berbuka.  Suci sendiri, yang sering menjadi terjemahan istilah fitri dalam kata Idul Fitri, dalam bahasa Arab adalah fithrah. Jadi di sini terdapat perbedaan arti yang jauh antara kata fitri dengan kata fitrah.  Maka dengan sendirinya padanan kata ’iidul fithri agak janggal jika diterjemahkan menjadi kembali kepada kesucian.  Bahkan istilah Idul Fitri di manca negara cenderung dikembalikan pada arti asalnya.  Seperti di Amerika Serikat, kaum Muslim di sana menyebut istilah Idul Fitri dengan sebutan Eid Mubarak yang berkonotasi pada pengertian hari raya yang diberkahi.
Demikian pula jika ditinjau dari sejumlah hadits tentang shalat dua hari raya, pemahaman Idul Fitri adalah hari raya berbuka dan bukan kembali suci.  Untuk hal ini dapat dilihat dalam Kitab Bulughul Marram atau syarahnya, yaitu Subuulussalaam.  Hal yang sama namun penyebutannya terbalik terjadi dalam istilah zakat fitrah.  Dalam sejumlah hadits mengenai zakat tersebut, istilah yang ada adalah zakat fitri dan bukan zakat fitrah.  Istilah zakat fitrah lagi-lagi hanya konteks Indonesia. Dengan demikian yang pas dalam momentum akhir Bulan Ramadlan, setiap Muslim wajib mengeluarkan Zakat Fitri dan pada tanggal 1 Syawal adalah saat perayaan Idul Fitri.

Konsekuensi Pemaknaan
Kelaziman pemahaman Idul Fitri konteks Indonesia memang mengakibatkan praktek-praktek perayaan tersendiri yang khas, misalnya budaya mudik, halal bil halal, nyekar kuburan dan lain-lain.  Praktek-praktek tersebut sedikit banyak dijiwai oleh pengertian keharusan kembali suci dengan cara menyambungkan tali kasih dan saling memaafkan antar kerabat atau rekan bisnis bahkan yang telah meninggal dunia sekalipun.  Ajaran ini memang bagian dari ajaran sakral dalam Islam, yaitu silaturrahmi. Ditilik dari praktek Nabi SAW, perayaan Idul Fitri sarat pula dengan muatan-muatan silaturrahmi ini.  Misalnya apabila beliau melaksanakan Shalat Id, rute keberangkatan dan kepulangan selalu berbeda yang mengisyaratkan supaya dapat berjumpa orang sebanyak-banyaknya.  Dalam perjumpaan tersebut, tentu saja tidak sekedar bertemu namun sekaligus untuk berbagi kebahagiaan, mempererat hubungan persaudaraan dan menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan.
Konsekuensi pemahaman di atas menggiring pada simbolisasi bahwa kekhidmatan perayaan Idul Fitri bagi sebagian besar kaum Muslim Indonesia baru terasakan manakala dapat kumpul bersama keluarga besar, saling berbagi pengalaman, saling membebaskan kesalahan dan saling mencicipi hidangan masing-masing.  Hal tersebut akan ditempuh walau ongkos finansial dan sosialnya cukup mahal, misalnya ongkos angkutan selalu mengalami kenaikan setiap mudik lebaran baik secara resmi maupun tidak.  Begitu pula, selama perjalanan dibayang-bayangi kemungkinan kecelakaan, diterjang kemacetan serta berdesak-desakan yang mengharuskan mandi keringat dan lain-lain.  Semua ini akan nampak kecil bobot rintangannya ketimbang suka citanya berkumpul dengan keluarga besar.  
Adalah terdapat sisi positif dari kegiatan seremonial itu, diantaranya terjadinya pencairan hubungan kemanusiaan yang terkadang membeku akibat sekat-sekat yang menghadang selama proses interaksi kemanusiaan.  Juga perputaran roda ekonomi terjadi dalam area yang lebih luas dari kota ke desa dan sebaliknya.  Dengan kata lain, saat Idul Fitri disamping secara sugesti jiwa bersih kembali, juga diharapkan terjadi ’pemerataan’ kesejahteraan dan kebahagiaan.  Namun perlu dicatat pula bahwa rutinitas Idul Fitri konteks Indonesia ini menumbuhkan budaya konsumerisme karena pada saat-saat tersebut seolah ada tuntutan untuk belanja lebih banyak.  Kebiasaan ini pun terkadang mereduksi makna silaturrahmi, paling tidak dari sisi waktu, bahwa aktivitas penyambungan tali kasih dan bermaaf-maafan tersebut cukup dilakukan satu tahun sekali.

Kembali ke Makna Asal
Di sisi lain, pengertian Idul Fitri sebagai hari raya berbuka merupakan curahan kegembiraan kaum Muslim setelah berhasil melaksanakan puasa sebulan penuh.  Inilah kemenangan yang layak dirayakan mengingat ketabahan menjalani hari-hari puasa dengan perut lapar, kerongkongan haus dan potensi nafsu yang harus selalu dalam kendali bukan perkara mudah.  Di dalamnya terkandung keharusan jujur pada diri sendiri dan tidak perlu mengharapkan penilaian orang lain.  Betapa tidak, ibadah puasa bisa saja dilakukan dengan menggadaikan nilai jujur ini, yaitu berpura-pura puasa dalam arti sesungguhnya sehingga orang lain tetap mengakui kita khusyu puasa padahal tidak. Siapa yang tahu?  Jika tidak ada kekuatan potensi diri yang tangguh, sulit seseorang mengarungi rimba Bulan Ramadlan nan penuh tantangan, pasti akan banyak yang berguguran di tengah jalan.  Kalau pun puasa secara syari’ah, yaitu menahan makan minum, bisa dijalani tapi tidak sedikit yang ambrol  dalam menahan kata-kata tak senonoh, sikap rendahan dan lain-lain yang dapat menghapus makna hakiki puasa.  Tentu saja puasa demikian tidak akan menghasilkan apa-apa selain lapar dan dahaga. 
Tampak bahwa filosofi ibadah puasa memang bertumpu pada penumbuhan karakter-karakter moralitas yang mumpuni  sehingga layak menghasilkan sertifikasi muttaqin bagi yang lulus karenanya.  Sangat logis usaha yang demikian keras memperoleh penghargaan Tuhan dengan jaminan bahwa hanya Dialah yang akan membalasnya seperti dinyatakan dalam salah satu hadis qudsi.  Sebagai penghargaan saat ini di dunia, Tuhan pun telah menjadikan satu hari paska Bulan Ramadlan sebagai tanda berbuka kembali menjadi hari raya. Dalam hal ini sangat relevan perintah Nabi SAW kepada umat Muslim supaya menyambut kedatangan hari raya ini dengan memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil untuk mengagungkan, memuji dan memahaesakan Tuhan yang telah memberikan jamuan berupa terjadinya hari raya tersebut. 
Terlepas dari kontroversi pengertian Idul Fitri di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Idul Fitri merupakan hari raya yang dihubungkan dengan kiprah kaum Muslim semata.  Artinya, hari raya ini hanya berkorelasi dengan peristiwa tuntasnya Bulan Ramadlan yang secara langsung dialami bersama seluruh Muslim dunia.  Tidak ada klaim-klaim individu atau kelompok baik yang hidup masa lampau atau masa kini yang menjadi sebab  terjadinya hari raya ini. Demikian pula, Idul Fitri tidak dikaitkan dengan subjektivitas pembawa agama, misalnya karena kelahiran atau wafat Nabi SAW, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah agama seperti pewahyuan pertama, hijrah Nabi, Isra Mi’raj atau lain-lainnya.  Idul Fitri benar-benar sebagai penghargaan Allah SWT kepada kaum Muslim yang berhasil mengemban tugas dengan baik.  Pada hari itu setiap orang yang merayakannya dipersilakan menikmati lazimnya suatu hari raya selama dalam batas-batas koridor agama.
Pemikiran ini makin mengokohkan pandangan bahwa Bulan Ramadlan dan Idul Fitri diperuntukkan bagi kaum Muslim guna peningkatan kualitas diri mereka.  Dalam ungkapan lain, kaum Muslimlah dan bukan Tuhan yang berkepentingan dengan peristiwa-peristiwa tersebut sehingga sangat pantas setiap Muslim bangga merayakan hari kemenangan ini.  Kebanggaan tersebut akan timbul manakala seorang Muslim bangga pula dengan kehadiran Bulan Ramadlan sebagai kesempatan untuk riyadloh, yaitu pelatihan jiwa dan raga.  Idul Fitri, di sisi lain, membawa semangat egaliter masyarakat Muslim mengingat tidak ada perorangan atau kelompok yang diistimewakan dalam perayaan ini.  Semuanya berhak merayakannya, tidak ada strata sosial yang harus mendinding antar mereka.  Merayakan suatu peristiwa sakral termasuk kebutuhan semua manusia, Idul Fitri adalah fasilitas yang Tuhan berikan guna memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus mencerabut akar-akar hubungan baik manusia dengan Tuhannya.
Hal yang tidak boleh dilupakan, momentum Idul Fitri bukan sekedar untuk berhari raya semata, namun pula harus merupakan tonggak baru kaum Muslim mengejawantahkan hasil ibadah Ramadlan-nya.  Ini berarti bahwa pada hari raya ini harus diniatkan mengamalkan nilai-nilai luhur yang diperoleh selama sebulan sebelumnya.  Hal ini seriring dengan tujuan berpuasa, yaitu membentuk pribadi-pribadi muttaqin.  Perilaku takwa justru dibutuhkan pada sebelas bulan berikutnya karena selama Bulan Ramadlan perilaku tersebut secara langsung memperoleh tempaan.  Dengan kata lain, hasil pendidikan sebulan penuh dapat menjadi kerangka peningkatan moral umat untuk setahun ke depan, adapun dalam rentang waktu panjang tersebut akan terjadi degradasi nilai-nilai tersebut, itu adalah hal yang wajar karena di depan, Bulan Ramadlan berikutnya sudah menanti.  Begitulah terjadi pengulangan pendidikan Ramadlan yang pada akhirnya diharapkan tercetak muttaqin-muttaqin sejati.  Inilah aura repetitive magic power yang Allah berikan kepada kaum Muslim, yaitu pengulangan Bulan Ramadlan dan Idul Fitri secara teratur guna mengingatkan sang makhluk pelupa, al-insaan.   Wallaahu ’alam bishshawaab.

PEMBINAAN USAHA KECIL


PEMBINAAN USAHA KECIL: UPAYA MEMBUMIKAN GOOD CORPORATE CITIZENSHIP TELKOM

Oleh: Lukman Abdurrahman 

Zoltan J. Acs dalam buku Enterpreneurship, Small & Medium-Sized Enterprises and the Macroeconomy (1999, hal.5) menyatakan: “Suatu penemuan yang menakjubkan adalah bahwa perusahaan dan wirausahawan kecil memainkan lebih banyak peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi daripada yang telah dikenal sebelumnya”.   Nampaknya, paradigma ini muncul seiring dengan pengalaman-pengalaman para pelaku ekonomi yang telah mengalami pahit getirnya sistem ekonomi yang bertumpu pada usaha-usaha raksasa saja.   Tak terkecuali Indonesia, betapa terpuruknya sistem ekonomi Indonesia ketika badai krisis moneter sekaligus krisis ekonomi melanda negeri ini.  Sistem ekonomi Indonesia yang selama itu lebih bertumpu pada sistem konglomerasi, ternyata rapuh manakala harus berhadapan dengan pengaruh global yang dahsyat itu.  Banyak perusahaan besar yang harus gulung tikar karena tidak mampu bermain dalam situasi turbulen, sebaliknya perusahaan-perusahaan kecil menengah masih dapat berdiri tegak di tengah terseok-seoknya sistem perekonomian negeri ini.
Sejalan dengan paradigma di atas, penumbuhkembangan usaha kecil menengah lambat laun menjadi perhatian penting pemerintah Republik Indonesia.  Dalam hal ini pemerintah menyisihkan sebagian dananya yang berasal dari laba sejumlah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) guna disalurkan kepada para pelaku bisnis tingkat kecil dan koperasi.   Saat ini, Telkom  sebagai salah satu BUMN unggulan memperoleh tugas untuk mengelola dana tersebut melalui unit Proyek Pembinaan Usaha Kecil PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (PPUK), yang selanjutnya menjadi unit Community Development Center (CDC).
Dari sudut misi perusahaan, keberadaan CDC merupakan salah satu perwujudan misi Good Corporate Citizenship (GCC) Telkom.  Misi yang diemban dalam GCC tersebut adalah “Terlibat secara aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui berbagai aktivitas dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun lingkungan”.  CDC akan banyak berperan dalam aktivitas ekonomi dan secara tidak langsung pada lingkungan.  Aktivitas ekonomi yang dikembangkan CDC akan menyasar kepada pemberdayaan ekonomi skala kecil, yang secara de facto, kelompok ini merupakan bagian terbesar dari masyarakat Indonesia namun mereka selalu terpinggirkan.   Adalah GCC yang makin menguatkan tekad CDC untuk terus maju memberdayakan saudara-saudara kita tersebut, setidaknya agar mereka tetap tegak berdiri dan mampu menahan proses marginalisasi yang terus menerpa.  Di sisi lain, CDC pun berharap banyak agar keberadaannya terus mendongkrak eksistensi PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk sebagai perusahaan milik publik dalam arti sesungguhnya.  Maksudnya, Telkom dikenal dan “dimiliki” rakyat sehingga terbentuk citra jika berbicara telekomunikasi dan informasi, maka pikiran mereka akan tertuju kepada Telkom.  Hal ini penting dalam rangka mengantisipasi munculnya pemain-pemain baru jasa telekomunikasi,  Telkom tak perlu khawatir karena telah memiliki komunitas pelanggan yang “fanatik”.  

Konfigurasi Pengelolaan Usaha Kecil

Pada dasarnya kelompok usaha kecil yang akan menjadi binaan CDC adalah semua pengusaha yang tergolong masih kecil.  Namun dalam upaya efektivitas membumikan GCC, kelompok usaha kecil ini disegmentasi ke dalam dua golongan besar.  Yaitu para pengusaha kecil yang bisnisnya bertalian dengan core competency Telkom, seperti wartel atau warnet dan lain-lain serta pengusaha kecil yang bisnisnya di luar itu.  Mereka yang usahanya berkaitan erat dengan bisnis Telkom akan diprioritaskan guna memperoleh dua tujuan sekaligus.  Artinya, disamping CDC memberdayakan mereka, juga sekaligus menciptakan kelompok stake holders yang makin peduli dengan Telkom, sehingga nantinya kelompok ini selain usahanya makin mapan juga menjadi bagian komunitas pelanggan yang tetap loyal.Fungsi pembinaan yang diemban CDC tentu saja tidak terbatas pada penyaluran dana.  Lebih dari itu, usaha kecil tersebut perlu dibina agar dana yang telah tersalur dapat didayagunakan secara optimal untuk kemajuan para pengusaha sendiri.  Demikian pula, dana tersebut harus terus bergulir sehingga pemerataan kesempatan berusaha dapat menjangkau sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia.  Pola pembinaan yang dilakukan oleh CDC terhadap para pengusaha kecil pada dasarnya adalah pola bapak angkat – mitra binaan.  CDC akan menganalisis dan menseleksi kelompok usaha kecil yang layak mendapat kucuran kredit  modal kerja maupun investasi.  Selanjutnya jumlah kredit yang disalurkan akan disesuaikan dengan kapasitas usaha kecil itu sendiri. 
Dalam periode tertentu, kelompok usaha kecil tersebut akan memperoleh program pembinaan berupa pelatihan dan pendampingan.  Bentuk pelatihan akan dititikberatkan pada prinsip-prinsip manajemen pengelolaan usaha, mulai dari aliran hubungan dengan para pemasok/ hulu  sampai kepada pemasaran/ hilir.  Demikian pula aspek-aspek manajemen keuangan, kepegawaian, teknologi pendukung dan proses produksinya sendiri akan menjadi fokus pada pelatihan tersebut.  Untuk melengkapi hasil pelatihan yang berupa diskusi kelas, CDC akan menyiapkan program pendampingan dengan menyertakan para praktisi lain untuk ikut terlibat dalam pengelolaan usaha yang bersangkutan.  Para praktisi akan berasal dari mereka yang telah berhasil mengembangkan usahanya atau pun dari para pakar bisnis yang berlatar belakang akademis.
Selama program pendampingan/ pemagangan, kelompok usaha itu sekaligus akan diamati kemajuan usahanya.  Tolok ukur pengamatan akan ditujukan pada kemampuan para pengusaha dalam mengembangkan usahanya, baik dari sisi kesehatan keuangannya/ cash flow termasuk pengembalian kredit, kelancaran proses produksi menyangkut relasi terhadap pemasok dan pasar, maupun pola pengembangan usahanya.   Pada gilirannya berdasarkan pengamatan ini, CDC akan menseleksi sejumlah mitra binaan unggulan.  Para mitra binaan unggulan ini kemudian akan difasilitasi untuk menggodok dirinya dalam sebuah pusat inkubator bisnis CDC. Hasil pembinaan di inkubator diharapkan dapat menaikkan kelas para pengusaha kecil ke kelas pengusaha menengah, atau setidak-tidaknya menjadi pengusaha kecil yang patut diunggulkan.  Dalam hal ini CDC akan berperan mengantarkan mereka pindah kelas dengan  menyediakan fasilitas-fasilitas pendukungnya, seperti permodalan, konsep-konsep manajemen dan sebagainya.  Pada gambar di bawah ini konfigurasi umum interaksi CDC dengan mitra binaan merupakan siklus yang berkesinambungan.  Gambar kotak mewakili kelompok pengusaha kecil sebagai mitra binaan, sedangkan gambar oval mewakili sentuhan-sentuhan yang dilakukan CDC terhadap mereka.

Gambar:  Konfigurasi Interaksi CDC-Mitra binaan



















Pada prakteknya pembinaan usaha kecil secara terpadu akan ditangani oleh unit CDC yang pusatnya berada di Kantor Perusahaan Telkom Bandung dan perwakilannya berupa CDC yang tersebar di tujuh Divisi Regional (DIVRE) dan sejumlah Kandatel.  Unit CDC berfungsi merencanakan, merumuskan dan mengendalikan kebijakan-kebijakan baik strategis maupun operasional.  Sedangkan pelaksanaan operasionalnya didelegasikan kepada para CDC DIVRE dan Kandatel.  Oleh karena itu, pengelolaan mitra binaan dilakukan secara berjenjang.  Artinya, sebagai ujung tombak yang berhubungan dengan mitra adalah CDC di Kandatel/ setingkat.  Sedangkan CDC DIVRE mengkoordinasikan seluruh CDC Kandatel dan merupakan kepanjangan tangan dari Unit CDC. 

Program-program Pembinaan Usaha Kecil
Pelatihan dan Pendampingan

Pelatihan merupakan program awal dalam pembinaan mitra binaan CDC paska penyaluran kredit. Tujuan pelatihan adalah sebagai upaya pengembangan sistem bisnis mitra binaan dalam rangka menciptakan pola kemitraan yang saling menguntungkan. Maksudnya, CDC sebagai penyalur dana tidak ragu mendistribusikan kreditnya karena ditopang oleh mitra binaan yang handal.  Demikian pula, mitra binaan tidak boleh puas hanya dengan memperoleh modal tambahan, namun mereka dituntut pula untuk meningkatkan kualitas bahkan kuantitas bisnisnya.
Pelatihan yang akan diselenggarakan tidak hanya terbatas di dalam ruangan, namun pula akan dilanjutkan dengan program pendampingan/ pemagangan.  Program ini akan berupa penyediaan ahli-ahli maupun para praktisi bisnis yang dikoordinasikan oleh CDC bagi mitra binaan yang layak memperolehnya.  Para ahli tersebut akan membina secara langsung di lapangan bagaimana mengelola bisnis modern yang bertumpu pada sistem manajemen yang sehat, berorientasi kebutuhan pasar dan siap bersaing. 

Pusat Inkubator Bisnis (PIB)

Pengembangan Pusat Inkubator Bisnis CDC merupakan kelanjutan dari program pelatihan dan pendampingan sebelumnya.  Dalam hal ini, program pelatihan dan pendampingan merupakan proses seleksi terhadap mitra binaan yang terlihat potensial untuk berkembang.  Berdasarkan hasil-hasil seleksi ini, dapat ditentukan  mitra binaan yang dinyatakan unggul untuk selanjutnya akan memperoleh pembinaan intensif melalui PIB CDC.
PIB merupakan sarana yang memfasilitasi mitra binaan untuk memacu seluruh potensi yang dimilikinya sehingga mereka dapat pindah “kelas” dari pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah atau menjadi pengusaha kecil yang makin mapan. Di PIB, para pengusaha kecil akan dipertemukan guna saling tukar informasi dan berbagi pengalaman yang berkaitan, kasus per kasus.  Kegiatan ini harus dilengkapi pula dengan perangkat audio visual, jaringan internet, jaringan teleconference, perpustakaan dan lain-lain yang diharapkan makin memfasilitasi dan memperkaya wawasan para pengusaha.  Selain itu, pusat inkubator juga harus menyediakan para pakar di bidangnya guna memandu para pengusaha menemukan jiwa entrepreneurship-nya.  Jadwal kegiatan akan disesuaikan dengan kebutuhan, artinya jika mitra binaan unggul telah terpilih maka kegiatan-kegiatan di PIB dapat dilaksanakan.
Pembinaan di PIB harus bersifat terbuka dan berjangka waktu, yaitu penggabungan antara praktek lapangan dan kajian-kajian kasus per kasus di ruangan secara ilmiah dalam waktu tertentu.  Dengan cara ini, diharapkan kesenjangan antara realita dengan konsep-konsep bisnis dapat diperkecil, begitu pula jembatan antara para pakar bisnis dengan para praktisi akan selalu tersambung.  Dengan kata lain konsep link and match dapat terwujud sebagai sesuatu yang realistis.
Klasifikasi pembinaan di PIB terdiri dari tiga kategori:
a.       Pembinaan usaha kecil unggul sebagai hasil pemilihan pada program pelatihan dan pendampingan.
b.      Pembinaan usaha kecil unggul yang lahan bisnisnya pada industri telekomunikasi dan informasi.
c.       Pembinaan tenaga-tenaga muda, khususnya para sarjana yang baru lulus, yang berminat dalam menjalankan wirausaha.

Pembangunan Pusat Informasi

Guna memelihara komunikasi antara CDC dan mitra binaan serta sesama mereka, pusat sistem informasi merupakan suatu alternatif yang perlu dikembangkan. Sistem informasi ini dapat pula berfungsi sebagai jembatan sosialisasi pembinaan usaha kecil. Keberadaan pusat informasi lebih logis jika dikelola oleh CDC sebagai pusat koordinasi dengan kontribusi data dan informasi dari semua mitra binaan dan CDC Divre/ Kandatel. 
Wujud pusat informasi CDC berupa:
a.       Database mitra binaan yang meliputi: data perusahaan, jenis bisnis, produk-produk yang dihasilkan, delivery systems dan lain-lain yang dikemas dalam situs CDC, yaitu www.puktel.com.
b.      Buletin usaha kecil yang berisi informasi seputar Usaha Kecil Menengah (UKM)/ Small and Medium-sized Enterprises (SME) baik di dalam negeri, regional ASEAN maupun internasional yang juga dikemas di situs www.puktel.com. 
c.       Fasilitas konsultasi dengan para pakar usaha kecil menengah (e-clinic).
d.      Fasilitas e-commerce yang memungkinkan terjadi saling pertukaran transaksi di antara mitra bisnis (B2B commerce) dan mitra bisnis dengan pelanggannya (B2C commerce), juga harus dikemas di www.puktel.com.
Sistem informasi manajemen CDC juga harus meliputi sistem informasi internal CDC Pusat- Daerah untuk mengelola informasi keuangan, yang kemudian disingkat dengan SIMPUK.  Di dalam SIMPUK harus tersaji laporan penyaluran dan pengembalian  dana, baik per mitra binaan, per DIVRE, per KANDATEL, per jenis usaha maupun per propinsi.  Secara singkat SIMPUK dibuat untuk mengelola sistem informasi administrasi keuangan, sedangkan situs www.puktel.com dimaksudkan untuk memfasilitasi informasi publik.

Penciptaan Komunitas Pengusaha Kecil Terpadu

Sasaran jangka panjang CDC adalah terbentuknya komunitas pengusaha kecil sebagai bagian dari pilar-pilar perekonomian Indonesia, khususnya memperkuat peran Telkom dalam mengembangkan perekonimian masyarakat bawah.  Secara bersama-sama mereka diharapkan menjadi andalan masyarakat untuk memperkokoh struktur sistem usaha yang pada gilirannya dapat melahirkan kesempatan dan penciptaan lapangan kerja baru.  Dari komunitas ini juga diharapkan tercipta kelompok pelanggan Telkom yang loyal.
Masyarakat pengusaha kecil menengah hasil pembinaan CDC secara maya maupun nyata harus diikat sehingga membentuk komunitas tersendiri, tentunya tidak dalam arti menciptakan eksklusivitas.  Penciptaan komunitas ini semata-mata untuk memudahkan semua pihak (mitra binaan, CDC, pemerintah dll.) dalam melakukan koordinasi guna tujuan-tujuan lebih jauh, yaitu memelihara bahkan meningkatkan keberadaan komunitas ini sebagai pendukung penciptaan kesejahteraan masyarakat lebih luas.   Secara maya atau virtual, mereka harus difasilitasi oleh sistem informasi manajemen sehingga interaksi di antara mereka dapat berjalan lebih intensif.   Transaksi-transaksi antara mereka (B2B commerce) maupun antar mereka dengan para pelanggannya (B2C commerce) diharapkan akan berjalan dengan baik sehingga dapat mengangkat perputaran roda perekonomian lebih lancar lagi.  Demikian pula, proses pembinaan melalui e-learning maupun e-clinics akan berjalan baik.
Secara nyata atau real, para mitra binaan diharapkan dapat mempererat hubungan antar mereka dengan selalu menjalankan pola-pola pembinaan internal.  Pola pembinaan dapat mengikuti pola-pola yang telah dikembangkan oleh CDC, sehingga mitra binaan yang telah kuat dapat menyumbangkan pengalamannya kepada mereka yang masih lemah berupa kesempatan magang, bantuan pemasaran produk dan sebagainya.  Secara ideal, interaksi yang makin kuat di antara mereka dapat melahirkan pengusaha-pengusaha baru, baik dalam rangka melebarkan sayap usaha-usaha yang telah ada maupun dalam penciptaan usaha-usaha baru.

Kesimpulan
Keberadaan Community Development Centre (CDC) merupakan wujud nyata PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk menjangkau masyarakat Indonesia secara lebih luas, khususnya masyarakat lapis bawah.  Dari sisi misi perusahaan, proyek ini merupakan salah satu representasi misi Good Corporate Citizenship, yaitu “terlibat secara aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui berbagai aktivitas dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun lingkungan”. 
Upaya CDC dalam memberdayakan para pengusaha kecil mempunyai dua tujuan sekaligus.  Tujuan pertama adalah mengangkat kelompok masyarakat terbesar Indonesia itu mampu bertahan dari proses marginalisasi, malahan nantinya diharapkan menjadi kelompok baru pilar-pilar ekonomi Indonesia.  Tujuan kedua adalah membumikan misi GCC Telkom, sehingga Telkom sebagai perusahaan publik menjadi bagian kebutuhan  masyarakat akan keberadaannya.  Pada gilirannya, Telkom akan tetap eksis sebagai perusahaan yang kompeten di bidangnya walaupun bermunculan operator-operator baru jasa telekomunikasi.
Pola pembinaan CDC dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pemilihan mitra binaan untuk memperoleh kredit, penyaluran kredit dan sebagainya.  Adapun pembinaannya sendiri, paska penyaluran dana, terdiri dari pelatihan, pendampingan, pemagangan, inkubator bisnis dan pengembangan sistem informasi.  Melalui tahapan pembinaan demikian diharapkan terbentuk komunitas pengusaha kecil, khususnya binaan Telkom yang akan makin mengokohkan keberadaan mereka sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional.

Electronic Commerce



Electronic Commerce: Peluang dan Kendala

Oleh: Lukman Abdurrahman



Electronic Commerce (disingkat e-commerce) sebagai sarana berbisnis menggunakan jaringan komputer, sebenarnya sudah dikenal sejak dua puluh tahun lalu, yaitu sejak akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an.  Generasi pertama e-commerce ini dilakukan hanya antar perusahaan berupa transaksi jual beli yang difasilitasi oleh electronic data interchange (EDI). E-commerce melalui EDI ini sifatnya eksklusif, yaitu terbatas hanya antar perusahaan (business-to-business).  Namun sejak awal tahun 90-an, e-commerce lebih banyak menggunakan fasilitas Internet yang sifatnya jauh lebih inklusif dan sangat terbuka.  Hal ini terutama dikaitkan dengan peluncuran World Wide Web (www) pada tahun 1992 yang merupakan salah satu alat (tool) Internet yang popular untuk membuat, memanipulasi dan memanggil dokumen-dokumen yang terdiri dari audio, video, informasi grafis dan text.  Bahkan secara de facto Web ini sudah menjadi standar untuk melakukan navigasi, menerbitkan informasi dan mengeksekusi transaksi pada Internet dan Intranet (jaringan komputer intern organisasi/ perusahaan).  Melalui jaringan Internet inilah, e-commerce menjadi dikenal oleh kalangan yang lebih luas meliputi pelaku bisnis berskala besar sampai pelaku bisnis individual.  Demikian pula, jangkauan area pasarnya meliputi seluruh dunia atau setidaknya negara-negara di dunia yang telah mempunyai jaringan Internet tersebut.
Maka tidaklah heran sejak saat itu tumbuh subur perusahaan-perusahaan maya baik yang sebelumnya telah ada atau sama sekali baru.  Sekedar contoh dapat disebutkan di sini yang sama sekali baru memanfaatkan peluang e-commerce ini adalah Amazon.com, sebuah toko maya yang berkonsentrasi pada penjualan buku dan musik yang bermarkas di Amerika Serikat.  Sebagai toko maya, Amazon.com mampu menyajikan lebih dari 2,5 juta buku kepada para “pengunjungnya”.   Bandingkan dengan sebuah toko buku tradisional terbesar di Amerika Serikat yang hanya mampu menyediakan sekitar 150.000 buku saja.  Selanjutnya, Amazon.com pun telah pula memetik sukses-sukses penjualan buku maupun musiknya itu walaupun tidak untuk menangguk laba sebesar-besarnya, karena perhatian CEO (chief executive officer) mereka lebih pada upaya membesarkan dulu perusahaannya.  Konsumen Amazon.com tersebar di seluruh wilayah Amerika Serikat dan belahan lain dunia.  Juga di lantai bursa, saham Amazon.com termasuk yang diminati para pemodal karena nilainya yang cukup tinggi.
Pertumbuhan e-commerce nampaknya akan berkembang terus seiring dengan makin memasyarakatnya jaringan global Internet.  Bahkan beberapa pakar teknologi informasi memprediksi bahwa Internet akan menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat modern pada masa mendatang.  Ini artinya mereka akan demikian kental berurusan dengan Internet dalam segala hal termasuk membeli atau menjual barang dan jasa.   Begitu pula perusahaan-perusahaan akan mengupayakan pelebaran pangsa pasarnya melalui jaringan Internet sebagai strategi baru yang sangat global.  Dengan kata lain, e-commerce akan menjelma menjadi infrastruktur bisnis alternatif yang mumpuni pada era informasi kini dan mendatang. 

Peluang

Secara garis besar interaksi bisnis lewat e-commerce dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu antar organisasi/ perusahaan (business-to-business), intern organisasi/ perusahaan (within business) dan pelanggan terhadap perusahaan (customer-to-business).  Dalam kategori pertama, e-commerce memfasilitasi interaksi antar perusahaan sehingga solusi-solusi manajemen dari awal sampai akhir dapat dilakukan secara efektif.  Ini artinya rantai jaringan yang menghubungkan pelanggan, pegawai, pemasok, distributor dan bahkan pesaing dapat dikendalikan secara terintegrasi.   Untuk kategori kedua, e-commerce yang lebih sering difasilitasi oleh intranet merupakan katalis untuk menghantarkan dinamika-dinamika intern organisasi menuju perusahaan modern.  Sehingga pada gilirannya, seperti ditulis pakar manajemen Peter F. Drucker dalam artikel “The Coming of the New Organization”, perusahaan akan berubah paradigma dari organisasi yang berdasarkan komando dan kontrol hirarkis yang terdiri dari divisi dan departemen kepada organisasi yang berbasiskan informasi, yaitu organisasi dari spesialis-spesialis pengetahuan (knowledge).  Sedangkan pada kategori ketiga, e-commerce memfasilitasi interaksi pelanggan dengan perusahaan secara elektronis untuk mempelajari, memilih sekaligus membeli produk-produk yang ditawarkan.  Pula, pelanggan dapat melakukan pembayaran secara elektronis baik dengan cek elektronik atau sistem pembayaran elektronik lainnya.  Selain itu, e-commerce tentu pula memungkinkan seorang konsumen berinteraksi dengan yang lainnya melalui misalnya surat elektronik (e-mail), videoconferencing atau newsgroups sehingga mereka bisa berbagi informasi untuk produk atau jasa baru yang ditawarkan.
                Sebagaimana dinyatakan di atas, e-commerce adalah lahan baru untuk membangkitkan dan mengeksploitasi bisnis yang mengutamakan efektivitas dalam pelaksanaannya.  Artinya, e-commerce menyelenggarakan transaksi bisnis melalui jaringan elektronik dengan sejumlah perbaikan terhadap performansi bisnis tradisional.  Sehingga akan tercipta wajah bisnis baru dengan unjuk kerja lebih baik: kualitas interaksi, kepuasan pelanggan dan efektivitas pembuatan keputusan.  Juga, perusahaan dapat memperoleh efisiensi ekonomis yang lebih baik dengan menurunkan biaya-biaya (costs).  Padahal kecepatan pertukaran barang dan jasa tetap terjamin cepat bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Karena itulah e-commerce terkenal dengan semboyannya: “do more with less”.
            Dengan didukung oleh teknologi Web, e-commerce dapat dibangun dengan biaya yang murah.  Dengan hanya bermodalkan sebuah personal computer (PC), sebuah modem dan account Internet; seseorang sudah dapat membuat sendiri atau memesan sebuah home page untuk penyelenggaraan e-commerce.  Di arena jaringan Internet, seorang pebisnis kecil ini dapat berkompetisi dengan pebisnis-pebisnis raksasa yang sudah ada sebelumnya tanpa harus takut kalah bersaing. Malahan para raksasa ini terkadang dipaksa untuk mengkonsep ulang strategi dan struktur pembiayaan usaha mereka agar tetap kompetitif dalam mengadu nasib di dunia bisnis baru itu.  Hal ini misalnya terjadi pada raksasa bisnis Time Warner atau Disney  yang dipaksa harus bersaing keras dengan para pendatang baru yang lebih kecil di e-commerce yang juga membidik pasar yang sama dengan kedua raksasa tersebut.
            Dilihat dari sisi peluang pasar (marketplace), e-commerce dapat menjangkau pasar-pasar regional, nasional bahkan internasional. Tidak ada batas yang dapat mempersempit pasar bisnis di dalam jaringan Internet ini selain kehandalan manajemen si pebisnis sendiri.  Memanfaatkan jaringan global ini pula, perusahaan-perusahaan dapat lebih mencurahkan kepeduliannya terhadap para konsumen mereka, vendor atau distributornya sehingga dapat terbentuk segmentasi pelayanan yang lebih terarah.  Sedangkan dalam rangka membangun pangsa pasar baru dan jalur-jalur distribusi, para pelaku bisnis dapat menggunakan e-commerce untuk mengenalkan aset-aset yang mereka punyai seperti merek, infrastruktur operasional, informasi terkait, dan pendidikan pelanggan (customer education) dengan cara lebih murah dan efektif.  Contoh yang telah berjalan dalam penciptaan pasar baru adalah apa yang telah dilakukan oleh Time Warner dengan situs Web–nya bernama Pathfinder.  Melalui situs ini, Time Warner menerbitkan majalah-majalah popular mereka seperti Time, Money dan lain-lain.  Pathfinder sendiri mendapatkan pembayaran dari penjualan iklan dan pelanggan yang mengaksesnya.  Dengan cara ini, penerbit berusaha mengintegrasikan produk layanannya, membuat segmentasi pelanggan berdasarkan produk tersebut dan lebih profesional.  Dalam hal distribusi produk lewat e-commerce, perusahaan software seperti Netscape telah memanfaatkan teknologi baru Web untuk menjual sekaligus mendistribusikan software-sofware komoditinya secara elektronis.

Kendala
            E-commerce telah membuka sebuah dunia baru baik bagi para konsumen maupun perusahaan yang tentu pula ia menghendaki pendekatan-pendekatan manajemen baru.  Jika didayagunakan secara cerdas, e-commerce sangat potensial untuk mendongkrak keuntungan perusahaan disebabkan kemampuan yang lebih baik dalam pemeliharaan pelanggan, penyajian barang dan jasa baru yag berbasis informasi dan operasional yang efisien.  Namun sebelum bergerak ke arah itu, para pelaku bisnis di e-commerce perlu merencana ulang strategi mereka, produk-produk dan proses bisnisnya dalam rangka membangun sebuah pendekatan manajemen yang solid.  Dalam hal ini beberapa persoalan yang akan mengemuka adalah: strategi jangka panjang dan pendek perusahaan, model bisnis untuk e-commerce, cara investasi sisi teknologi, produk atau jasa yang bisa dijual via e-commerce dan restrukturisasi organisasi yang paling pas dalam mengendalikan alat bisnis baru ini. 
            Dalam kaitan ini Malcolm Frank dalam  “The Realities of Web-based Electronic Commerce” menyarankan tujuh langkah menuju sukses dalam melakukan e-commerce.  Pertama adalah e-commerce harus dipandang sebagai sistem bisnis dan bukan sistem komputer.  Artinya e-commerce harus merupakan solusi komprehensif dalam berbisnis, sehingga yang diurusi bukan sisi teknisnya semata tapi pula strategi, proses, organisasi dan manusianya.  Kedua, kemauan untuk terjun ke e-commerce harus didukung penuh oleh pimpinan tingkat atas. Bahasa lainnya, pimpinan ataslah penanggung jawab dan pemilik e-commerce ini.  Ketiga pembuatan proses bisnis harus terdefinisi secara eksak guna menghindari “pendewaan” teknologi dan komputer sebagai satu-satunya pembuat solusi.  Keempat, mengantisipasi kemungkinan munculnya konflik yang diakibatkan peralihan ke e-commerce. Konflik seperti ini sangat mungkin datang dari pihak ketiga yang merasa dirugikan dengan strategi baru ini.   Kelima, juga mengantisipasi kemungkinan gerakan anti perubahan (resistance to change) dari internal perusahaan.  Keenam, harus mempelajari demografi dan kebutuhan konsumen dalam rangka menyajikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada mereka. Dan ketujuh, harus disiapkan tenaga-tenaga terampil bidang teknologi informasi yang mengerti e-commerce dengan segala persoalannya, termasuk Internet, Intranet, Web, Database, pengamanan sistem dan lain-lain.
            Hal lain yang menjadi kendala adalah keamanan sistem baik yang sifatnya fisik seperti perangkat komputer dan jaringannya maupun isi informasi/ transaksinya sendiri.  Sebagai jaringan publik, Internet terbuka bagi semua pemakai tak terkecuali mereka yang menyusup untuk mendapatkan keuntungan secara illegal.   Hal ini misalnya bisa terjadi pada “pencurian” kartu kredit yang sedang digunakan pada pembayaran secara online. Oleh karenanya, e-commerce harus disertai dengan penerapan sistem keamanan pula.  Sedikitnya ada lima standar keamanan yang harus ada pada penyelenggaraan e-commerce: privacy, authenticity, integrity, availability dan blocking.  Privacy adalah kemampuan untuk mengontrol siapa yang dapat atau tidak  membuka informasi dan dalam kondisi apa hal itu bisa dilakukan.  Sedangkan authenticity adalah kemampuan untuk mengetahui identitas pihak-pihak yang sedang melakukan komunikasi pada jaringan e-commerce tersebut.  Integrity adalah jaminan bahwa informasi yang disimpan atau yang ditransmisikan tidak akan tercecer.  Availability adalah kemampuan untuk mengetahui kapan pelayanan informasi dan komunikasi dapat atau tidak tersedia.  Dan blocking  adalah kemampuan untuk memblokir penyusup atau informasi yang tidak dikehendaki.  Itulah beberapa standar kenyamanan berbisnis di e-commerce yang dibutuhkan baik oleh konsumen maupun perusahaan.

Penutup
            Nampak bahwa e-commerce dapat dilihat dari dua sisi kepentingan yaitu konsumen dan perusahaan.  Dari sisi konsumen, e-commerce adalah “kendaraan” untuk mengarungi lautan informasi, berkomunikasi dengan sesama kolega dan tentu untuk berbelanja di toko-toko maya tanpa harus meninggalkan rumah/ kantor dan terjebak kemacetan lalu lintas.  Konsumen pula yang akan menjadi faktor penting untuk terjadinya berbagai inovasi di arena berbelanja maya ini sesuai dengan tuntutan kebutuhan mereka. 
            Di sisi lain, e-commerce bagi perusahaan menawarkan efisiensi dan perolehan banyak dengan modal sekecil-kecilnya.  Teknologi Internet membuka mata dan telinga para pelaku bisnis ini untuk maju dan berani bersaing di pasar global.



Referensi:

1.      Frank, Malcolm.  “The Realities of Web-based Electronic Commerce”.  World Wide Web.  Accessed 26 September 1998http://library.claremont.edu/ovidweb70/o…y&ST=3&R=1&totalCit=1&D=infoz&S=10917525.
2.      Gray, Paul; King, William R. Management of Information Systems. San Diego, California: The Dryden Press,1994.
3.      Kalakota, Ravi and Whinston, Andrew B.  Electronic Commerce: A Manager’s GuideReading, Massachusetts: Addison-Wesley, 1997.
4.      Karakayas, Fahri and Karakayas, Fera.  “Doing Business on the Internet”.  World Wide Web.  Accessed 14 September 1998. http://library.claremont.edu/ovidweb70/o…T=3&R=25&totalCit=246&D=infoz&S=10528545

Balanced Scorecard


Balanced Scorecard: Sistem Instrument Pengukur Kinerja Organisasi Bisnis
Oleh: Lukman Abdurrahman

Pendahuluan

Gaya bisnis masa lalu dengan kini terlebih pada millenium ketiga sekarang akan sangat berbeda.  Hal ini ditandai dengan perubahan karakteristik bisnis itu sendiri sebagai akibat perubahan lingkungan usaha yang begitu cepat.  Alam monopoli yang telah demikian lama dinikmati perusahaan-perusahaan besar terutama yang dimiliki pemerintah berangsur-angsur dipaksa masuk ke arena persaingan seiring keterbukaan perdagangan antar negara.  Pada gilirannya, perubahan paradigma bisnis dari monopoli ke kompetisi tersebut menghendaki perubahan pola manajemennya pula.  Manajemen yang sentralistik dan kaku sudah barang tentu harus ditinggalkan guna memudahkan perusahaan menjadi adaptif bermain di lingkungan persaingan.  Demikian pula cetak biru (blue print) perusahaan yang direpresentasikan dalam visi, misi dan strategi harus didefinisikan dengan jelas guna memberikan arah bisnis bagi seluruh komponen perusahaan.

Di sisi lain, perusahaan yang siap berkompetisi harus memiliki manajemen yang efektif.  Artinya aktivitas bisnis yang dilakukan harus berpijak pada visi dan strategi yang telah dirumuskan sebelumnya.  Hal ini selain untuk membuat sinergi seluruh komponen perusahaan juga mempermudah pengukuran kinerja.  Dengan ukuran yang jelas, setiap penyimpangan yang terjadi akan mudah dideteksi.  Selanjutnya, antara pengukuran kinerja dengan realita akan diperoleh informasi yang memudahkan pengujian terhadap sejumlah kebijaksanaan maupun tindakan.  Berdasarkan hal ini, adalah tidak mustahil mengubah sejumlah kebijaksanaan bahkan strategi yang terbukti tidak handal menghadapi persaingan. 
Untuk tujuan di atas, Balanced Scorecard (BSC)  menawarkan pendekatan pengukuran kinerja bisnis. Dalam hal ini, BSC merupakan sebuah sistem instrumentasi bagi para pelaku usaha untuk mengendalikan organisasi perusahaan guna memperoleh sukses kompetitif tersebut.  Pada prakteknya, BSC mentranslasikan misi dan strategi perusahaan ke dalam sekumpulan parameter bisnis yang dapat mewakili performansi organisasi secara komprehensif.  Sehingga pada akhirnya akan terbentuk kerangka pengukuran strategis untuk sistem manajemen perusahaan.

Balanced Scorecard

Berbeda dengan sistem pengukuran performansi perusahaan sebelumnya yang hanya menitikberatkan pada sisi keuangan, BSC memotret kinerja organisasi bisnis dari sudut pandang yang lebih luas.  Yaitu dari empat perspektif: keuangan (finance), pelanggan (customer), proses bisnis internal (internal business process) serta proses belajar dan pertumbuhan (learning and growth).

·        Keuangan (Finance) 
Perspektif finansial berkaitan dengan persoalan yang berhubungan dengan para pemegang saham (shareholders).  Di sini, perspektif finansial menggambarkan strategi bisnis dengan objektif-objektif finansial jangka panjang.  Kemudian dikaitkan dengan aktivitas yang dilakukan untuk mencapai objektif  tersebut.  Selain dikaitkan dengan ukuran-ukuran keuangan itu sendiri, perspektif ini juga dihubungkan dengan objektif aspek pelanggan, proses bisnis internal dan proses belajar dan pertumbuhan.  Hal ini bertujuan untuk menunjukkan keselarasan strategi perusahaan dan pelaksanaannya  pada tindakan-tindakan di tiap-tiap lini yang berkaitan, sehingga memenuhi kaidah hubungan sebab akibat (cause-and-effect relationship) antar masing-masing perspektif.  Dalam hal ini perspektif keuangan menempati posisi  paling ujung dalam kaidah tersebut, sehingga sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek lain yang menjadi masukannya, yaitu tiga perspektif di belakangnya.
Yang menjadi ukuran-ukuran pada perspektif ini biasanya adalah: operating income, return-on-capital employed, economic value-added, sales growth, generation of cash flow  dan lain-lain.

·        Pelanggan
Perspektif pelanggan berhubungan dengan ukuran-ukuran yang dapat merespon  kekritisan para pelanggan.  Hal ini didasari oleh kenyataan saat ini, bahwa dunia usaha berupaya selalu menyajikan nilai (value) perusahaan kepada para pelanggannya dengan lebih baik.  Nilai perusahaan ini diantaranya meliputi waktu (time), kualitas (quality), unjuk kerja dan pelayanan (performance and service) dan biaya (cost).   Dalam BSC, nilai-nilai ini diukur dari sejumlah ukuran (measures) yang merepresentasikannya.  Sebagai contoh, nilai waktu diukur dari jumlah waktu yang diperlukan untuk menyajikan produk yang dijanjikan kepada atau diinginkan oleh pelanggan.  Nilai kualitas diukur dari tingkat kecacatan produk/ layanan yang dipersepsikan oleh pelanggan dibandingkan dengan kondisi rilnya atau dari ketepatan penyajian produk tersebut, dan seterusnya.   Namun dapat disebutkan di sini bahwa secara umum ukuran-ukuran pada perspektif pelanggan terdiri dari: customer satisfaction, customer retention, new customer acquisition, loyalty, customer profitability dan market and account share.

·        Proses bisnis internal  
Perspektif proses bisnis internal difokuskan pada perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan dari sisi proses bisnis internalnya.  Hal tersebut makin jelas, karena untuk menghasilkan kinerja perspektif pelanggan yang baik diperlukan dukungan proses bisnis internal.   Oleh karena itu pengukuran pada perspektif ini harus berasal dari proses-proses bisnis yang mempunyai dampak signifikan pada kepuasan pelanggan seperti: waktu siklus (cycle time), kualitas, keterampilan dan produktivitas pegawai dan lain-lain.  Demikian pula para manajer perusahaan harus mampu mengidentifikasi dan mengukur kompetensi utama (core competencies) perusahaan itu sendiri dan teknologi yang diperlukan guna kelangsungan penguasaan pangsa pasar, penciptaan nilai-nilai baru perusahaan, dan sebagainya.    Selanjutnya para manajer harus menentukan proses-proses mana saja yang mendukung kompetensi perusahaan dan kemudian menspesifikasikan ukuran-ukuran (measures) dari proses-proses tersebut untuk menjadi target pengukuran.   Dalam perspektif ini yang menjadi perhatian pengukuran umumnya adalah: quality, response time, cost, dan new product introductions.  
  
·        Proses belajar dan tumbuh
      Perspektif belajar dan tumbuh dikaitkan kepada sasaran improvisasi yang perlu dilakukan pada sisi sumber daya manusia dan sistem informasi termasuk pemeliharaan berkesinambungannya.  Dua perspektif sebelumnya mengidentifikasi parameter-parameter bisnis perusahaan pada titik-titik yang dapat mengantarkan perusahaan sukses dalam berkompetisi.   Namun  begitu, target sukses tersebut akan selalu berubah seiring dengan akselerasi persaingan global yang demikian intens pula.  Hal ini mengharuskan perusahaan melakukan improvisasi-improvisasi berkelanjutan terhadap produk atau layanannya, demikian juga pada proses-proses bisnisnya.   Lebih lanjut lagi, perusahaan tersebut harus memiliki kemampuan untuk belajar guna melakukan inovasi terhadap nilai perusahaan (company’s value).  Hal demikian dapat diraih melalui kemampuan untuk meluncurkan produk/ layanan  baru, menciptakan nilai-nilai baru untuk pelanggan, dan memperbaiki proses bisnis menjadi lebih efisien.  Cara ini diharapkan dapat mendongkrak perusahaan  menembus dan menciptakan pangsa pasar baru sekaligus meningkatkan pendapatan serta margin perusahaan.  Singkatnya, perusahaan harus tumbuh dan menaikkan nilai bagi shareholders-nya.

      Di sisi lain, pembinaan para pegawai termasuk yang harus diutamakan sebagai aset utama perusahaan.  Proses belajar harus menjadi budaya perusahaan sehingga keterampilan para pegawai dapat dipelihara bahkan ditingkatkan.  Dalam hal ini, kebetahan dan loyalitas karyawan akan menjadi ukuran berhasil tidaknya pendidikan pegawai itu.     Hal lain juga yang menunjang perspektif ini adalah ketersediaan sistem informasi sebagai infrastruktur proses pembelajaran dan pertumbuhan.

Pada perspektif ini sasaran pengukurannya meliputi tiga kategori: pegawai (employees), sistem dan prosedur organisasi.  Pengukuran pada sasaran pegawai adalah: employee satisfaction, employee retention, dan employee productivity.   Sedangkan pada sistem dikaitkan dengan ketersediaan sistem informasi. 

Balanced Scorecard Sebagai Sistem Manajemen Strategis

Sasaran BSC tidak pada sistem pengukuran operasional, namun umumnya dikaitkan dengan manajemen strategis guna mengelola rencana-rencana jangka panjang.  Dalam hal ini, mengacu pada konsep Oracle, BSC merupakan salah satu modul dari Strategic Enterprise Management (SEM).  Oleh karena itu, BSC memfasilitasi pula proses-proses manajemen kritis berikut (lihat gambar):

- Mengklarifikasi dan mentranslasi visi dan strategi.
- Mengkomunikasikan dan membuat link antara objektif-objektif (objectives) strategis dan ukuran-ukurannya.
- Merencanakan, menset target dan memadukan inisiatif-inisiatif yang sifatnya strategis.
- Memperbaiki masukan-masukan balik strategis, juga proses belajarnya.

  
Gambar   Balanced Scorecard Sebagai Kerangka Strategis

 





















Dalam penerapannya, BSC dilakukan berdasarkan sejumlah kepentingan berikut:

-         Memperoleh kejelasan dan memperkuat konsensus pada visi dan strategi perusahaan
-         Membangun tim manajemen yang lebih solid pada sasaran leadership development
-         Mengkomunikasikan visi dan strategi kepada jajaran organisasi perusahaan
-         Menyelaraskan kegiatan operasional terhadap pencapaian tujuan-tujuan strategis
-         Membuat patokan target-target strategis
-         Mengaliansikan sumber daya, program-program, strategi  dan investasi
-         Menyajikan sarana pembelajaran manajemen strategis
-         Membangun sebuah sistem umpan balik (a feedback system)

Balanced Scorecard dapat diterapkan untuk berbagai tipe organisasi: otonom, korporasi yang terdiri dari sekumpulan SBU (strategic business units), joint ventures, departemen-departemen pendukung dalam suatu korporasi, dan organisasi lainnya.   Sebagai sistem instrument manajemen strategis, perancangan BSC dimulai dari penjabaran visi dan misi organisasi.  Sebelumnya, pencanangan visi, yang nantinya akan berfungsi sebagai panduan terhadap arah bisnis perusahaan, perlu dilakukan oleh pimpinan puncak organisasi usaha.  Dalam tahap ini para senior manajer harus pula menerjemahkan visi dan misi  tersebut ke dalam sejumlah strategi dan turunannya  yang secara mudah dapat dipahami oleh seluruh jajaran perusahaan.  Selanjutnya harus dilakukan proses sosialisasi visi dan strategi perusahaan  sebagai bagian dari proses pendidikan pegawai.   Hal ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa pada gilirannya jajaran lini operasionallah yang harus merealisasikan visi perusahaan ini ke dalam tindakan nyata.  Jika para pelaksana tersebut mengerti betul objektif-objektif tingkat tinggi itu, mereka dapat dengan mudah membuat objektif-objektif lokal yang mendukung strategi global di atasnya.    

Langkah selanjutnya adalah membuat perencanaan dan target-target terhadap ukuran-ukuran/ parameter BSC yang telah didefinisikan sebelumnya.  Dalam tahap ini, para manajer diharapkan mampu untuk mengkuantifikasikan hasil-hasil jangka panjang yang mungkin dapat dicapai.  Sebagai contoh, pembuatan target tersebut dilakukan untuk jangka waktu 3 sampai 5 tahun ke depan, yang secara manajerial sudah dapat dikatakan mewakili performa sebuah perusahaan.  Selain itu, para manajer pun harus mampu mengidentifikasi mekanisme dan menyajikan semua sumber daya untuk mencapai hasil-hasil di atas tersebut.   Dan yang tak kalah pentingnya adalah, mereka pun harus mematok target-target jangka pendek ukuran-ukuran scorecard tersebut baik dari perspektif finansial maupun non finansial, termasuk  tongak-tonggak (milestones) periode pengukurannya.        

Proses manajemen akhir dalam perancangan sistem pengukuran manajemen ini  adalah menjadikan BSC  sebagai sebuah kerangka belajar strategis.  Artinya, BSC harus merupakan sarana bagi para manajer untuk mendapatkan umpan balik terhadap strategi yang mereka rumuskan dan menguji hipotesa yang mendasari strategi tersebut.  Hal ini sangat mungkin, karena BSC membantu para manajer memonitor dan mengatur impelementasi strategi mereka, bahkan melakukan perubahan-perubahan mendasar terhadap strategi tersebut.   Dengan demikian pengukuran harus dilakukan secara periodik untuk memonitor apakah target-target pada masing-masing perspektif yang telah diset sebelumnya tercapai atau tidak.   Hasil pantauan ini  menjadi sarana umpan balik bagi para manajer  guna perumusan-perumusan strategi berikutnya atau mempertahankan strategi yang telah terbukti handal.  Memperbaiki masukan-masukan balik strategis, juga proses belajarnya.

Membuat link dari strategi ke dalam ukuran-ukuran BSC harus memenuhi beberapa kriteria.  BSC harus terdiri dari kumpulan indikator atau key success factors tidak hanya yang kritis, tapi mengandung faktor-faktor lainnya.  Kerangka ukuran-ukuran BSC harus diturunkan dari diagram hubungan sebab-akibat performance drivers, dan kaitannya ke finansial.