Alhamdulillah
Oleh:
H. Lukman Abdurrahman
Dalam
keseharian sering kali kita mendengar ungkapan kalimat alhamdulillah, atau disebut hamdalah,
diucapkan. Hal ini terutama untuk menyatakan perasaan bersyukur, penyelesaian
suatu pekerjaan, kesembuhan dari suatu penyakit, jawaban terhadap pertanyaan
tentang kabar, ungkapan terima kasih dan lain-lain. Apa sesungguhnya makna yang
terkandung di dalam hamdalah tersebut?
Arti
alhamdulillah pada dasarnya mengembalikan seluruh pujian kepada Allah SWT.
Pujian apa pun yang terucap atau tergambarkan di alam ini, semuanya hanyalah
milik Allah. Pujian yang sering dialamatkan kepada manusia, keindahan alam,
keajaiban suatu kejadian dan sebagainya dalam konsep hamdalah menuju kepada
Dzat Yang Satu. Oleh karena itu tidak akan ada kesombongan yang ditampilkan,
tidak akan ada kepongahan yang dipertontonkan oleh siapa pun yang merasa
memiliki kelebihan di dalam dirinya, karena mereka sadar semua itu hanyalah property Allah. Yang wajar ditampilkan
oleh kita manakala memperoleh pujian atau anugrah nikmat adalah mengucapkan
kalimat alhamdulillah dengan sepenuh kesadaran akan maknanya.
Kaum
cerdik pandai generasi terdahulu selalu memulai buku-buku karangannya dengan
ungkapan alhamdulillah ini. Demikian
pula mereka mewajibkan kepada semua khaatib
shalat jum’ah untuk memulai khutbahnya dengan ungkapan ini berdasarkan contoh
Nabi SAW. Mereka tentunya juga ingin
mencontoh Allah SWT dalam pembukaan kitab suci-Nya dengan kalimat alhamdulillah
seperti termaktub di dalam surah Al-Faatihah.
Dalam
kitab kuning Hasyiah Jauhar Tauhid
karangan Imam Ibrahim Baijuri, disebutkan bahwa ungkapan alhamdulillah terbagi
menjadi dua bagian besar, yaitu puji qadiim
(terdahulu) dan puji haadits (terkemudian).
Puji qadiim terbagi dua lagi, yang pertama bahwa pujian itu adalah dari Al-Khaaliq kepada Al-Khaaliq. Ini berarti bahwa ucapan hamdalah adalah pujian Allah SWT kepada Diri-Nya sendiri,
pujian ini pastilah milik Allah semata.
Contoh pujian ini misalnya seperti tercantum di dalam Al-Qur’an bahwa “Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia,
Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang” (QS Al-Hasyr 22) dan lain-lain. Ayat-ayat tersebut menyatakan kemahaterpujian
Allah di alam semesta ini. Allah memuji
Dzat-Nya sendiri adalah suatu kepantasan karena tiada ada yang menandingi-Nya.
Yang
kedua hamdalah mengandung makna pujian dari Al-Khaaliq kepada makhluk, yakni Allah SWT
memuji makhluknya seperti pujian Allah kepada para nabi. Salah satu contoh pujian ini dapat disimak di
dalam Al-Qur’an surah Al-Qalam 4, dalam hal ini Allah memuji Nabi Muhammad SAW
yakni “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang
agung”. Pujian ini pun sesungguhnya milik Allah, karena Dialah yang telah
menganugerahi Nabi dengan akhlak yang sangat mulia. Artinya keluhuran budi pekerti Nabi merupakan
cerminan kemahaterpujian Allah jua.
Demikian
pula puji haadits terbagi menjadi dua, yang pertama hamdalah mengandung makna
pujian dari makhluk kepada Al-Khaaliq, yakni pujian-pujian makhluk, manusia
khususnya, kepada Allah SWT. Pujian ini
pun pada hakikatnya adalah milik Allah jua. Dalam ibadah ritual sehari-hari
seperti shalat, ibadah haji dan lain-lain sarat dengan puji-pujian kepada Allah.
Bahkan dalam satu sabdanya, Nabi SAW memberikan petunjuk bahwa bagi siapa saja
yang akan berdoa kepada Allah, hendaklah ia memanjatkan puji kepada-Nya dan
membaca shalawat kepada Nabi lebih dahulu. Oleh karenanya kemudian dalam Ilmu Fiqh hal ini menjadi syarat perlu
sebagai bagian dari etika berdoa.
Yang
kedua makna haadits hamdalah adalah bahwa pujian itu bisa berasal dari makhluk
kepada makhluk. Pujian ini pun pada hakikatnya adalah milik Allah. Kekaguman kita kepada prestasi orang lain,
binatang, tumbuh-tumbuhan adalah contoh-contoh pujian yang berasal dari makhluk
ditujukan kepada makhluk juga. Dalam
keseharian, pujian jenis keempat ini yang paling sering kita dengar karena
merupakan bumbu-bumbu kehidupan lingkungan manusia dan alam sekitarnya.
Ucapan
alhamdulillah pada dasarnya merupakan ekspresi untuk memperkuat nilai-nilai
ketauhidan dan menumbuhkan sikap kehambaan yang makin dalam, mestinya. Wallaahu
‘alam.
----ooo0ooo----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar