Membumikan Islam: Menciptakan Masyarakat Unggul
Oleh Lukman Abdurrahman
Ada satu pertanyaan yang sering
dilontarkan sementara kalangan, yaitu “Mengapa bangsa Indonesia yang mayoritas
berpenduduk muslim tidak mampu menjadi bangsa unggul sebagai wujud keislamannya sehingga
diperhitungkan dunia?”. Pertanyaan ini
memang terasa berlebihan dan terkesan mengada-ada jika dikaitkan dengan kondisi
komunitas muslim Indonesia saat ini. Betapa tidak, yang terlihat dalam
keseharian kita, kaum muslim Indonesia saat ini identik dengan kekumuhan,
kemiskinan, kejumudan dan ketertinggalan-ketertinggalan lainnya. Inilah fakta yang tak terbantahkan walaupun
harus diakui pula bahwa kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan
awal-awal kemerdekaan Indonesia, apalagi pada zaman penjajahan. Tingkat pendidikan sebagian kaum muslim saat
ini jauh sudah lebih baik, dalam arti mereka yang mengenyam pendidikan tinggi
tidak bisa dihitung lagi dengan sepuluh jari.
Begitu pula, jumlah jamaah haji setiap tahun tetap besar walaupun dalam
kondisi krisis ekonomi. Ini menunjukkan
bahwa sisi perekonomian ummat Islam lebih baik jika dibandingkan dengan dekade
50, 60 dan 70-an.
Dari sinilah barangkali terbersit satu
harapan, suatu saat nanti Indonesia yang dimotori kaum muslimnya dapat tampil
sebagai bangsa unggul dengan peradaban yang kosmopolit. Adalah wajar hal ini manjadi harapan kalau
ditilik dari peta penyebaran kaum muslim dunia yang pernah menyumbangkan
aktualisasi Islam dalam kenyataan. Kaum muslim yang tinggal di sekitar Asia
Barat dan Afrika yang meliputi semenanjung Arabia, Mesir, Turki, Irak, Iran dan
lain-lain pernah menampilkan sosok Islam yang cemerlang pada awal-awal
keemasannya. Tokoh-tokoh yang mewakili
generasi ini tak terhitung jumlahnya, namun yang sangat menonjol terdapat pada
imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Hambali), Imam Bukhary dan Muslim sebagai ahli hadits, Ibnu Sina sebagai ahli
kedokteran, Imam Ghazaly Al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Demikian pula, kaum muslim yang pernah
tinggal di wilayah barat yaitu di Andalusia Spanyol telah pernah menampilkan
peradaban Islam yang aktual dan berbekas kuat di daratan Eropa. Hal ini terbukti dari, misalnya, teknik
arsitektur abad pertengahan yang tetap dikagumi dan juga tokoh Ibnu Rusyd
(Averros) sebagai ahli fikih dan filsafat yang menjadi guru para ilmuwan Eropa
pada kemudian hari. Dari Asia Tengah dan
Selatan, telah pula mencuatkan peradaban Islam yang mumpuni melalui tokoh-tokoh
yang cukup berpengaruh dan mewarnai percaturan dunia saat itu. Dari Afganistan dikenal tokoh Jamaluddin
Al-Afgani yang pernah ‘menggentarkan’ banyak kalangan karena gagasan pan
islamismenya. Demikian pula dari
Pakistan ada Muhammad Iqbal yang mewakili sosok intelektual muslim yang patut
diperhitungkan. Di India ada karya
arsitektur Moghul seperti Taj Mahal yang mempesona, dan banyak lagi lainnya
yang semuanya berperan besar dalam membangun citra Islam yang berperadaban
tinggi sekaligus, dapat dikatakan, mewakili wilayah komunitas muslimnya
masing-masing.
Sangat wajar kiranya jika kaum muslim
Indonesia diharapkan muncul sebagai lokomotif kebangkitan Islam mewakili
regional Asia Tenggara karena nature Islam
memang demikian. Prof. John L.
Esposito dalam bukunya, Islam: The
Straight Path menyatakan, “From its
earliest days, Islam possessed a tradition of revival and reform. Muslims had been quick to respond to what
they regarded as the compromising of faith and practice...(Esposito 1998,
hal 116)”. Artinya, sejak awal-awalnya
Islam memiliki tradisi bangkit kembali dan menata diri. Kaum muslim cepat merespon apa-apa yang
mereka anggap dapat mengkompromikan keyakinan dan praktek lapangan.
Sepanjang
sejarah peradaban Islam, regional Asia Tenggara belum dikenal pernah
menyumbangkan peranan besar dalam mengaktualisasikan Islam sebagai sumber
peradaban universal sebagaimana yang pernah dilakukan oleh bagian-bagian lain
penduduk Islam dunia. Padahal komunitas muslim di regional ini sangat besar,
bahkan Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia. Namun sampai saat ini
Islam di wilayah Asia Tenggara dan Indonesia khususnya lebih dikenal sebagai
sosok agama yang statis dalam arti belum mampu mencuatkan agama ini sebagai
sumber inspirasi untuk membangun masyarakat madani yang dihargai dunia, baik
dalam tataran gagasan maupun praktis.
Malah yang dilihat dunia luar, khususnya dunia barat yang diwakili
Amerika Serikat dan sekutunya, wajah kaum muslim Indonesia lebih dikenal
sebagai penyebar teror yang haus darah, terlepas dari benar tidaknya stigma
tersebut. Hal ini sebenarnya merupakan
tantangan yang harus dijawab kaum muslim Indonesia untuk membalikan citra
Islam di negeri ini sebagai agama motivator dalam menciptakan masyarakat yang
berperadaban kosmopolit.
Kemampuan
generasi pendahulu kaum muslim dalam menyumbangkan peradaban yang tinggi
terhadap komunitas dunia tak terlepas dari semangat mereka menjadikan Islam
sebagai sumber gagasan dan ruh yang menjiwai cara pandang mereka. Islam telah diletakkan secara proporsional,
tidak saja dalam membangun hubungan dengan Tuhan namun pula dalam berinteraksi
dengan makhluk-Nya. Dalam hal ini
substansi ajaran Islam dapat diimplementasikan secara paripurna. Ritual-ritual agama tidak menjebak mereka
menjadi pribadi-pribadi salih yang arogan, yang telah mematok kavling di surga
hanya untuk dirinya namun lupa kalau dia telah menghalangi tetangganya yang
ingin ke surga juga. Mereka malahan
berhasil menggenapi ruang-ruag sekitar ritual tersebut menjadi anyaman-anyaman
bermosaik Islam, sehingga nampak sosok Islam yang indah dan utuh. Obor Islam telah membakar semangat
intelektualitas yang tidak berhenti untuk dirinya namun merambah ke segala arah
guna membuktikan bahwa Islam sebagai rahmatan
lil ‘aalamiin, rahmat bagi sekalian alam. Semangat pencarian pengetahuan kaum pendahulu
benar-benar mengikuti petunjuk Nabi SAW yang menyuruh ummatnya menggali ilmu
pengetahuan walaupun sampai ke negeri Cina.
Konsekuensinya, mereka mau berbaur degan ‘masyarakat dunia’
lainnya. Khazanah intelektual yang telah
dimulai pada masa peradaban Yunani, dilanjutkan dan diperkaya oleh generasi
pendahulu kaum muslim sehingga menjadi kekayaan intelektual yang tak ternilai
harganya.
Jika
mencermati kaum muslim Indonesia
saat ini memang masih amat jauh untuk diharapkan muncul sebagai pengusung Islam
menjadi ‘mercu suar’ sumber berbudaya dan berkarya. Adalah tantangan terbesar
saat ini bagaimana mengislamkan orang Islam sendiri. Islam harus dijadikan ideologi yang merasuk
ke dalam sumsum tulang kaum muslim sehingga menjadi darah daging mereka. Sehingga pada gilirannya, hal ini akan
membentuk pribadi-pribadi muslim yang sesungguhnya, dalam arti keislaman yang
disandang mereka terefleksikan dalam kedisiplinan melakukan ibadah ritual
sekaligus terpancar dalam perilaku keseharian mereka. Jadi, contohnya, kejujuran yang diajarkan
Islam tidak saja dipraktekkan dalam menepati jumlah rakaat shalat subuh,
menepati jumlah jam shaum Ramadlan dan aturan ibadah ritual lainnya, tapi pula
menjadi perilaku disiplin yang inherent
dalam mengemudikan kendaraan, melayani kepentingan umum, memimpin masyarakat,
menjadi anggota masyarakat dan lain-lain.
Dengan demikian, kondisi paradoks saat ini dapat diminimalkan atau
dihindarkan dari sikap ‘umum’ kaum muslim yang memandang ketaatan dan
kemaksiatan 'sama' saja. Bahkan,
seharusnya, sikap paradoks perlu ditabukan dari perilaku kaum muslim, karena
tidak etis hak bercampur batil. Jika
kondisi ini dapat ditiadakan maka cita-cita pembentukan masyarakat madani tak
membutuhkan ongkos yang besar, Islam cukup sebagai sumber inspirasi.
---ooo0ooo---
Membumikan
Islam pada kaum muslim harus ditempuh dengan cara kultural dan struktural. Pembumian secara kultural berkaitan dengan
upaya penyadaran keislaman kaum muslim melalui pendekatan budaya, kebiasaan (habit) dan tradisi. Pendekatan ini
harus dengan memperhatikan partikular masyarakat, karena setiap wilayah
mempunyai kekhasan sendiri. Masyarakat
pantai mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat pedalaman, masyarakat
perkotaan lain dengan pedesaan. Demikian
pula masyarakat perkantoran berbeda dengan ‘gaya’ para pekerja luar kantor dan
seterusnya. Dalam hal ini Islam harus
‘disusupkan’ ke lingkungan berbeda tersebut sesuai ‘irama’ yang ada di
sana. Sebagai contoh, para ustadz hendaknya
bersedia memberikan muatan Islam terhadap upacara-upacara adat seperti upacara
sedekah laut, bukan malah menjauhinya. Saat
ini, hal tersebut nampaknya tak terlalu diperhatikan, sehingga walaupun Islam
telah dianut ratusan tahun di lingkungan tersebut, saat upacara adat yang
ditonjolkan lebih pada sikap takhayyul
dan khurafat-nya. Terjadi dikotomi antara Islam sebagai agama
dan upacara adat sebagai budaya. Padahal seharusnya hal ini tidak boleh
terjadi, idealnya memang budaya yang berkembang di masyarakat muslim semuanya
bernafaskan Islam, namun sulit mencapai hal tersebut. Di sini harus diambil
jalan tengah, islamisasi budaya yang telah ada namun terkadang harus dengan
risiko berjiwa besar. Maksudnya,
kelenturan pemahaman Islam harus diperlebar dan kontekstual karena tidak jarang
toleransi demikian terasa ‘menyimpang’ dari teks-teks sumber hukum Islam.
Penyampaian pesan-pesan Islam secara
kultural, di sisi lain, lebih banyak bersinggungan dengan praktek beragama yang
bersifat individual atau komunal terbatas dan tidak perlu melibatkan institusi
formal (baca: negara). Jelasnya, bidikan
membumikan Islam ini adalah bagaimana kaum muslim dapat didorong mengaktualkan
praktek-praktek ritual agama yang telah dijalani selama ini sehingga membawa
bekas pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pembumian ini dapat
dilaksanakan sendiri oleh kaum muslim tanpa perlu merengek-rengek pada negara
untuk melegitimasinya. Oleh karena itu,
hal ini terpulang kepada kaum muslim sendiri untuk melakukannya dengan, kalau
perlu, mengadopsi budaya setempat sehingga Islam terasa lebih membumi dan
menjadi kebutuhan masyarakat. Sebagai
contoh, ajaran shalat berjamaah tidak saja menjanjikan pahala yang berlipat
ganda, tapi harus pula diimplementasikan dalam membangun masyarakat. Masyarakat yang terbiasa dengan shalat
berjamaah selayaknya menjadi masyarakat yang tertib, saling menghormati,
mengetahui peran masing-masing dan taat asas.
Betapa tidak, aturan shalat berjamaah mengajarkan seseorang yang telah
ditunjuk menjadi imam harus ditaati oleh jamaahnya, pemilihan imam harus
berdasarkan kriteria-kriteria luhur, namun di sisi lain jamaah pun punya hak
suara untuk mengkoreksi imam jika salah.
Tambahan pula, shalat berjamaah mempunyai jenjang, yaitu untuk shalat
lima waktu masyarakat yang berkumpul cukup satu RT saja. Tapi untuk Shalat Jum’at, masyarakat yang
harus kumpul melebar menjadi satu RW, sedangkan untuk Shalat ‘Id melebar lagi
menjadi bisa satu kelurahan malahan lebih besar lagi. Hal ini sebenarnya isyarat lain tentang pola
kehidupan bermasyarakat yang secara etika harus dipraktekkan kaum muslim dalam
kehidupan nyata. Tidak ada salahnya jika prinsip shalat berjamaah tersebut
dibawa pada saat perkumpulan RT, RW atau kegiatan perkumpulan lain.
Karena sifatnya privat, pembumian Islam
secara kultural harus dilakukan oleh kaum muslim sendiri, khususnya para
da’i. Dalam prakteknya, setiap komunitas
muslim yang diwakili oleh para da’inya akan berbeda-beda dalam memandang kultur
yang telah berkembang di masyarakat. Ada
di antara mereka yang dapat mentolerir kultur tersebut, ada pula yang sama
sekali antipati walaupun di dalamnya telah disisipkan muatan-muatan Islam. Sebagai contoh budaya ‘tahlilan’ terhadap
seseorang yang meninggal dunia, budaya memperingati hari-hari bersejarah
seperti Maulud Nabi Muhammad SAW dan lain-lain. Dalam hal inilah, barangkali,
perlu dicanangkan kesatuan tujuan kaum muslim untuk mengaktualisasikan
nilai-nilai Islam meskipun berbeda dalam tata cara. Sepanjang aktualisasi tersebut dalam koridor
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, tak perlu yang satu merasa paling benar
sedangkan yang berbeda dengannya dianggap salah, bahkan sesat. Sikap
memutlakkan kebenaran tafsir demikian perlu segera diakhiri, terutama yang saat
ini masih nampak di wilayah akar rumput masyarakat, karena kebenaran yang
digali dari hasil penafsiran bersifat relatif sesuai dengan kapasitas nalar
penafsirnya yang relatif pula. Sudah
saatnya kaum muslim Indonesia berpikir lebih dari itu. Perbedaan dalam wilayah ijtihadi telah berlangsung sejak awal sejarah Islam, yang perlu
ditonjolkan sekarang adalah sikap-sikap toleran terhadap perbedaan itu
sebagaimana ditunjukkan oleh para pendahulu.
Islamisasi kaum muslim secara kultural
harus bermuara pada terciptanya keindahan moral masyarakat. Hal ini sesungguhnya yang menjadi tujuan syari’ah, yaitu terpeliharanya akal,
harta, lingkungan dan kemaslahatan lainnya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penerjemahan-penerjemahan ajaran moral
dari setiap aktivitas ritual dalam setiap pendidikan agama baik yang dilakukan
secara formal maupun informal. Penerjemahan
perlu dilakukan dengan cara tertulis dalam bentuk buku-buku, lisan, bahkan
langsung pada aktivitas keseharian. Oleh karenanya, pendidikan atau praktek
ritual agama jangan terjebak hanya pada mekanistis tata cara ibadah saja, namun
perlu dilengkapi pula filosofi moral atau pesan-pesan kemanusiaan lainnya. Diharapkan metode ini dapat menciptakan
keseimbangan antara rajinnya seseorang melakukan kegiatan ritual agama dengan
makin meningkat pula kualitas moralnya. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa
aktivitas ritual itu untuk kepentingan manusia bukan kepentingan Tuhan,
sehingga manfaatnya harus dirasakan oleh manusia pula. Dengan demikian, tak
perlu terjadi lagi, misalnya, seseorang yang telah pergi haji berkali-kali
masih terus sibuk mengumpulkan biaya untuk haji berikutnya, sementara fasilitas
pendidikan ‘merana’ tak terurus, kaum muda asik dengan ‘pesta’-nya dibiarkan,
lingkungan kaum miskin makin kumuh saja dan anak yatim terlantar luput dari
perhatian. Aktualisasi ajaran Islam
secara nyata sangat besar sumbangannya dalam menata kehidupan lebih baik.
---ooo0ooo---
Sisi berikutnya, membumikan Islam
secara struktural sebenarnya tak jauh berbeda dengan membumikan Islam secara
kultural. Pada dasarnya, keduanya bertujuan sama, yaitu ingin merefleksikan
ritual-ritual agama dalam praktek keseharian sehingga tujuan syari’ah di atas
tercipta. Membumikan Islam struktural
berhubungan dengan pelaksanaan ritual agama yang prakteknya tidak bisa dilakukan
oleh individu namun membutuhkan peran suatu institusi. Di sini ingin ditegaskan bahwa tidak mungkin
kita berislam dengan komprehensif jika pengamalannya berkisar di wilayah privat
saja, padahal lingkup Islam menjangkau baik wilayah privat maupun wilayah
publik. John L. Esposito menambahkan, “Because Islam means surrender or submission
to the will of God, Muslims have tended to place primary emphasis on obeying or
following God’s will as set forth in Islamic law. For this reason, many
commentators have distinguished between Chrystianity’s emphasis on orthodoxy,
or correct doctrine or belief, and Islam’s insistence on orthopraxy, or correct
action. However, the emphasis on prctice
has not precluded the importance of faith or belief. Faith (iman) and right action or practice are
intertwined (Esposito 1998, 68)”.
Maksudnya, karena Islam berarti penyerahan diri terhadap kehendak Tuhan,
kaum muslim tidak ragu menempatkan tekanan utamanya dalam ketaatan pada
kehendak Tuhan seperti yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Untuk itu, para komentator membedakan antara
tekanan Kristen pada ortodoksi atau doktrin yang benar atau kepercayaan dengan
tekanan Islam pada ortopraksi atau tindakan yang benar. Namun tekanan pada tindakan tidak merintangi
pentingnya iman atau kepercayaan. Iman
dan tindakan yang benar saling terkait.
Pemisahan
agama dari kehidupan publik sebenarnya merupakan reduksi terhadap makna agama
itu sendiri (QS 5:44,45,47). Bahwa
kemudian aktualisasi agama tersebut membutuhkan tafsir sesuai dengan kondisi
lokal, hal ini dapat dipahami. Tetapi sama sekali tidak bisa agama ‘dicerai’ dari
kehidupan masyarakat luas. Hal ini
bertentangan dengan tujuan diturunkannya agama itu sendiri, karena secara
filosofis agama diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk kehidupan yang benar
sebab manusia tidak akan sampai pada kebenaran sejati sungguh pun telah
dibekali kemampuan intelektual. Kemampuan
intelektual justru harus digunakan sebagai tools
dalam mengejawantahkan pesan-pesan Tuhan itu, bukan sebaliknya untuk mengatur
Tuhan. Sejarah telah menunjukkan, betapa
banyak filosuf yang berjuang mencari ‘kebenaran’ namun tak bisa mencapai
hakikat kebenaran, karena kebenaran hakiki hanya berasal dari Tuhan (QS 2:147).
Ritus agama yang perlu diaktualisasikan
dengan pendekatan struktural berimplikasi pada kepentingan umum secara luas
seperti dalam kajian fikih jinayah,
siyasah dan lain-lain. Penerapan
ritual ini selain sebagai lambang ketaatan kepada Tuhan, pula manfaatnya dapat
dirasakan seluruh masyarakat (QS 5:32). Misalnya
penerapan hukum qishash dapat
memelihara kehormatan nyawa manusia sehingga tidak akan terjadi peristiwa
pembunuhan untuk hal-hal yang sepele. Demikian
pula penerapan ritual rajam akan
membantu mengurangi penyakit masyarakat yang sulit diberantas karena kepastian
hukum yang tidak ada. Peredaran narkoba
dapat direm karena sanksi hukumnya tegas, dan seterusnya. Tentu saja untuk praktek ritual seperti ini
dibutuhkan suatu institusi yang mengurusinya, dengan kata lain negara harus
terlibat. Tidak mungkin dilakukan oleh masing-masing atau kelompok individu
karena dikhawatirkan akan lepas kontrol dan dicap mendirikan negara di dalam
negara. Sebagaimana pernah terjadi pada kasus Laskar Jihad di Maluku yang
merajam salah seorang anggotanya karena berzina. Maksud Laskar Jihad sangat mulia ingin
menegakkan peraturan Tuhan, namun pihak berwenang Republik meresponnya secara
negatif dengan menangkap Panglimanya. Ini
salah tafsir yang harus dijembatani dengan kejernihan nurani, mau mendengarkan
isyarat-syarat wahyu. Untuk itu, dengan
segala kebesaran jiwa, negara harus mau mengakomodasi aspirasi ‘kaum muslim’
ini guna menebarkan konsep rahmatan lil
aalamiin dalam tataran praktis yang utuh.
Dalam wacana membumikan Islam, tak
sedikit pihak-pihak kotor yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan jangka
pendeknya. Artinya, ada pihak tertentu
yang berpura-pura memperjuangkan hal ini tapi kemudian terbukti hanya mengejar
target politis, karena setelah tercapai tujuannya diam seribu bahasa. Inilah yang suka melahirkan stigma buruk
terhadap mereka yang memperjuangkannya secara ikhlas. Kesan seperti itu demikian kuat di
masyarakat, terutama pada pihak berwajib negeri ini, sehingga telah menjadi
apriori jika berbicara penegakan syari’ah Islam sama artinya dengan kepentingan
‘politis’. Ini tantangan lain lagi bagi
‘kaum muslim’ untuk meyakinkan penduduk Republik ini tentang kebutuhan
masyarakat akan perangkat hukum berbangsa dan bernegara yang menjamin keluhuran
moral. Selain itu, tantangan lainnya
adalah islamisasi kaum muslim yang islamophobia, yang lebih suka hidup memakai
perangkat-perangkat orang lain namun sebaliknya mencibir pada perangkat
agamanya sendiri. Sebenarnya kelompok
inilah yang paling kuat penolakannya dan paling sulit diyakinkan.
Di sisi lain, anggota masyarakat non
muslim tak perlu khawatir dengan pembumian hukum-hukum publik Islam ini, sama
seperti tak perlu khawatirnya dengan aktualisasi ajaran Islam yang bersifat
privat. Agama Islam sangat akomodatif
terhadap keberadaan masyarakat non muslim.
Islam mengakui pluralitas masyarakat, bahkan menganiaya seorang non
muslim yang baik sama seperti menyakiti Nabi SAW (Al-Hadits). Dalam sejarah kehidupan Beliau SAW dikenal
sejumlah masyarakat non muslim yang memperoleh perlakuan baik, demikian pula pada
periode-periode selanjutnya. Mereka
tidak dipaksa mengikuti aturan masyarakat muslim, namun dipersilakan mengikuti
aturan agamanya sendiri (QS 2:256, 109:6).
Gereja dijamin keberadaannya termasuk upacara ibadah di dalamnya, begitu
pula tempat-tempat ibadah agama lainnya. Contoh indah ini semestinya tetap
dilestarikan oleh kaum muslim di mana saja, termasuk di bumi Indonesia. Jadi pembumian Islam sasarannya lebih pada
mengembalikan kaum muslim ke dalam rumahnya sendiri yang selama ini hanya
diakui namun tidak dirawat dan tak ditinggali karena ‘terpaksa’ mengungsi ke
rumah tetangganya. Sekarang saatnya
mereka menata kembali rumah tersebut dengan tidak melupakan tetangganya
itu. Di sinilah makna Islam yang harus
menebar kasih, tercermin dari arti literalnya sendiri, tidak saja kepada kaum
muslim tapi ke segenap alam. Bukti ini
baru nampak jika Islam diungkapkan dalam bahasa verbal dan non verbal sekaligus
yang tentunya membutuhkan pengertian semua pihak.
Telah dimuat di HU Pikiran Rakyat pada
tanggal 9 Januari 2003