Selasa, 04 September 2012

Membumikan Islam



Membumikan Islam: Menciptakan Masyarakat Unggul
Oleh Lukman Abdurrahman


Ada satu pertanyaan yang sering dilontarkan sementara kalangan, yaitu “Mengapa bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tidak mampu menjadi bangsa unggul  sebagai wujud keislamannya sehingga diperhitungkan dunia?”.  Pertanyaan ini memang terasa berlebihan dan terkesan mengada-ada jika dikaitkan dengan kondisi komunitas muslim Indonesia saat ini. Betapa tidak, yang terlihat dalam keseharian kita, kaum muslim Indonesia saat ini identik dengan kekumuhan, kemiskinan, kejumudan dan ketertinggalan-ketertinggalan lainnya.  Inilah fakta yang tak terbantahkan walaupun harus diakui pula bahwa kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan awal-awal kemerdekaan Indonesia, apalagi pada zaman penjajahan.  Tingkat pendidikan sebagian kaum muslim saat ini jauh sudah lebih baik, dalam arti mereka yang mengenyam pendidikan tinggi tidak bisa dihitung lagi dengan sepuluh jari.  Begitu pula, jumlah jamaah haji setiap tahun tetap besar walaupun dalam kondisi krisis ekonomi.  Ini menunjukkan bahwa sisi perekonomian ummat Islam lebih baik jika dibandingkan dengan dekade 50, 60 dan 70-an.

Dari sinilah barangkali terbersit satu harapan, suatu saat nanti Indonesia yang dimotori kaum muslimnya dapat tampil sebagai bangsa unggul dengan peradaban yang kosmopolit.  Adalah wajar hal ini manjadi harapan kalau ditilik dari peta penyebaran kaum muslim dunia yang pernah menyumbangkan aktualisasi Islam dalam kenyataan. Kaum muslim yang tinggal di sekitar Asia Barat dan Afrika yang meliputi semenanjung Arabia, Mesir, Turki, Irak, Iran dan lain-lain pernah menampilkan sosok Islam yang cemerlang pada awal-awal keemasannya.  Tokoh-tokoh yang mewakili generasi ini tak terhitung jumlahnya, namun yang sangat menonjol terdapat pada imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali), Imam Bukhary dan Muslim sebagai ahli hadits, Ibnu Sina sebagai ahli kedokteran, Imam Ghazaly Al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun dan lain-lain.  Demikian pula, kaum muslim yang pernah tinggal di wilayah barat yaitu di Andalusia Spanyol telah pernah menampilkan peradaban Islam yang aktual dan berbekas kuat di daratan Eropa.  Hal ini terbukti dari, misalnya, teknik arsitektur abad pertengahan yang tetap dikagumi dan juga tokoh Ibnu Rusyd (Averros) sebagai ahli fikih dan filsafat yang menjadi guru para ilmuwan Eropa pada kemudian hari.  Dari Asia Tengah dan Selatan, telah pula mencuatkan peradaban Islam yang mumpuni melalui tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh dan mewarnai percaturan dunia saat itu.  Dari Afganistan dikenal tokoh Jamaluddin Al-Afgani yang pernah ‘menggentarkan’ banyak kalangan karena gagasan pan islamismenya.  Demikian pula dari Pakistan ada Muhammad Iqbal yang mewakili sosok intelektual muslim yang patut diperhitungkan.  Di India ada karya arsitektur Moghul seperti Taj Mahal yang mempesona, dan banyak lagi lainnya yang semuanya berperan besar dalam membangun citra Islam yang berperadaban tinggi sekaligus, dapat dikatakan, mewakili wilayah komunitas muslimnya masing-masing. 

Sangat wajar kiranya jika kaum muslim Indonesia diharapkan muncul sebagai lokomotif kebangkitan Islam mewakili regional Asia Tenggara karena nature Islam memang demikian.  Prof. John L. Esposito dalam bukunya, Islam: The Straight Path menyatakan, “From its earliest days, Islam possessed a tradition of revival and reform.  Muslims had been quick to respond to what they regarded as the compromising of faith and practice...(Esposito 1998, hal 116)”.  Artinya, sejak awal-awalnya Islam memiliki tradisi bangkit kembali dan menata diri.  Kaum muslim cepat merespon apa-apa yang mereka anggap dapat mengkompromikan keyakinan dan praktek lapangan.

Sepanjang sejarah peradaban Islam, regional Asia Tenggara belum dikenal pernah menyumbangkan peranan besar dalam mengaktualisasikan Islam sebagai sumber peradaban universal sebagaimana yang pernah dilakukan oleh bagian-bagian lain penduduk Islam dunia. Padahal komunitas muslim di regional ini sangat besar, bahkan Indonesia  merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.  Namun sampai saat ini Islam di wilayah Asia Tenggara dan Indonesia khususnya lebih dikenal sebagai sosok agama yang statis dalam arti belum mampu mencuatkan agama ini sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat madani yang dihargai dunia, baik dalam tataran gagasan maupun praktis.  Malah yang dilihat dunia luar, khususnya dunia barat yang diwakili Amerika Serikat dan sekutunya, wajah kaum muslim Indonesia lebih dikenal sebagai penyebar teror yang haus darah, terlepas dari benar tidaknya stigma tersebut.  Hal ini sebenarnya merupakan tantangan yang harus dijawab kaum muslim Indonesia untuk membalikan citra Islam di negeri ini sebagai agama motivator dalam menciptakan masyarakat yang berperadaban kosmopolit. 

Kemampuan generasi pendahulu kaum muslim dalam menyumbangkan peradaban yang tinggi terhadap komunitas dunia tak terlepas dari semangat mereka menjadikan Islam sebagai sumber gagasan dan ruh yang menjiwai cara pandang mereka.  Islam telah diletakkan secara proporsional, tidak saja dalam membangun hubungan dengan Tuhan namun pula dalam berinteraksi dengan makhluk-Nya.  Dalam hal ini substansi ajaran Islam dapat diimplementasikan secara paripurna.  Ritual-ritual agama tidak menjebak mereka menjadi pribadi-pribadi salih yang arogan, yang telah mematok kavling di surga hanya untuk dirinya namun lupa kalau dia telah menghalangi tetangganya yang ingin ke surga juga.  Mereka malahan berhasil menggenapi ruang-ruag sekitar ritual tersebut menjadi anyaman-anyaman bermosaik Islam, sehingga nampak sosok Islam yang indah dan utuh.  Obor Islam telah membakar semangat intelektualitas yang tidak berhenti untuk dirinya namun merambah ke segala arah guna membuktikan bahwa Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin, rahmat bagi sekalian alam.   Semangat pencarian pengetahuan kaum pendahulu benar-benar mengikuti petunjuk Nabi SAW yang menyuruh ummatnya menggali ilmu pengetahuan walaupun sampai ke negeri Cina.  Konsekuensinya, mereka mau berbaur degan ‘masyarakat dunia’ lainnya.  Khazanah intelektual yang telah dimulai pada masa peradaban Yunani, dilanjutkan dan diperkaya oleh generasi pendahulu kaum muslim sehingga menjadi kekayaan intelektual yang tak ternilai harganya.

Jika mencermati kaum muslim Indonesia saat ini memang masih amat jauh untuk diharapkan muncul sebagai pengusung Islam menjadi ‘mercu suar’ sumber berbudaya dan berkarya. Adalah tantangan terbesar saat ini bagaimana mengislamkan orang Islam sendiri.  Islam harus dijadikan ideologi yang merasuk ke dalam sumsum tulang kaum muslim sehingga menjadi darah daging mereka.   Sehingga pada gilirannya, hal ini akan membentuk pribadi-pribadi muslim yang sesungguhnya, dalam arti keislaman yang disandang mereka terefleksikan dalam kedisiplinan melakukan ibadah ritual sekaligus terpancar dalam perilaku keseharian mereka.  Jadi, contohnya, kejujuran yang diajarkan Islam tidak saja dipraktekkan dalam menepati jumlah rakaat shalat subuh, menepati jumlah jam shaum Ramadlan dan aturan ibadah ritual lainnya, tapi pula menjadi perilaku disiplin yang inherent dalam mengemudikan kendaraan, melayani kepentingan umum, memimpin masyarakat, menjadi anggota masyarakat dan lain-lain.  Dengan demikian, kondisi paradoks saat ini dapat diminimalkan atau dihindarkan dari sikap ‘umum’ kaum muslim yang memandang ketaatan dan kemaksiatan 'sama' saja.  Bahkan, seharusnya, sikap paradoks perlu ditabukan dari perilaku kaum muslim, karena tidak etis hak bercampur batil.  Jika kondisi ini dapat ditiadakan maka cita-cita pembentukan masyarakat madani tak membutuhkan ongkos yang besar, Islam cukup sebagai sumber inspirasi.

---ooo0ooo---

Membumikan Islam pada kaum muslim harus ditempuh dengan cara kultural dan struktural.  Pembumian secara kultural berkaitan dengan upaya penyadaran keislaman kaum muslim melalui pendekatan budaya, kebiasaan (habit) dan tradisi.  Pendekatan ini harus dengan memperhatikan partikular masyarakat, karena setiap wilayah mempunyai kekhasan sendiri.  Masyarakat pantai mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat pedalaman, masyarakat perkotaan lain dengan pedesaan.  Demikian pula masyarakat perkantoran berbeda dengan ‘gaya’ para pekerja luar kantor dan seterusnya.  Dalam hal ini Islam harus ‘disusupkan’ ke lingkungan berbeda tersebut sesuai ‘irama’ yang ada di sana.  Sebagai contoh, para ustadz hendaknya bersedia memberikan muatan Islam terhadap upacara-upacara adat seperti upacara sedekah laut, bukan malah menjauhinya.  Saat ini, hal tersebut nampaknya tak terlalu diperhatikan, sehingga walaupun Islam telah dianut ratusan tahun di lingkungan tersebut, saat upacara adat yang ditonjolkan lebih pada sikap takhayyul dan khurafat-nya.  Terjadi dikotomi antara Islam sebagai agama dan upacara adat sebagai budaya. Padahal seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, idealnya memang budaya yang berkembang di masyarakat muslim semuanya bernafaskan Islam, namun sulit mencapai hal tersebut. Di sini harus diambil jalan tengah, islamisasi budaya yang telah ada namun terkadang harus dengan risiko berjiwa besar.  Maksudnya, kelenturan pemahaman Islam harus diperlebar dan kontekstual karena tidak jarang toleransi demikian terasa ‘menyimpang’ dari teks-teks sumber hukum Islam. 

Penyampaian pesan-pesan Islam secara kultural, di sisi lain, lebih banyak bersinggungan dengan praktek beragama yang bersifat individual atau komunal terbatas dan tidak perlu melibatkan institusi formal (baca: negara).  Jelasnya, bidikan membumikan Islam ini adalah bagaimana kaum muslim dapat didorong mengaktualkan praktek-praktek ritual agama yang telah dijalani selama ini sehingga membawa bekas pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pembumian ini dapat dilaksanakan sendiri oleh kaum muslim tanpa perlu merengek-rengek pada negara untuk melegitimasinya.  Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada kaum muslim sendiri untuk melakukannya dengan, kalau perlu, mengadopsi budaya setempat sehingga Islam terasa lebih membumi dan menjadi kebutuhan masyarakat.  Sebagai contoh, ajaran shalat berjamaah tidak saja menjanjikan pahala yang berlipat ganda, tapi harus pula diimplementasikan dalam membangun masyarakat.  Masyarakat yang terbiasa dengan shalat berjamaah selayaknya menjadi masyarakat yang tertib, saling menghormati, mengetahui peran masing-masing dan taat asas.  Betapa tidak, aturan shalat berjamaah mengajarkan seseorang yang telah ditunjuk menjadi imam harus ditaati oleh jamaahnya, pemilihan imam harus berdasarkan kriteria-kriteria luhur, namun di sisi lain jamaah pun punya hak suara untuk mengkoreksi imam jika salah.  Tambahan pula, shalat berjamaah mempunyai jenjang, yaitu untuk shalat lima waktu masyarakat yang berkumpul cukup satu RT saja.  Tapi untuk Shalat Jum’at, masyarakat yang harus kumpul melebar menjadi satu RW, sedangkan untuk Shalat ‘Id melebar lagi menjadi bisa satu kelurahan malahan lebih besar lagi.  Hal ini sebenarnya isyarat lain tentang pola kehidupan bermasyarakat yang secara etika harus dipraktekkan kaum muslim dalam kehidupan nyata. Tidak ada salahnya jika prinsip shalat berjamaah tersebut dibawa pada saat perkumpulan RT, RW atau kegiatan perkumpulan lain.

Karena sifatnya privat, pembumian Islam secara kultural harus dilakukan oleh kaum muslim sendiri, khususnya para da’i.  Dalam prakteknya, setiap komunitas muslim yang diwakili oleh para da’inya akan berbeda-beda dalam memandang kultur yang telah berkembang di masyarakat.  Ada di antara mereka yang dapat mentolerir kultur tersebut, ada pula yang sama sekali antipati walaupun di dalamnya telah disisipkan muatan-muatan Islam.  Sebagai contoh budaya ‘tahlilan’ terhadap seseorang yang meninggal dunia, budaya memperingati hari-hari bersejarah seperti Maulud Nabi Muhammad SAW dan lain-lain. Dalam hal inilah, barangkali, perlu dicanangkan kesatuan tujuan kaum muslim untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam meskipun berbeda dalam tata cara.  Sepanjang aktualisasi tersebut dalam koridor Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, tak perlu yang satu merasa paling benar sedangkan yang berbeda dengannya dianggap salah, bahkan sesat. Sikap memutlakkan kebenaran tafsir demikian perlu segera diakhiri, terutama yang saat ini masih nampak di wilayah akar rumput masyarakat, karena kebenaran yang digali dari hasil penafsiran bersifat relatif sesuai dengan kapasitas nalar penafsirnya yang relatif pula.  Sudah saatnya kaum muslim Indonesia berpikir lebih dari itu.  Perbedaan dalam wilayah ijtihadi telah berlangsung sejak awal sejarah Islam, yang perlu ditonjolkan sekarang adalah sikap-sikap toleran terhadap perbedaan itu sebagaimana ditunjukkan oleh para pendahulu.

Islamisasi kaum muslim secara kultural harus bermuara pada terciptanya keindahan moral masyarakat.  Hal ini sesungguhnya yang menjadi tujuan syari’ah, yaitu terpeliharanya akal, harta, lingkungan dan kemaslahatan lainnya.  Oleh karena itu, perlu dilakukan penerjemahan-penerjemahan ajaran moral dari setiap aktivitas ritual dalam setiap pendidikan agama baik yang dilakukan secara formal maupun informal.  Penerjemahan perlu dilakukan dengan cara tertulis dalam bentuk buku-buku, lisan, bahkan langsung pada aktivitas keseharian. Oleh karenanya, pendidikan atau praktek ritual agama jangan terjebak hanya pada mekanistis tata cara ibadah saja, namun perlu dilengkapi pula filosofi moral atau pesan-pesan kemanusiaan lainnya.  Diharapkan metode ini dapat menciptakan keseimbangan antara rajinnya seseorang melakukan kegiatan ritual agama dengan makin meningkat pula kualitas moralnya. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa aktivitas ritual itu untuk kepentingan manusia bukan kepentingan Tuhan, sehingga manfaatnya harus dirasakan oleh manusia pula. Dengan demikian, tak perlu terjadi lagi, misalnya, seseorang yang telah pergi haji berkali-kali masih terus sibuk mengumpulkan biaya untuk haji berikutnya, sementara fasilitas pendidikan ‘merana’ tak terurus, kaum muda asik dengan ‘pesta’-nya dibiarkan, lingkungan kaum miskin makin kumuh saja dan anak yatim terlantar luput dari perhatian.  Aktualisasi ajaran Islam secara nyata sangat besar sumbangannya dalam menata kehidupan lebih baik.

---ooo0ooo---

Sisi berikutnya, membumikan Islam secara struktural sebenarnya tak jauh berbeda dengan membumikan Islam secara kultural. Pada dasarnya, keduanya bertujuan sama, yaitu ingin merefleksikan ritual-ritual agama dalam praktek keseharian sehingga tujuan syari’ah di atas tercipta.  Membumikan Islam struktural berhubungan dengan pelaksanaan ritual agama yang prakteknya tidak bisa dilakukan oleh individu namun membutuhkan peran suatu institusi.  Di sini ingin ditegaskan bahwa tidak mungkin kita berislam dengan komprehensif jika pengamalannya berkisar di wilayah privat saja, padahal lingkup Islam menjangkau baik wilayah privat maupun wilayah publik.  John L. Esposito menambahkan, “Because Islam means surrender or submission to the will of God, Muslims have tended to place primary emphasis on obeying or following God’s will as set forth in Islamic law. For this reason, many commentators have distinguished between Chrystianity’s emphasis on orthodoxy, or correct doctrine or belief, and Islam’s insistence on orthopraxy, or correct action.  However, the emphasis on prctice has not precluded the importance of faith or belief.  Faith (iman) and right action or practice are intertwined (Esposito 1998, 68)”.  Maksudnya, karena Islam berarti penyerahan diri terhadap kehendak Tuhan, kaum muslim tidak ragu menempatkan tekanan utamanya dalam ketaatan pada kehendak Tuhan seperti yang telah ditetapkan dalam hukum Islam.  Untuk itu, para komentator membedakan antara tekanan Kristen pada ortodoksi atau doktrin yang benar atau kepercayaan dengan tekanan Islam pada ortopraksi atau tindakan yang benar.  Namun tekanan pada tindakan tidak merintangi pentingnya iman atau kepercayaan.  Iman dan tindakan yang benar saling terkait.

Pemisahan agama dari kehidupan publik sebenarnya merupakan reduksi terhadap makna agama itu sendiri (QS 5:44,45,47).  Bahwa kemudian aktualisasi agama tersebut membutuhkan tafsir sesuai dengan kondisi lokal, hal ini dapat dipahami.  Tetapi sama sekali tidak bisa agama ‘dicerai’ dari kehidupan masyarakat luas.  Hal ini bertentangan dengan tujuan diturunkannya agama itu sendiri, karena secara filosofis agama diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk kehidupan yang benar sebab manusia tidak akan sampai pada kebenaran sejati sungguh pun telah dibekali kemampuan intelektual.  Kemampuan intelektual justru harus digunakan sebagai tools dalam mengejawantahkan pesan-pesan Tuhan itu, bukan sebaliknya untuk mengatur Tuhan.  Sejarah telah menunjukkan, betapa banyak filosuf yang berjuang mencari ‘kebenaran’ namun tak bisa mencapai hakikat kebenaran, karena kebenaran hakiki hanya berasal dari Tuhan (QS 2:147).

Ritus agama yang perlu diaktualisasikan dengan pendekatan struktural berimplikasi pada kepentingan umum secara luas seperti dalam kajian fikih jinayah, siyasah dan lain-lain.  Penerapan ritual ini selain sebagai lambang ketaatan kepada Tuhan, pula manfaatnya dapat dirasakan seluruh masyarakat (QS 5:32).  Misalnya penerapan hukum qishash dapat memelihara kehormatan nyawa manusia sehingga tidak akan terjadi peristiwa pembunuhan untuk hal-hal yang sepele.  Demikian pula penerapan ritual rajam akan membantu mengurangi penyakit masyarakat yang sulit diberantas karena kepastian hukum yang tidak ada.  Peredaran narkoba dapat direm karena sanksi hukumnya tegas, dan seterusnya.  Tentu saja untuk praktek ritual seperti ini dibutuhkan suatu institusi yang mengurusinya, dengan kata lain negara harus terlibat. Tidak mungkin dilakukan oleh masing-masing atau kelompok individu karena dikhawatirkan akan lepas kontrol dan dicap mendirikan negara di dalam negara. Sebagaimana pernah terjadi pada kasus Laskar Jihad di Maluku yang merajam salah seorang anggotanya karena berzina.  Maksud Laskar Jihad sangat mulia ingin menegakkan peraturan Tuhan, namun pihak berwenang Republik meresponnya secara negatif dengan menangkap Panglimanya.  Ini salah tafsir yang harus dijembatani dengan kejernihan nurani, mau mendengarkan isyarat-syarat wahyu.  Untuk itu, dengan segala kebesaran jiwa, negara harus mau mengakomodasi aspirasi ‘kaum muslim’ ini guna menebarkan konsep rahmatan lil aalamiin dalam tataran praktis yang utuh.

Dalam wacana membumikan Islam, tak sedikit pihak-pihak kotor yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan jangka pendeknya.  Artinya, ada pihak tertentu yang berpura-pura memperjuangkan hal ini tapi kemudian terbukti hanya mengejar target politis, karena setelah tercapai tujuannya diam seribu bahasa.  Inilah yang suka melahirkan stigma buruk terhadap mereka yang memperjuangkannya secara ikhlas.  Kesan seperti itu demikian kuat di masyarakat, terutama pada pihak berwajib negeri ini, sehingga telah menjadi apriori jika berbicara penegakan syari’ah Islam sama artinya dengan kepentingan ‘politis’.  Ini tantangan lain lagi bagi ‘kaum muslim’ untuk meyakinkan penduduk Republik ini tentang kebutuhan masyarakat akan perangkat hukum berbangsa dan bernegara yang menjamin keluhuran moral.  Selain itu, tantangan lainnya adalah islamisasi kaum muslim yang islamophobia, yang lebih suka hidup memakai perangkat-perangkat orang lain namun sebaliknya mencibir pada perangkat agamanya sendiri.  Sebenarnya kelompok inilah yang paling kuat penolakannya dan paling sulit diyakinkan. 

Di sisi lain, anggota masyarakat non muslim tak perlu khawatir dengan pembumian hukum-hukum publik Islam ini, sama seperti tak perlu khawatirnya dengan aktualisasi ajaran Islam yang bersifat privat.  Agama Islam sangat akomodatif terhadap keberadaan masyarakat non muslim.  Islam mengakui pluralitas masyarakat, bahkan menganiaya seorang non muslim yang baik sama seperti menyakiti Nabi SAW (Al-Hadits).  Dalam sejarah kehidupan Beliau SAW dikenal sejumlah masyarakat non muslim yang memperoleh perlakuan baik, demikian pula pada periode-periode selanjutnya.  Mereka tidak dipaksa mengikuti aturan masyarakat muslim, namun dipersilakan mengikuti aturan agamanya sendiri (QS 2:256, 109:6).  Gereja dijamin keberadaannya termasuk upacara ibadah di dalamnya, begitu pula tempat-tempat ibadah agama lainnya. Contoh indah ini semestinya tetap dilestarikan oleh kaum muslim di mana saja, termasuk di bumi Indonesia.  Jadi pembumian Islam sasarannya lebih pada mengembalikan kaum muslim ke dalam rumahnya sendiri yang selama ini hanya diakui namun tidak dirawat dan tak ditinggali karena ‘terpaksa’ mengungsi ke rumah tetangganya.  Sekarang saatnya mereka menata kembali rumah tersebut dengan tidak melupakan tetangganya itu.  Di sinilah makna Islam yang harus menebar kasih, tercermin dari arti literalnya sendiri, tidak saja kepada kaum muslim tapi ke segenap alam.  Bukti ini baru nampak jika Islam diungkapkan dalam bahasa verbal dan non verbal sekaligus yang tentunya membutuhkan pengertian semua pihak.



Telah dimuat di HU Pikiran Rakyat pada tanggal 9 Januari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar